Senin, 01 September 2014

PERBANDINGAN PENDIDIKAN ANTARA MADRASAH ALIYAH DAN SEKOLAH MENENGAH UMUM



PENDIDIKAN MADRASAH ALIYAH
Drs. Sumardi, M. A.

A.    PENDAHULUAN
Ilmu mempunyai kedudukan istimewa dalam Islam. Keistimewaan ilmu tersebut berimplikasi kepada penting dan tinggi kedudukan pendidikan dalam Islam.  Banyak ayat-ayat Al Quran dan hadis-nabi yang memberi perintah kepada pemeluknya untuk menuntut ilmu.
Begitu kuatnya dorongan syariah Islam kepada pemeluknya untuk menuntut ilmu, sehingga dalam keadaan genting/perang sekalipun menuntut ilmu harus tetap jalan, sebagaimana firman Allah dalam surat at-Taubah : 122 berikut ini
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya :
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (at-Taubah : 122)
Dalam Islam menuntut ilmu bukan menjadi tujuan tetapi adalah alat untuk mengenal Allah dan diamalkan atau sebagai pedoman dalam beramal. Ilmu berfungsi sebagai burhan dan hudan dalam kehidupan juga sebagai penuntun dalam mencapai tujuan, tetapi ilmu tidak ada manfaatnya kalau tidak berbuah pengamalan dan sikap lebih baik.
Salah satu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang telah tumbuh dan berkembang semenjak awal abad dua puluh adalah Madrasah. Kehadiran Madrasah kemudian adalah untuk menjawab tantangan dan memenuhi kebutuhan  sesuai keadaan sebagai bentuk pengembangan dan pembaharuan dari sistem pendidikan Islam klasik.
B.     PENGERTIAN MADRASAH
Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata "darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah". Dalam Shorter Encyclopedia of Islam, madrasah adalah ”Name of an institution where the Islamic siences are studied.
Di Indonesia, madrasah tetap dipakai dengan kata aslinya madrasah, kendatipun pengertiannya tidak lagi persis dengan apa yang dipahami di negeri asalnya (Arab), yaitu sekolah, tetapi ditujukan untuk sekolah yang mata pelajaran dasarnya adalah mata pelajaran agama Islam.
Sungguhpun  secara teknis, yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini agama Islam) lebih mendalam dari sekolah.
Menurut Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Tahun 1975, pengertian madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-sekurangnya 30% di samping mata pelajaran umum.
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah 28 dan 29 Tahun 1990 serta Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Pengajaran No. 0489/U/1992 dan Surat Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun 1993,  madrasah adalah sekolah yang berciri khas Islam.
Dalam masyarakat Indonesia secara umum pengertian madrasah adalah sekolah agama yang di dalamnya juga dipelajari ilmu-ilmu umum. Jadi bila disebut madrasah maka dipahami bahwa di sekolah tersebut diajarkan mata pelajaran agama Islam lebih banyak dari sekolah umum.
Pada awalnya madrasah adalah pengembangan sistem pendidikan dari masjid ke masjid yang mempelajari fiqih tertentu. Besarnya minat belajar umat Islam membuat mesjid-mesjid penuh dengan kelompok-kelompok belajar, sehingga membutuh tempat baru yang memadai untuk itu. Madrasah di Indonesia adalah pembaharuan pendidikan Islam Indonesia dari pendidikan tradisional seperti surau, pesantren dan lainnya ke sekolah dengan sistem klasikal, administrasi lebih tertata, dan penjenjangannya. Madrasah awal di Indonesia merupakan perpaduan sistem pendidikan sekolah (Barat) dengan sistem pendidikan tradisional Islam Indonesia.
C.    Lahir Madrasah di Nusantara
Kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada awalnya bermaksud berdagang dengan saudagar-saudagar dari Nusantara, tetapi demi memenuhi kepentingan dan melihat kesempatan yang ada secara berangsur-angsur tapi pasti Belanda mulai menancapkan kukunya di Indonesia, mengatur kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia dan menjajahnya.
