PENDIDIKAN
MADRASAH ALIYAH
Drs. Sumardi,
M. A.
A.
PENDAHULUAN
Ilmu mempunyai kedudukan istimewa dalam Islam. Keistimewaan ilmu tersebut
berimplikasi kepada penting dan tinggi kedudukan pendidikan dalam Islam. Banyak ayat-ayat Al Quran dan hadis-nabi yang
memberi perintah kepada pemeluknya untuk menuntut ilmu.
Begitu kuatnya dorongan syariah Islam kepada pemeluknya untuk menuntut
ilmu, sehingga dalam keadaan genting/perang sekalipun menuntut ilmu harus tetap
jalan, sebagaimana firman Allah dalam surat at-Taubah : 122 berikut ini
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا
نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya :
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya. (at-Taubah : 122)
Dalam Islam menuntut ilmu bukan menjadi tujuan tetapi adalah alat untuk
mengenal Allah dan diamalkan atau sebagai pedoman dalam beramal. Ilmu berfungsi
sebagai burhan dan hudan dalam kehidupan juga sebagai penuntun
dalam mencapai tujuan, tetapi ilmu tidak ada manfaatnya kalau tidak berbuah
pengamalan dan sikap lebih baik.
Salah satu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang telah tumbuh dan
berkembang semenjak awal abad dua puluh adalah Madrasah. Kehadiran Madrasah
kemudian adalah untuk menjawab tantangan dan memenuhi kebutuhan sesuai keadaan sebagai bentuk pengembangan
dan pembaharuan dari sistem pendidikan Islam klasik.
B.
PENGERTIAN MADRASAH
Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah
bentuk kata "keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata
"darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan
sebagai "tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk
memberikan pelajaran". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah"
memiliki arti "sekolah". Dalam Shorter Encyclopedia of Islam,
madrasah adalah ”Name of an institution where the Islamic siences are
studied.
Di
Indonesia, madrasah tetap dipakai dengan kata aslinya madrasah,
kendatipun pengertiannya tidak lagi persis dengan apa yang dipahami di negeri
asalnya (Arab), yaitu sekolah, tetapi ditujukan untuk sekolah yang mata
pelajaran dasarnya adalah mata pelajaran agama Islam.
Sungguhpun secara teknis, yakni dalam proses
belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda dengan
sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai
sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni
"sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh
pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini
agama Islam) lebih mendalam dari sekolah.
Menurut Surat
Keputusan Bersama Tiga Menteri Tahun 1975, pengertian madrasah adalah lembaga
pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran
dasar yang diberikan sekurang-sekurangnya 30% di samping mata pelajaran umum.
Menurut
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah 28 dan 29 Tahun 1990
serta Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Pengajaran No. 0489/U/1992 dan
Surat Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun 1993, madrasah adalah sekolah yang berciri khas
Islam.
Dalam
masyarakat Indonesia secara umum pengertian madrasah adalah sekolah agama yang
di dalamnya juga dipelajari ilmu-ilmu umum. Jadi bila disebut madrasah maka
dipahami bahwa di sekolah tersebut diajarkan mata pelajaran agama Islam lebih
banyak dari sekolah umum.
Pada awalnya
madrasah adalah pengembangan sistem pendidikan dari masjid ke masjid yang
mempelajari fiqih tertentu. Besarnya minat belajar umat Islam membuat
mesjid-mesjid penuh dengan kelompok-kelompok belajar, sehingga membutuh tempat
baru yang memadai untuk itu. Madrasah di Indonesia adalah pembaharuan
pendidikan Islam Indonesia dari pendidikan tradisional seperti surau, pesantren
dan lainnya ke sekolah dengan sistem klasikal, administrasi lebih tertata, dan
penjenjangannya. Madrasah awal di Indonesia merupakan perpaduan sistem pendidikan sekolah
(Barat) dengan sistem pendidikan tradisional Islam Indonesia.
C.
Lahir Madrasah di Nusantara
Kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada awalnya bermaksud berdagang
dengan saudagar-saudagar dari Nusantara, tetapi demi memenuhi kepentingan dan
melihat kesempatan yang ada secara berangsur-angsur tapi pasti Belanda mulai
menancapkan kukunya di Indonesia, mengatur kehidupan bermasyarakat bangsa
Indonesia dan menjajahnya.