Dunia pendidikan di Indonesia tidak luput dari campur tangan dan tekanan Belanda. Bentuk campur tangan dan tekanan yang dilakukan adalah dengan menyelenggarakan pendidikan model barat dengan kesempatan sangat terbatas bagi pribumi, pembatasan ruang gerak guru-guru pelajaran agama Islam  dan mengabaikan hasil didikan lembaga pendidikan Islam yang ada pada waktu itu. Lulusan/keluaran lembaga pendidikan Islam masih dianggap buta huruf yang tentu saja tidak bisa menjadi pegawai dan dicurigai sebagai orang-orang cenderung akan melawan kepada perintahan Belanda.
Pendidikan kolonial sangat berbeda dengan sistem pendidikan tradisional Islam, bukan saja metode, tapi juga dari segi isi dan tujuan. Pendidikan pemerintah Belanda hanya mengajarkan pengetahuan dan keterampilan duniawi. Sedangkan pendidikan tradisional Islam hanya di bidang agama  dalam pengertian sempit.
Sebenarnya tujuan pemerintah Belanda menyelenggarakan pendidikan rakyat bukan untuk mencerdaskan rakyat di daerah jajahannya, tapi lebih cendrung untuk memperkuat posisinya di Nusantara ini. Melalui pendidikan ini diharapkan dapat menanamkan ide-ide penjajahan agar tidak menimbulkan perlawanan terhadap Belanda. Juga diharap menghasilkan tenaga yang dapat dipekerjakan pemerintah Belanda dengan upah yang kecil.
Apa yang mereka/Belanda sebut pembaharuan kebijakan pendidikan adalah westernisasi dari kristenisasi yakni untuk keuntungan Barat atau Belanda dan agama Nasrani. Dua motif ini yang mewarnai kegiatan penjajah Barat di Indonesia selama lebih kurang 3,5 abad.
Suatu hal di luar kewajaran, bila bangsa Belanda yang menjajah bangsa Indonesia dan ingin melanggengkan penjajahannya serta mengambil keuntungan besar dari bangsa yang dijajahnya, kemudian mengadakan pendidikan untuk kepentingan bangsa yang dijajahnya, walaupun dikemudian hari ada juga pendidikan yang dilaksanakan Belanda untuk kepentingan bangsa Indonesia, tapi itu dilakukan untuk memenuhi tekanan dan kritikan dari berbagai pihak termasuk orang-orang Belanda sendiri.
Sementara itu pendidikan tradisional Islam Indonesia melalui pesantren dan surau agaknya identik dengan pengajian kitab-kitab ahli mazhab tertentu dan mengabaikan ”pembelajaran Al-Quran dan Hadist”. Lebih dari itu bidang-bidang studi non keagamaan (memang tidak tersedia dalam kitab-klasik)  tidak diajarkan sama sekali.
Eksistensi pendidikan tradisional Islam di Nusantara ditantang oleh kehadiran lembaga-lembaga pendidikan Barat yang sekuler. Respon awal tantangan ini lebih bersifat isolatif, dimana pendidikan Islam lebih mengasingkan diri dari pengaruh pendidikan modern, kecuali beberapa daerah khususnya Minangkabau karena  pembaharuan Islam telah mulai awal abad ke 19, tapi kemudian secara pasti madrasah-madrasah tumbuh di berbagai wilayah di Indonesia.
Tumbuh dan berkembangnya madrasah di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan tumbuh dan berkembangnya ide-ide pembaharuan pemikiran para ulama  dari beberapa daerah di Indonesia.  Sejarah juga mencatat bahwa orang-orang Indonesia yang mengenyam sekolah Belanda mengenal model pendidikan Barat yang berbentuk klasikal dan mata pelajaran ilmu pengetahuan umum melahirkan intelektual baru  khususnya dalam bidang pendidikan.
Faktor-faktor yang mendorong timbulnya ide-ide pembaharuan tersebut adalah :
a.         Mencontoh ide berkembangannya keinginan umat Islam di Timur Tengah dalam ajaran agama untuk kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah.
b.         Sebagai sikap perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda.
c.         Adanya usaha yang kuat dari orang-orang Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial dan ekonomi baik untuk kepentingan kelompok mereka maupun masyarakat.
d.        Pembaruan pendidikan Islam.
Dari sudut pandang ide, gerakan pembaharuan Indonesia secara umum agaknya dipengaruhi oleh tokoh pembaharu Timur Tengah baik  secara lansung ataupun tidak, khususnya dari tokoh Jamaludin al Afgani dan Muhammad Abduh. Walau mereka anti Barat yang menjajah negara-negara Islam, tetapi mereka menganjurkan untuk mempelajari ilmu pengetahuan sebagaimana yang dipelajari Barat.
Keberangkatan para ulama yang sekaligus adalah para pendidik tradisional Islam Indonesia menunaikan ibadah haji dan belajar di Mekah, menyebabkan mereka bersentuhan dengan pemikiran dan perjuangan yang sedang berkembangan di Timur Tengah memberi pengalaman tersendiri bagi mereka serta memberi pemahaman dan pandangan baru terhadap Islam umumnya dan pendidikan khususnya.
Khususnya faktor pendorong dari pembaruan pendidikan Islam tidak sepenuh dapat dikatakan seperti alasan tersebut di atas, karena keduanya dapat saling pengaruh mempengaruhi dengan kata lain timbul pembaruan pendidikan Islam di Indonesia dipengaruhi oleh adanya pembaharuan pemikiran para tokoh-tokoh pendidikan pada masa itu.
Sikap perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda bukanlah hal yang baru di bumi pertiwi ini, cuma dalam bentuk lain. Dapat diduga bahwa belajar dari kegagalan perjuangan para ulama dan para pahlawan terdahulu, pada awal abad 20 puluhan timbul kesadaran para ulama dan cerdik pandai, bahwa perlu bentuk dan cara baru untuk memberikan perlawanan, tidak hanya melalui kekuatan pisik.
Beberbekal dari pengalaman perjuangan negara Timur Tengah yang didapat ketika menunaikan haji dan/atau belajar di Mekah dan sekitarnya, sepulangnya ke tanah air para ulama menyelengarakan pendidikan baru dengan memadukan sistem pendidikan Islam tradional (masjid, surau dan pesantren) dengan sistem pendidikan barat yang mempergunakan klasikal, papan tulis. Kurikulumnya juga mengalami perubahan,  semula khusus belajar ilmu agama kemudian ditambah dengan ilmu-ilmu umum seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah Belanda.
Berbicara mengenai pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam (madrasah) di Indonesia, maka mau tak mau harus menelusuri muncul dan berkembangannya pendidikan  Islam Nusantara pada akhir abad 19 sampai pertengahan abad 20. Walaupun masing-masing daerah mempunyai ciri dan tokoh-tokohnya dengan karakter masing-masing, tapi secara umum ada beberapa hal yang bersamaan, yaitu keinginan untuk memajukan kehidupan rakyat, sebagai perlawanan kepada pemerintahan Belanda dan sebagai penghadang proses kristenisasi atau paling tidak sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pendidikan yang dilaksanakan Belanda.
C. Karakteristik Madrasah di Indonesia
 Sebagaimana telah dikemukakan, secara harfiah madrasah bisa diartikan dengan sekolah, karena secara teknis keduanya memiliki kesamaan, yaitu sebagai tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar secara formal. Namun demikian Karel Steenbrink membedakan madrasah dan sekolah karena keduanya mempunyai karakteristik atau ciri khas yang berbeda. Madrasah memiliki kurikulum, metode dan cara mengajar sendiri yang berbeda dengan sekolah. Meskipun mengajarkan ilmu pengetahuan umum sebagaimana yang diajarkan di sekolah, madrasah memiliki karakter tersendiri, yaitu sangat menonjolkan nilai religiusitas masyarakatnya. Sementara itu sekolah merupakan lembaga pendidikan umum dengan pelajaran universal dan terpengaruh iklim pendidikan Barat.
Perbedaan karakter antara madrasah dengan sekolah itu dipengaruhi oleh perbedaan tujuan antara keduanya secara historis. Tujuan dari pendirian madrasah ketika untuk pertama kalinya diadopsi di Indonesia ialah untuk mentransmisikan nilai-nilai Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan modernisasi pendidikan, sebagai jawaban atau respon dalam menghadapi kolonialisme dan Kristenisasi, di samping untuk mencegah memudarnya semangat keagamaan penduduk akibat meluasnya lembaga pendidikan Belanda.