Dunia pendidikan di Indonesia tidak luput dari campur tangan dan tekanan
Belanda. Bentuk campur tangan dan tekanan yang dilakukan adalah dengan
menyelenggarakan pendidikan model barat dengan kesempatan sangat terbatas bagi
pribumi, pembatasan ruang gerak guru-guru pelajaran agama Islam dan mengabaikan hasil didikan lembaga
pendidikan Islam yang ada pada waktu itu. Lulusan/keluaran lembaga pendidikan
Islam masih dianggap buta huruf yang tentu saja tidak bisa menjadi pegawai dan
dicurigai sebagai orang-orang cenderung akan melawan kepada perintahan Belanda.
Pendidikan kolonial sangat berbeda dengan sistem pendidikan tradisional
Islam, bukan saja metode, tapi juga dari segi isi dan tujuan. Pendidikan
pemerintah Belanda hanya mengajarkan pengetahuan dan keterampilan duniawi.
Sedangkan pendidikan tradisional Islam hanya di bidang agama dalam pengertian sempit.
Sebenarnya tujuan pemerintah Belanda menyelenggarakan pendidikan rakyat
bukan untuk mencerdaskan rakyat di daerah jajahannya, tapi lebih cendrung untuk
memperkuat posisinya di Nusantara ini. Melalui pendidikan ini diharapkan dapat
menanamkan ide-ide penjajahan agar tidak menimbulkan perlawanan terhadap
Belanda. Juga diharap menghasilkan tenaga yang dapat dipekerjakan pemerintah
Belanda dengan upah yang kecil.
Apa yang mereka/Belanda sebut pembaharuan kebijakan pendidikan adalah
westernisasi dari kristenisasi yakni untuk keuntungan Barat atau Belanda dan agama
Nasrani. Dua motif ini yang mewarnai kegiatan penjajah Barat di Indonesia
selama lebih kurang 3,5 abad.
Suatu hal di luar kewajaran, bila bangsa Belanda yang menjajah bangsa
Indonesia dan ingin melanggengkan penjajahannya serta mengambil keuntungan
besar dari bangsa yang dijajahnya, kemudian mengadakan pendidikan untuk
kepentingan bangsa yang dijajahnya, walaupun dikemudian hari ada juga
pendidikan yang dilaksanakan Belanda untuk kepentingan bangsa Indonesia, tapi
itu dilakukan untuk memenuhi tekanan dan kritikan dari berbagai pihak termasuk
orang-orang Belanda sendiri.
Sementara itu pendidikan tradisional Islam Indonesia melalui pesantren dan
surau agaknya identik dengan pengajian kitab-kitab ahli mazhab tertentu dan
mengabaikan ”pembelajaran Al-Quran dan Hadist”. Lebih dari itu bidang-bidang
studi non keagamaan (memang tidak tersedia dalam kitab-klasik) tidak diajarkan sama sekali.
Eksistensi pendidikan tradisional Islam di Nusantara ditantang oleh
kehadiran lembaga-lembaga pendidikan Barat yang sekuler. Respon awal tantangan
ini lebih bersifat isolatif, dimana pendidikan Islam lebih mengasingkan diri
dari pengaruh pendidikan modern, kecuali beberapa daerah khususnya Minangkabau
karena pembaharuan Islam telah mulai
awal abad ke 19, tapi kemudian secara pasti madrasah-madrasah tumbuh di
berbagai wilayah di Indonesia.
Tumbuh dan berkembangnya madrasah di Indonesia tidak dapat dipisahkan
dengan tumbuh dan berkembangnya ide-ide pembaharuan pemikiran para ulama dari beberapa daerah di Indonesia. Sejarah juga mencatat bahwa orang-orang
Indonesia yang mengenyam sekolah Belanda mengenal model pendidikan Barat yang
berbentuk klasikal dan mata pelajaran ilmu pengetahuan umum melahirkan
intelektual baru khususnya dalam bidang
pendidikan.
Faktor-faktor yang mendorong timbulnya ide-ide pembaharuan tersebut adalah
:
a.
Mencontoh ide berkembangannya
keinginan umat Islam di Timur Tengah dalam ajaran agama untuk kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah.
b.
Sebagai sikap perlawanan
nasional terhadap penguasa kolonial Belanda.
c.
Adanya usaha yang kuat dari
orang-orang Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial dan ekonomi
baik untuk kepentingan kelompok mereka maupun masyarakat.
d.
Pembaruan pendidikan Islam.
Dari sudut pandang ide, gerakan pembaharuan Indonesia secara umum agaknya
dipengaruhi oleh tokoh pembaharu Timur Tengah baik secara lansung ataupun tidak, khususnya dari
tokoh Jamaludin al Afgani dan Muhammad Abduh. Walau mereka anti Barat yang
menjajah negara-negara Islam, tetapi mereka menganjurkan untuk mempelajari ilmu
pengetahuan sebagaimana yang dipelajari Barat.