Dari keterangan di atas menarik untuk dicatat bahwa salah satu karakteristik madrasah yang cukup penting di Indonesia pada awal pertumbuhannya ialah bahwa di dalamnya tidak ada konflik atau upaya mempertentangkan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum.
1.   Madrasah Aliyah dan Sekolah Menengah Atas
Madrasah di Indonesia secara historis juga memiliki karakter yang sangat populis (merakyat), berbeda dengan madrasah pada masa klasik Islam. Madrasah di Indonesia mulai dari Ibtidaiyah, Sanawiyah dan Aliyah. Madrasah Aliyah sama tingkatan dengan Sekolah Menengah Umum.
Madrasah Aliyah (disingkat MA) adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal di Indonesia, setara dengan Sekolah Menengah Atas, yang pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Agama. Pendidikan MA ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari Kelas 10 sampai Kelas 12.
Pada tahun kedua (yakni Kelas 11), seperti halnya siswa SMA, siswa MA memilih salah satu dari 4 jurusan yang ada, yaitu Ilmu Alam, Ilmu Sosial, Ilmu-ilmu Keagamaan Islam, dan Bahasa. Pada akhir tahun ketiga (yakni Kelas 12), siswa diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan MA dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi Umum atau Perguruan Tinggi Agama (Islam) atau langsung bekerja. MA sebagaimana SMA ada MA umum yang sering dinamakan MA dan MA kejuruan (di SMA disebut SMK) misalnya MAK (MA Keagamaan),dan MAPK (MA Program Ketrampilan).
Pelajar MA umumnya berusia 16-18 tahun. SMA/MA tidak termasuk program wajib belajar pemerintah, sebagaimana siswa Sekolah Dasar (atau sederajat) 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) 3 tahun.
Tujuan Madrasah sebagai bagian dari tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Tujuan pengembangan ciri khas Agama Islam pada MA adalah memberikan landasan Islami yang kokoh agar peserta didik memiliki kepribadian yang kuat dilandasi oleh nilai-nilai keislaman bagi perkembangan kehidupan selanjutnya.
Kurikulum MA sama dengan kurikulum Sekolah Menengah Atas, hanya saja pada MA terdapat porsi lebih banyak muatan Pendidikan Agama Islam, yaitu Fiqih, akidah, akhlak, Al Quran, Hadits, Bahasa Arab dan Sejarah Islam (Sejarah Kebudayaan Islam).
Sekolah Menengah Atas (disingkat SMA), adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat). Sekolah Menengah Atas ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari Kelas 10 sampai Kelas 12. Pada tahun ajaran 1994/1995 hingga 2003/2004, sekolah ini disebut Sekolah Menengah Umum (SMU).
Pada tahun kedua (yakni Kelas 11), siswa SMA dapat memilih salah satu dari 3 jurusan yang ada, yaitu Sains, Sosial, dan Bahasa. Pada akhir tahun ketiga (yakni Kelas 12), siswa diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan Sekolah Menengah Atas dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau langsung bekerja.
Pelajar SMA umumnya berusia 15-18 tahun. SMA tidak termasuk program wajib belajar pemerintah - yakni Sekolah Dasar (atau sederajat) 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) 3 tahun - maskipun sejak tahun 2005 telah mulai diberlakukan program wajib belajar 12 tahun yang mengikut sertakan SMA di beberapa daerah, contohnya Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.
Sekolah Menengah Atas diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan Sekolah Menengah Atas Negeri di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, Sekolah Menengah Atas Negeri merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan kabupaten/kota.
Kurikulum sekolah dan madrasah kalau merujuk pada Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan No. 23 Tahun 2006 Standar Kompentensii Lulusan, maka tidak ada perbedaannya, hanya saja kurikulum madrasah juga harus merperhatikan Surat Edaran Dirjen Pendidikan Islam No. DJ.II.1/PP.OO/ED/681/2006 tanggal 1 Agustus 2006 tentang pelaksanaan Standar Pelaksanaan Standar Isi, yang di dalamnya juga ditetapkan struktur  kurikulum madrasah.  Sebagai contoh  kurikulum untuk sekolah dan madrasah.


Struktur kurikulum SMA/MA kelas  seperti terdapat dalam Permendiknas
No. 22 Tahun 2006
Komponen
Smt I
Smt II
A.
1.   Pendidikan Agama Islam
2
2

2.   Pendidikan Kewarganegaraan
2
2

3.   Bahasa Indonesia
4
4

4.   Bahasa Inggris
4
4

5.   Matematika
4
4

6.   Fisika
2
2

7.   Biologi
2
2

8.   Kimia
2
2

9.   Sejarah
1
1

10. Geografi
1
1

11.  Ekonomi
2
2

12.  Sosisoliogi
2
2

13.  Seni Budaya
2
2

14.  Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan
2
2

15.  Teknologi Informasi dan Komunikasi
2
2

16.  Keterampilan/Bahasa Asing
2
2
B
Muatan Lokal
2
2
C
Pengembangan Diri
2
2

Jumlah
38
38
Struktur kurikulum MA kelas X berdasarkan  Surat Edaran Dirjen Pendidikan Islam No. DJ.II.1/PP.OO/ED/681/2006
Komponen
Smt I
Smt II
A.
1.   Pendidikan Agama Islam
4
4

2.   Pendidikan Kewarganegaraan
2
2

3.   Bahasa Indonesia
4
4

4.   Bahasa Inggris
4
4

5.   Bahasa Arab
2
2

6.   Matematika
4
4

7.   Fisika
2
2

8.   Biologi
2
2

9.   Kimia
2
2

10. Sejarah
1
1

11.  Geografi
1
1

12.  Ekonomi
2
2

13.  Sosisoliogi
2
2

14.  Seni Budaya
2
2

15.  Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan
2
2

16.  Teknologi Informasi dan Komunikasi
2
2

17.  Keterampilan/Bahasa Asing
2
2
B
Muatan Loka
2
2
C
Pengembangan Diri
2
2

Jumlah
42
42
Jumlah waktu untuk mata pelajaran agama Islam di sekolah 2 satuan waktu atau 5% dari waktu keseluruhan, lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah waktu pendidikan yang ada di Madrasah 4 satuan waktu 11% dari keseluruhan waktu.  Kalau mempelajari bahasa Arab dapat dianggap sebagai jalan untuk mempelajari agama maka jumlah jam menjadi bertambah menjadi 6 satuan waktu atau 16% dari keseluruhan waktu.
2.     Problema Madrasah Aliyah
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pada awalnya Madrasah adalah pendidikan yang mempunyai ”dua misi” yaitu sebagai lembaga pendidikan agama dan sebagai pendidikan umum dan hal ini tidak menimbulkan masalah dalam pelaksanaan. Sebagai lembaga pendidikan agama paling tidak ada tiga hal yang menjadi titik fokus MA:
1)      Menanamkan keimanan kepada peserta didik. Iman menjadi hal yang sangat urgen dalam kehidupan seorang muslim dan akan menjadi landasan semua perbuatan yang lain, sehingga penanaman keimanan menjadi sangat penting.
2)      Praktikum ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Ibadah merupakan bagian terpenting setelah keimanan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi setiap orang tua yang mengamanahkan anaknya untuk mendapatkan pendidikan agama Islam, sangat berharap adanya pemahaman yang bertambah tentang ibadah dan bertambah semangat dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
3)      Akhlak karimah. Sudut pandang yang masih melekat di masyarakat secara umum bahwa anak yang mengenyam pendidikan agama (baca MA) adalah anak yang terpelajar, pandai dan berkahlak baik. Akhlak yang baik merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan dari sebuah pendidikan.
Tetapi tataran pelaksanaan selanjutnya pendidikan yang dilakukan di MA menimbulkan berbagai persoalan, diantaranya :
1)      Pendidikan MA yang merupakan lembaga pendidikan menengah sebagai harapan bagi para orang tua yang tidak memasukkan anaknya di pesantren, setidaknya hasil yang diharapkan tidak jauh dari pendidikan pesantren. Akan tetapi pada kenyataannya sangat jauh dari harapan. Hal ini sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang tidak berbeda dengan sekolah menengah atas (SMA) seperti waktu belajar, disiplin siswa dan tata tertib sekolah.