Keberangkatan para ulama yang sekaligus adalah para pendidik tradisional
Islam Indonesia menunaikan ibadah haji dan belajar di Mekah, menyebabkan mereka
bersentuhan dengan pemikiran dan perjuangan yang sedang berkembangan di Timur
Tengah memberi pengalaman tersendiri bagi mereka serta memberi pemahaman dan
pandangan baru terhadap Islam umumnya dan pendidikan khususnya.
Khususnya faktor pendorong dari pembaruan pendidikan Islam tidak sepenuh
dapat dikatakan seperti alasan tersebut di atas, karena keduanya dapat saling
pengaruh mempengaruhi dengan kata lain timbul pembaruan pendidikan Islam di
Indonesia dipengaruhi oleh adanya pembaharuan pemikiran para tokoh-tokoh
pendidikan pada masa itu.
Sikap perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda bukanlah hal
yang baru di bumi pertiwi ini, cuma dalam bentuk lain. Dapat diduga bahwa
belajar dari kegagalan perjuangan para ulama dan para pahlawan terdahulu, pada
awal abad 20 puluhan timbul kesadaran para ulama dan cerdik pandai, bahwa perlu
bentuk dan cara baru untuk memberikan perlawanan, tidak hanya melalui kekuatan
pisik.
Beberbekal dari pengalaman perjuangan negara Timur Tengah yang didapat
ketika menunaikan haji dan/atau belajar di Mekah dan sekitarnya, sepulangnya ke
tanah air para ulama menyelengarakan pendidikan baru dengan memadukan sistem
pendidikan Islam tradional (masjid, surau dan pesantren) dengan sistem
pendidikan barat yang mempergunakan klasikal, papan tulis. Kurikulumnya juga
mengalami perubahan, semula khusus
belajar ilmu agama kemudian ditambah dengan ilmu-ilmu umum seperti yang
diajarkan di sekolah-sekolah Belanda.
Berbicara mengenai pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam (madrasah)
di Indonesia, maka mau tak mau harus menelusuri muncul dan berkembangannya
pendidikan Islam Nusantara pada akhir
abad 19 sampai pertengahan abad 20. Walaupun masing-masing daerah mempunyai
ciri dan tokoh-tokohnya dengan karakter masing-masing, tapi secara umum ada
beberapa hal yang bersamaan, yaitu keinginan untuk memajukan kehidupan rakyat,
sebagai perlawanan kepada pemerintahan Belanda dan sebagai penghadang proses
kristenisasi atau paling tidak sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pendidikan
yang dilaksanakan Belanda.
C. Karakteristik Madrasah di
Indonesia
Sebagaimana telah dikemukakan, secara harfiah madrasah
bisa diartikan dengan sekolah, karena secara teknis keduanya
memiliki kesamaan, yaitu sebagai tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar
secara formal. Namun demikian Karel Steenbrink membedakan madrasah dan
sekolah karena keduanya mempunyai karakteristik atau ciri khas yang
berbeda. Madrasah memiliki kurikulum, metode dan cara mengajar
sendiri yang berbeda dengan sekolah. Meskipun mengajarkan ilmu pengetahuan umum
sebagaimana yang diajarkan di sekolah, madrasah memiliki karakter
tersendiri, yaitu sangat menonjolkan nilai religiusitas masyarakatnya.
Sementara itu sekolah merupakan lembaga pendidikan umum dengan pelajaran
universal dan terpengaruh iklim pendidikan Barat.
Perbedaan
karakter antara madrasah dengan sekolah itu dipengaruhi oleh perbedaan
tujuan antara keduanya secara historis. Tujuan dari pendirian madrasah ketika
untuk pertama kalinya diadopsi di Indonesia ialah untuk mentransmisikan
nilai-nilai Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan modernisasi pendidikan, sebagai jawaban atau respon dalam menghadapi
kolonialisme dan Kristenisasi, di
samping untuk mencegah memudarnya semangat keagamaan penduduk akibat meluasnya
lembaga pendidikan Belanda.
Dari keterangan
di atas menarik untuk dicatat bahwa salah satu karakteristik madrasah yang
cukup penting di Indonesia pada awal pertumbuhannya ialah bahwa di dalamnya
tidak ada konflik atau upaya mempertentangkan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu
umum.
1.