2)      Tertib ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah yang diharapkan tertanam dan terealisasi lebih baik dalam perilaku ibadah sehari-hari dan sifat sosial lebih tinggi jika dibandingkan dengan siswa SMA yang mempelajari agama di ruang kelas hanya dua jam pelajaran saja. Namun hal itu tidak terlihat perbedaan yang besar antara siswa MA dan SMA.
3)      Pendidikan MA, masih berorientasi pada mensukseskan kurikulum semata. Pada kurikulum umum, pendidikan yang dilakukan MA belum mampu mengalahkan keunggulan SMA. Hal itu dapat terlihat pada olimpiade mata pelajaran matematika, bahasa inggris, ekonomi dan sebagainya. Sedangkan di sisi pembentukan akhlak sebagai komponen penting dalam kehidupan beragama  belum menampakkan hasil yang menonjol bila dibandingkan dengan sekolah umum
Melihat persoalan diatas jalan keluar yang mungkin dapat dilakukan oleh MA adalah membuat suana dan lingkungan yang islami sehingga pelajaran agama tidak hanya sekedar pengatahuan, tapi merupakan prkatek dalam kehidupan sehari-hari.
3.      Urgensi Pendidikan Agama di Sekolah Menengah
Pendidikan agama baik di Madrasah Aliyah maupun Menengah Umum sama-sama memiliki kepentingan yang tidak bisa diremehkan. Meski kedua tujuannya berbeda, namun dalam menjalankan pendidikan agama, tetap membutuhkan metode yang sama. Bila dalam sekolah agama seperti Madrasah Aliyah, pendidikan agama ditujukan untuk menghantar dan mempersiapkan anak didik untuk menjadi ahli agama, sedangkan di sekolah umum seperti Sekolah Menengah Umum, pendidikan agama ditujukan untuk menjadikannya seorang warga negara yang memahami dan menghayati agamanya dalam kehidupan sehari-hari, tanpa harus menjadi ahli agama.
Dikatakan dalam Kurikulum 2004 Standar Kompetensi PAI bahwa secara redaksional, tujuan pendidikan di jenjang SD, SMP, dan SMA adalah sama, yaitu untuk meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam kehidupan pribadi, berbangsa dan bernegara.
Masih di dalam Kurikulum 2004 Standar Kompetensi PAI juga, ruang lingkup bahan pelajaran pendidikan agama Islam di Sekolah Menengah Atas terfokus pada aspek:
a.       Al-Qur`an dan Hadits
b.      Keimanan
c.       Syariah
d.      Akhlak
e.       Tarikh.
Adapun kompetensi dasar PAI di SMA/SMK berorientasi pada peilaku afektif dan psikomotorik dengan dukungan pengetahuan kognitif dalam rangka memperkuat keimanan kepada Allah swt.  Di antaranya adalah sebagai berikut,
1.      Beriman kepada Allah swt. dan lima rukun ydddang lain dengan mengetahui fungsi dan hikmahnya serta terefleksi dalam perilaku sehari-hari.
2.      Dapat membaca, menulis, dan memahami ayatAl-Qur`an serta implementasinya.
3.      Mampu beribadah dengan baik.
4.      Dapat meneladani sifat, sikap dan kepribadian Rasulullah dan mengambil hikmah dari sejarah perkembagan Islam.
5.      Mampu mempraktikkan sistem muamalat Islam.



Fungsi pendidikan agama Islam antara lain yang disebutkan Abdul Rachman sebagai berikut,
a.   Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. serta akhlak mulia
b.   Kegiatan pendidikan dan pengajaran
c.   Mencerdaskan kehidupan bangsa yang berimtak dan beriptek
d.   Fungsi semangat studi keilmuan dan IPTEK.
Unsur-unsur yang berpengaruh pada keberhasilan pendidikan agama di antrarnya,
1.      Hasil dari kompetensi dasar pendidikan agama
2.      Mareri dan alokasi waktu yang disediakan untuk mencapai kompetensi
3.      Metode
4.      Background keagamaan siswa
5.      Kesungguhan peran orangtua sebagai pendidik
6.      Lingkungan masyarakat
7.      Guru profesional.


          4.      Problematika
Permasalah mendasar dalam pendidikan agama baik di MA maupun SMA adalah efektivitas pendidikan tersebut yang masih dirasa minim dan belum mencapai target sebagaian yang tertulis dalam tujuan Sisdiknas. Pendidikan agama Islam dianggap kurang berhasil dengan indikator sebagai berikut,
1.      Pendidikan agama selama ini kurang mampu mengubah pengetahuan kognitif menjadi makna dan nilai nyata.
2.      Kurang dapat berjalan bersama dengan program pendidikan non-agama.
3.      Kurang relevan terhadap perubahan sosial masyarakat.
Adapun permasalahan yang banyak melekat pada Madrasah Aliyah sebagaimana problem madrsasah secara umum menurut Muhaimin adalah profesionalitas bermanajemen di samping sumber daya internal, baik yang berupa kurikulum, sistem pembelajaran, SDM, sumber dana, maupun fasilitas.
Kurangnya standar minimal tenaga pengajar madrsah juga menambah deretan hambatan kualitas alumnus madrasah. "Karena kualitas rendah, orang menilai madrasah kelas dua," ujar Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama, Jayja Umar. Padahal lanjutnya, konsep madrasah adalah sekolah umum. Madrasah memiliki bobot pengajaran sama dengan sekolah umum dengan tambahan pelajaran agama. Jadi secara teori, harusnya madrasah lebih tinggi dari sekolah umum biasa, namun realita berbicara lain. Ketidakprofesionalan guru ini tidak hanya terindikasi dari standar dasar penguasaan materi, namun juga miskinnya metode penyampaian, di samping kurikulum yang overload sehingga menampilkan wajah lulusan madrasah yang tidak kompeten di bidang ilmu agama sekaligus umum.
Secara garis besar, kendala yang cukup mengganggu terbagi menjadi kendala internal dan eksternal. Kendala internal ini berupa pendanaan, penguasaan guru bidang studi, terutama mata pelajaran umum, miskinnya ragam metode pembelajaran yang digunakan, penguasaan seluruh guru terhadap agama Islam yang komprehensif sehingga tidak melahirkan interpretasi parsial serta tidak mampu menerjemahkan pesan trasendental Islam ke dalam aksi, interaksi guru-murid yang berlaku sebatas formal sehingga tidak berlanjut di out-door, overlapping lembaga yang membawahi madrasah, mengingat sebagian besar madrasah berstatus swasta, manajemen yang salah sehingga visi misi madrasah selalu tampak kabur, sarana dan prasarana yang terlalu sederhana, lingkungan sekolah yang tidak terbentuk baik, atau hal lain semisalnya.
Kendala eksternal bisa berupa dikotomi yang terwariskan dan masih dilanjutkan, pandangan sinis masyarakat yang memarginalkan dan tidak mempercayai madrasah, kurikulum yang terkesan overload, keluarga yang tidak dapat bekerjasama membentuk kecerdasan spiritual anak sehingga tidak bersinergi dengan para pengajar di madrasah, dana pemerintah terhadap madrasah yang tidak merata dan beragam, globaliasasi dan pasar bebas yang mempolarisasi nilai Islami pada skala mikro maupun makro, orientasi pendidikan jangka panjang yang telah tergeser, atau hal lain semacamnya seperti keputusan para pengambil kebijakan yang mengebiri madrasah.
5.   Tawaran Solusi
Pengertian pendidikan Islam sebagaimana yang dikutip Abdul Rachman Saleh dari Depdiknas mengenai Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah dalam kurikulum berbasis kompetensi yaitu sebagai upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, bertakwa, dan berahlak mulia dalam mengamalkan ajaran agam Islam dari sumber utamanya  kitab suci Al-Qur`an dan Hadits melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan serta penggunaaan pengalaman. Dari poin ini dapat ditangkap bahwa tujuan pendidikan agama Islam yang dilaksanakan pada berbagai jenjang pendidikan formal, tidaklah cukup diberikan secara normatif, atau juga bertumpu pada salah seorang pengajar saja, dalam hal ini adalah guru agama, akan tapi menjadi tugas seluruh pihaklah mengusahakan hal terkait. Sebagaimana yang dikatakan Muhaimin, Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa pendidikan nasional berakar pada nilai-nilai agama. Maka, demi menuju perbaikan efektif dalam pendidikan agama di sekolah, harus ada perubahan paradigma pendidikan agama yang tidak hanya membebankan tugas pembinaan sisi religius anak pada guru agama saja. Abdul Rachman menyebutnya dengan pendidikan tidak didekati secara monolitik, melainkan integratif, diiringi dengan semangat non-dikotomis, melainkan rekonsiliasi.
D. Kesimpulan