Madrasah Aliyah dan Sekolah
Menengah Atas
Madrasah di Indonesia secara historis juga memiliki
karakter yang sangat populis (merakyat), berbeda dengan madrasah pada
masa klasik Islam. Madrasah di Indonesia mulai dari Ibtidaiyah, Sanawiyah dan
Aliyah. Madrasah Aliyah sama tingkatan dengan Sekolah Menengah Umum.
Madrasah Aliyah
(disingkat MA) adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal di
Indonesia, setara dengan Sekolah Menengah Atas, yang pengelolaannya dilakukan
oleh Departemen Agama. Pendidikan MA ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari
Kelas 10 sampai Kelas 12.
Pada tahun kedua
(yakni Kelas 11), seperti halnya siswa SMA, siswa MA memilih salah satu dari 4
jurusan yang ada, yaitu Ilmu Alam, Ilmu Sosial, Ilmu-ilmu Keagamaan Islam, dan
Bahasa. Pada akhir tahun ketiga (yakni Kelas 12), siswa diwajibkan mengikuti
Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan MA dapat
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi Umum atau Perguruan Tinggi Agama
(Islam) atau langsung bekerja. MA sebagaimana SMA ada MA umum yang sering
dinamakan MA dan MA kejuruan (di SMA disebut SMK) misalnya MAK (MA Keagamaan),dan
MAPK (MA Program Ketrampilan).
Pelajar MA umumnya
berusia 16-18 tahun. SMA/MA tidak termasuk program wajib belajar pemerintah,
sebagaimana siswa Sekolah Dasar (atau sederajat) 6 tahun dan Sekolah Menengah
Pertama (atau sederajat) 3 tahun.
Tujuan Madrasah
sebagai bagian dari tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta ketrampilan untuk hidup mandiri
dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Tujuan
pengembangan ciri khas Agama Islam pada MA adalah memberikan landasan Islami
yang kokoh agar peserta didik memiliki kepribadian yang kuat dilandasi oleh
nilai-nilai keislaman bagi perkembangan kehidupan selanjutnya.
Kurikulum MA sama
dengan kurikulum Sekolah Menengah Atas, hanya saja pada MA terdapat porsi lebih
banyak muatan Pendidikan Agama Islam, yaitu Fiqih, akidah, akhlak, Al Quran,
Hadits, Bahasa Arab dan Sejarah Islam (Sejarah Kebudayaan Islam).
Sekolah Menengah Atas (disingkat SMA), adalah jenjang pendidikan menengah pada
pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (atau
sederajat). Sekolah Menengah Atas ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari
Kelas 10 sampai Kelas 12. Pada tahun ajaran 1994/1995 hingga 2003/2004, sekolah
ini disebut Sekolah Menengah Umum (SMU).
Pada tahun kedua (yakni Kelas 11), siswa
SMA dapat memilih salah satu dari 3 jurusan yang ada, yaitu Sains, Sosial, dan
Bahasa. Pada akhir tahun ketiga (yakni Kelas 12), siswa diwajibkan mengikuti Ujian
Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan Sekolah
Menengah Atas dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau langsung
bekerja.
Pelajar SMA umumnya berusia 15-18 tahun.
SMA tidak termasuk program wajib belajar pemerintah - yakni Sekolah Dasar (atau
sederajat) 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) 3 tahun -
maskipun sejak tahun 2005 telah mulai diberlakukan program wajib belajar 12
tahun yang mengikut sertakan SMA di beberapa daerah, contohnya Kota Yogyakarta
dan Kabupaten Bantul.
Sekolah Menengah
Atas diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi
daerah pada tahun 2001, pengelolaan Sekolah Menengah Atas Negeri di Indonesia
yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi
tanggung jawab kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya
berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara
struktural, Sekolah Menengah Atas Negeri merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas
Pendidikan kabupaten/kota.
Kurikulum
sekolah dan madrasah kalau merujuk pada Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi dan No. 23 Tahun 2006 Standar Kompentensii Lulusan, maka tidak ada
perbedaannya, hanya saja kurikulum madrasah juga harus merperhatikan Surat
Edaran Dirjen Pendidikan Islam No. DJ.II.1/PP.OO/ED/681/2006 tanggal 1 Agustus
2006 tentang pelaksanaan Standar Pelaksanaan Standar Isi, yang di dalamnya juga
ditetapkan struktur kurikulum
madrasah. Sebagai contoh kurikulum untuk sekolah dan madrasah.
Struktur
kurikulum SMA/MA kelas seperti terdapat
dalam Permendiknas
No. 22
Tahun 2006
Komponen
|
Smt I
|
Smt II
|
|
A.
|
1. Pendidikan Agama Islam
|
2
|
2
|
|
2. Pendidikan Kewarganegaraan
|
2
|
2
|
|
3. Bahasa Indonesia
|
4
|
4
|
|
4. Bahasa Inggris
|
4
|
4
|
|
5. Matematika
|
4
|
4
|
|
6. Fisika
|
2
|
2
|
|
7. Biologi
|
2
|
2
|
|
8. Kimia
|
2
|
2
|
|
9. Sejarah
|
1
|
1
|
|
10. Geografi
|
1
|
1
|
|
11. Ekonomi
|
2
|
2
|
|
12. Sosisoliogi
|
2
|
2
|
|
13. Seni Budaya
|
2
|
2
|
|
14. Pendidikan Jasmani, Olah
Raga dan Kesehatan
|
2
|
2
|
|
15. Teknologi Informasi dan
Komunikasi
|
2
|
2
|
|
16. Keterampilan/Bahasa Asing
|
2
|
2
|
B
|
Muatan Lokal
|
2
|
2
|
C
|
Pengembangan Diri
|
2
|
2
|
|
Jumlah
|
38
|
38
|
Struktur
kurikulum MA kelas X berdasarkan Surat
Edaran Dirjen Pendidikan Islam No. DJ.II.1/PP.OO/ED/681/2006
Komponen
|
Smt I
|
Smt II
|
|
A.
|
1. Pendidikan Agama Islam
|
4
|
4
|
|
2. Pendidikan Kewarganegaraan
|
2
|
2
|
|
3. Bahasa Indonesia
|
4
|
4
|
|
4. Bahasa Inggris
|
4
|
4
|
|
5. Bahasa Arab
|
2
|
2
|
|
6. Matematika
|
4
|
4
|
|
7. Fisika
|
2
|
2
|
|
8. Biologi
|
2
|
2
|
|
9. Kimia
|
2
|
2
|
|
10. Sejarah
|
1
|
1
|
|
11. Geografi
|
1
|
1
|
|
12. Ekonomi
|
2
|
2
|
|
13. Sosisoliogi
|
2
|
2
|
|
14. Seni Budaya
|
2
|
2
|
|
15. Pendidikan Jasmani, Olah
Raga dan Kesehatan
|
2
|
2
|
|
16. Teknologi Informasi dan
Komunikasi
|
2
|
2
|
|
17. Keterampilan/Bahasa Asing
|
2
|
2
|
B
|
Muatan Loka
|
2
|
2
|
C
|
Pengembangan Diri
|
2
|
2
|
|
Jumlah
|
42
|
42
|
Jumlah
waktu untuk mata pelajaran agama Islam di sekolah 2 satuan waktu atau 5% dari
waktu keseluruhan, lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah waktu
pendidikan yang ada di Madrasah 4 satuan waktu 11% dari keseluruhan waktu. Kalau mempelajari bahasa Arab dapat dianggap
sebagai jalan untuk mempelajari agama maka jumlah jam menjadi bertambah menjadi
6 satuan waktu atau 16% dari keseluruhan waktu.
2.
Problema Madrasah Aliyah
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pada awalnya Madrasah adalah pendidikan
yang mempunyai ”dua misi” yaitu sebagai lembaga pendidikan agama dan sebagai
pendidikan umum dan hal ini tidak menimbulkan masalah dalam pelaksanaan. Sebagai
lembaga pendidikan agama paling tidak ada tiga hal yang menjadi titik fokus MA:
1)
Menanamkan keimanan kepada
peserta didik. Iman menjadi hal yang sangat urgen dalam kehidupan seorang
muslim dan akan menjadi landasan semua perbuatan yang lain, sehingga penanaman
keimanan menjadi sangat penting.
2)
Praktikum ibadah mahdhah dan
ghairu mahdhah. Ibadah merupakan bagian terpenting setelah keimanan dalam
kehidupan sehari-hari. Bagi setiap orang tua yang mengamanahkan anaknya untuk
mendapatkan pendidikan agama Islam, sangat berharap adanya pemahaman yang
bertambah tentang ibadah dan bertambah semangat dalam menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
3)
Akhlak karimah. Sudut pandang
yang masih melekat di masyarakat secara umum bahwa anak yang mengenyam
pendidikan agama (baca MA) adalah anak yang terpelajar, pandai dan berkahlak
baik. Akhlak yang baik merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan dari sebuah
pendidikan.
Tetapi tataran
pelaksanaan selanjutnya pendidikan yang dilakukan di MA menimbulkan berbagai
persoalan, diantaranya :
1)
Pendidikan MA yang merupakan
lembaga pendidikan menengah sebagai harapan bagi para orang tua yang tidak memasukkan
anaknya di pesantren, setidaknya hasil yang diharapkan tidak jauh dari
pendidikan pesantren. Akan tetapi pada kenyataannya sangat jauh dari harapan.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang tidak berbeda dengan
sekolah menengah atas (SMA) seperti waktu belajar, disiplin siswa dan tata
tertib sekolah.
2)
Tertib ibadah mahdhah dan
ghairu mahdhah yang diharapkan tertanam dan terealisasi lebih baik dalam
perilaku ibadah sehari-hari dan sifat sosial lebih tinggi jika dibandingkan
dengan siswa SMA yang mempelajari agama di ruang kelas hanya dua jam pelajaran
saja. Namun hal itu tidak terlihat perbedaan yang besar antara siswa MA dan SMA.
3)
Pendidikan MA, masih
berorientasi pada mensukseskan kurikulum semata. Pada kurikulum umum,
pendidikan yang dilakukan MA belum mampu mengalahkan keunggulan SMA. Hal itu
dapat terlihat pada olimpiade mata pelajaran matematika, bahasa inggris,
ekonomi dan sebagainya. Sedangkan di sisi pembentukan akhlak sebagai komponen
penting dalam kehidupan beragama belum
menampakkan hasil yang menonjol bila dibandingkan dengan sekolah umum
Melihat persoalan diatas jalan keluar yang mungkin dapat dilakukan oleh MA
adalah membuat suana dan lingkungan yang islami sehingga pelajaran agama tidak
hanya sekedar pengatahuan, tapi merupakan prkatek dalam kehidupan sehari-hari.
3.
Urgensi Pendidikan Agama di Sekolah Menengah
Pendidikan
agama baik di Madrasah Aliyah maupun Menengah Umum sama-sama memiliki kepentingan
yang tidak bisa diremehkan. Meski kedua tujuannya berbeda, namun dalam
menjalankan pendidikan agama, tetap membutuhkan metode yang sama. Bila dalam
sekolah agama seperti Madrasah Aliyah, pendidikan agama ditujukan untuk
menghantar dan mempersiapkan anak didik untuk menjadi ahli agama, sedangkan di
sekolah umum seperti Sekolah Menengah Umum, pendidikan agama ditujukan untuk
menjadikannya seorang warga negara yang memahami dan menghayati agamanya dalam
kehidupan sehari-hari, tanpa harus menjadi ahli agama.
Dikatakan
dalam Kurikulum 2004 Standar Kompetensi PAI bahwa secara redaksional, tujuan
pendidikan di jenjang SD, SMP, dan SMA adalah sama, yaitu untuk meningkatkan
keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam kehidupan pribadi, berbangsa dan
bernegara.
Masih
di dalam Kurikulum 2004 Standar Kompetensi PAI juga, ruang lingkup bahan
pelajaran pendidikan agama Islam di Sekolah Menengah Atas terfokus pada aspek:
a.
Al-Qur`an dan Hadits
b. Keimanan
c. Syariah
d. Akhlak
e. Tarikh.
Adapun
kompetensi dasar PAI di SMA/SMK berorientasi pada peilaku afektif dan
psikomotorik dengan dukungan pengetahuan kognitif dalam rangka memperkuat
keimanan kepada Allah swt. Di antaranya
adalah sebagai berikut,
1.
Beriman kepada Allah swt. dan lima rukun ydddang lain
dengan mengetahui fungsi dan hikmahnya serta terefleksi dalam perilaku
sehari-hari.
2. Dapat membaca,
menulis, dan memahami ayatAl-Qur`an serta implementasinya.
3. Mampu beribadah dengan
baik.
4. Dapat meneladani
sifat, sikap dan kepribadian Rasulullah dan mengambil hikmah dari sejarah
perkembagan Islam.
5. Mampu mempraktikkan
sistem muamalat Islam.
Fungsi
pendidikan agama Islam antara lain yang disebutkan Abdul Rachman sebagai
berikut,
a. Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. serta akhlak mulia
b. Kegiatan pendidikan dan pengajaran
c. Mencerdaskan kehidupan bangsa yang berimtak
dan beriptek
d. Fungsi semangat studi keilmuan dan IPTEK.
Unsur-unsur
yang berpengaruh pada keberhasilan pendidikan agama di antrarnya,
1.
Hasil dari kompetensi dasar pendidikan agama
2.
Mareri dan alokasi waktu yang disediakan untuk
mencapai kompetensi
3.
Metode
4.
Background keagamaan siswa
5.
Kesungguhan peran orangtua sebagai pendidik
6.
Lingkungan masyarakat
7.
Guru profesional.
Permasalah
mendasar dalam pendidikan agama baik di MA maupun SMA adalah efektivitas
pendidikan tersebut yang masih dirasa minim dan belum mencapai target sebagaian
yang tertulis dalam tujuan Sisdiknas. Pendidikan agama
Islam dianggap kurang berhasil dengan indikator sebagai berikut,
1.
Pendidikan
agama selama ini kurang mampu mengubah pengetahuan kognitif menjadi makna dan
nilai nyata.
2.
Kurang
dapat berjalan bersama dengan program pendidikan non-agama.
3.
Kurang
relevan terhadap perubahan sosial masyarakat.
Adapun
permasalahan yang banyak melekat pada Madrasah Aliyah sebagaimana problem madrsasah secara umum
menurut Muhaimin adalah profesionalitas
bermanajemen di samping sumber daya internal, baik yang berupa kurikulum,
sistem pembelajaran, SDM, sumber dana, maupun fasilitas.
Kurangnya standar minimal
tenaga pengajar madrsah juga menambah deretan hambatan kualitas alumnus
madrasah. "Karena kualitas rendah, orang menilai madrasah kelas dua,"
ujar Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama, Jayja Umar. Padahal
lanjutnya, konsep madrasah adalah sekolah umum. Madrasah memiliki bobot pengajaran
sama dengan sekolah umum dengan tambahan pelajaran agama. Jadi secara teori,
harusnya madrasah lebih tinggi dari sekolah umum biasa, namun realita berbicara
lain. Ketidakprofesionalan guru ini tidak hanya terindikasi dari standar dasar
penguasaan materi, namun juga miskinnya metode penyampaian, di samping
kurikulum yang overload sehingga menampilkan wajah lulusan madrasah yang
tidak kompeten di bidang ilmu agama sekaligus umum.
Secara garis besar,
kendala yang cukup mengganggu terbagi menjadi kendala internal dan eksternal.
Kendala internal ini berupa pendanaan, penguasaan guru bidang studi, terutama
mata pelajaran umum, miskinnya ragam metode pembelajaran yang digunakan,
penguasaan seluruh guru terhadap agama Islam yang komprehensif sehingga tidak
melahirkan interpretasi parsial serta tidak mampu menerjemahkan pesan
trasendental Islam ke dalam aksi, interaksi guru-murid yang berlaku sebatas
formal sehingga tidak berlanjut di out-door, overlapping lembaga
yang membawahi madrasah, mengingat sebagian besar madrasah berstatus swasta,
manajemen yang salah sehingga visi misi madrasah selalu tampak kabur, sarana
dan prasarana yang terlalu sederhana, lingkungan sekolah yang tidak terbentuk
baik, atau hal lain semisalnya.
Kendala eksternal bisa
berupa dikotomi yang terwariskan dan masih dilanjutkan, pandangan sinis
masyarakat yang memarginalkan dan tidak mempercayai madrasah, kurikulum yang
terkesan overload, keluarga yang tidak dapat bekerjasama membentuk
kecerdasan spiritual anak sehingga tidak bersinergi dengan para pengajar di
madrasah, dana pemerintah terhadap madrasah yang tidak merata dan beragam,
globaliasasi dan pasar bebas yang mempolarisasi nilai Islami pada skala mikro
maupun makro, orientasi pendidikan jangka panjang yang telah tergeser, atau hal
lain semacamnya seperti keputusan para pengambil kebijakan yang mengebiri
madrasah.
5. Tawaran Solusi
Pengertian
pendidikan Islam sebagaimana yang dikutip Abdul Rachman Saleh dari Depdiknas
mengenai Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah dalam kurikulum berbasis
kompetensi yaitu sebagai upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta
didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, bertakwa, dan
berahlak mulia dalam mengamalkan ajaran agam Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Qur`an dan Hadits melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan serta penggunaaan pengalaman. Dari poin
ini dapat ditangkap bahwa tujuan pendidikan agama Islam yang dilaksanakan pada
berbagai jenjang pendidikan formal, tidaklah cukup diberikan secara normatif,
atau juga bertumpu pada salah seorang pengajar saja, dalam hal ini adalah guru
agama, akan tapi menjadi tugas seluruh pihaklah mengusahakan hal terkait.
Sebagaimana yang dikatakan Muhaimin, Undang-undang No.
20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa pendidikan
nasional berakar pada nilai-nilai agama. Maka, demi menuju perbaikan efektif
dalam pendidikan agama di sekolah, harus ada perubahan paradigma pendidikan
agama yang tidak hanya membebankan tugas pembinaan sisi religius anak pada guru
agama saja. Abdul Rachman menyebutnya dengan
pendidikan tidak didekati secara monolitik, melainkan integratif, diiringi
dengan semangat non-dikotomis, melainkan rekonsiliasi.
D. Kesimpulan
Dari
uraian singkat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa :
1.
Madrasah
adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai
mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-sekurangnya 30% di samping mata
pelajaran umum. Sedang SMA adalah jenjang pendidikan tingkat menengah pada
pendidikan formal di Indonesia sebagai pendidikan lanjutan sekolah menengah
pertama.
2. Tujuan Sekolah/Madrasah sebagai
bagian dari tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta ketrampilan untuk hidup mandiri
dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
3. Tujuan pengembangan ciri khas Agama Islam pada MA adalah
memberikan landasan Islami yang kokoh agar peserta didik memiliki kepribadian
yang kuat dilandasi oleh nilai-nilai keislaman bagi perkembangan kehidupan
selanjutnya, sedangkan pada satuan tingkat SMA, pendidikan agama diluar jam
pelajaran diberikan secara non formal dengan berbagai kegiatan extrakurikuler
atau pengembangan diri.
4. Kurikulum MA sama dengan kurikulum Sekolah
Menengah Atas, hanya saja pada MA terdapat porsi lebih banyak muatan Pendidikan
Agama Islam, yaitu Fiqih, akidah, akhlak, Al Quran, Hadits, Bahasa Arab dan
Sejarah Islam (Sejarah Kebudayaan Islam).
5. Jika dilihat secara umum, baik pelaksanaan
kurikulum, proses pembelajaran, waktu belajar dan keberhasilan dari
pembelajarannya pada dasarnya pendidikan madrasah dan sekolah menegah atas
hampir tidak ada perbedaan. Perbedaannya hanya terlihat dari stuktur kurikulum
lokal dan kebijakan yang di pegangnya yaitu dinas pendidikan dan departemen
agama.
DAFTAR PUSTAKA
Asrohah,
Hanum, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 1999.
Daulay,
Haidar Putra, Historis dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah,
Yogyakarta : Tiara Kencana, 2001.
Departemen Agama, Al
Quran dan Terjemahan
Fadjar,
A. Malik, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta: LP3NI, 1998.
Gibb, HAR and H.
Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden : E.J. Brill, 1981.
Hamka, Ayahku :
riwayat hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan perjuangan kaum agama di Sumatra,
Umminda
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia : lintasan sejarah pertumbuhan dan perkembangan, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2001.
Ilyas, Yunahar, Tafsir Tematis Cakrawala Al-Quran,
Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2003
Keputusan Bersama Tiga
Menteri Tahun 1975, pasal 1
Khozin, Jejak-jejak
Pendidikan Islam di Indonesia : rekonstruksi sejarah untuk aksi, Malang :
UMJ Press, 2006.
Maksum, Madrasah :
sejarah dan perkembangannya : Jakarta, Logos Wacana Ilmu 1999.
Mulkan, Munir, Pesan
dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan Dalam Hikmah Mmuhammadiyah, Yogyakarta :
Suara Muhammadiyah, 2007.
Mursyid, Ali, kangalimursyid.blogspot.com/2007/05/urgensi-penguatan-civic-educati
Nakosteen, Mehdi, Kontribusi
Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam,
Edisi Indonesia, Surabaya: Risalah Gusti: 1996.
Nata, Abuddin, Tokoh- Tokoh Pembaharuan
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005.
Nizar, Samsul, Sejarah
dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam : potret Timur Tengah era awal dan
Indonesia, Ciputat : Quantum Teaching, 2005.
Presiden, UU
No.20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Salyalabi, Ahmad, Sejarah
Pendidikan Islam, terjemahan : Muchtar Jahya dan Sanusi Latief,
Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Sejarah Pendidikan Sumatra Barat : pendidikan abad
ke 20,
pakguru online.net,
Steenbrink,
Karel A, Pesantren, Madrasah, Sekolah,
Jakarta : LP3ES.
Suwendi,
Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada,
2004.
Yunus,
Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mutiara, 1979.
Zuhairini,
dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2006.
thanks
BalasHapus