Dari uraian singkat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa :


1.    Madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-sekurangnya 30% di samping mata pelajaran umum. Sedang SMA adalah jenjang pendidikan tingkat menengah pada pendidikan formal di Indonesia sebagai pendidikan lanjutan sekolah menengah pertama.
2. Tujuan Sekolah/Madrasah sebagai bagian dari tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
3.  Tujuan pengembangan ciri khas Agama Islam pada MA adalah memberikan landasan Islami yang kokoh agar peserta didik memiliki kepribadian yang kuat dilandasi oleh nilai-nilai keislaman bagi perkembangan kehidupan selanjutnya, sedangkan pada satuan tingkat SMA, pendidikan agama diluar jam pelajaran diberikan secara non formal dengan berbagai kegiatan extrakurikuler atau pengembangan diri.
4. Kurikulum MA sama dengan kurikulum Sekolah Menengah Atas, hanya saja pada MA terdapat porsi lebih banyak muatan Pendidikan Agama Islam, yaitu Fiqih, akidah, akhlak, Al Quran, Hadits, Bahasa Arab dan Sejarah Islam (Sejarah Kebudayaan Islam).
5. Jika dilihat secara umum, baik pelaksanaan kurikulum, proses pembelajaran, waktu belajar dan keberhasilan dari pembelajarannya pada dasarnya pendidikan madrasah dan sekolah menegah atas hampir tidak ada perbedaan. Perbedaannya hanya terlihat dari stuktur kurikulum lokal dan kebijakan yang di pegangnya yaitu dinas pendidikan dan departemen agama. 



 
DAFTAR PUSTAKA

Asrohah, Hanum, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 1999.
Daulay, Haidar Putra, Historis dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta : Tiara Kencana, 2001.
Departemen Agama, Al Quran dan Terjemahan
Fadjar, A. Malik, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta: LP3NI, 1998.
Gibb, HAR and H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden : E.J. Brill, 1981.
Hamka, Ayahku : riwayat hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan perjuangan kaum agama di Sumatra, Umminda
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : lintasan sejarah pertumbuhan dan perkembangan, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2001.
Ilyas, Yunahar, Tafsir Tematis Cakrawala Al-Quran, Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2003
Keputusan Bersama Tiga Menteri Tahun 1975, pasal 1
Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia : rekonstruksi sejarah untuk aksi, Malang : UMJ Press, 2006. 
Maksum, Madrasah : sejarah dan perkembangannya : Jakarta, Logos Wacana Ilmu 1999.
Mulkan, Munir, Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan Dalam Hikmah Mmuhammadiyah, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2007.
Mursyid, Ali, kangalimursyid.blogspot.com/2007/05/urgensi-penguatan-civic-educati
Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Edisi Indonesia, Surabaya: Risalah Gusti: 1996.
Nata, Abuddin, Tokoh- Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada,  2005.
Nizar, Samsul, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam : potret Timur Tengah era awal dan Indonesia, Ciputat : Quantum Teaching, 2005.
Presiden, UU No.20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Salyalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, terjemahan : Muchtar Jahya dan Sanusi Latief, Jakarta:  Bulan Bintang, 1973.
Sejarah Pendidikan Sumatra Barat : pendidikan abad ke 20, pakguru online.net,
Steenbrink, Karel A,  Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta : LP3ES.
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mutiara, 1979.
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara,  2006.

1 komentar: