PERTUMBUHAN
DAN PERKEMBANGAN MADRASAH AWAL
A.
PENDAHULUAN
Ilmu
mempunyai kedudukan istimewa dalam Islam. Penting dan tinggi kedudukan
pendidikan dalam Islam dapat dilihat dari beberapa keterangan di bawah ini :
1. Penciptaan Manusia
Ketika Allah menceritakan
kisah tentang peristiwa saat menjelang penciptakan manusia pertama yang bernama
Adam sebagaimana termaktub pada surat 2 ayat 30
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي
جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا
وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ
إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya
:
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui". (al-Baqarah:30)”
Malaikat
adalah makhluk yang senantiasa bertasbih memuji Allah dan mensucikan-Nya,
seperti robot tak pernah keluar dari garis hidup yang telah ditentukan
untuknya, tetapi ketika rencana
penciptaan Adam diumumkan, mereka meragukan dan mempertanyakan kebijakan Allah
(entah kekuatan dari mana datangnya). Padahal kita tahu malaikat adalah makhluk
yang tidak pernah menyanggah dan membantah perintah Allah.
Jawaban Allah atas
keraguan dan pertanyaan Malaikat
tersebut sangat sederhana tetapi dalam makna, yakni “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". Kejadian
itu tidak sampai disitu saja, ayat selanjut
menjelaskan hal tersebut.
قَالَ يَاآدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ
فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ
غَيْبَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ
Artinya :
Allah berfirman: "Hai
Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah
diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman:
"Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui
rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu
sembunyikan?" (Al Baqarah : 32)
maka,
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا
لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
Artinya :
Dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka
sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk
golongan orang-orang yang kafir. (Al Baqarah:34)
Kelebihan
pengetahuan yang dimiliki Adam telah merubah tatanan kehidupan penghuni syurga.
Kedudukan
Malaikat sangat mulia di sisi Allah, tapi disuruh tunduk kepada Adam karena
ilmunya. Peristiwa itu juga menyebab Iblis diusir dari surga. Peristiwa ini
adalah suatu hal sangat luar biasa.
2.
Penobatan Muhammad Menjadi
Rasul Allah
Waktu Penobatan
Muhammad menjadi Rasul, Allah membekali
beliau dengan lima potong ayat surat Al Alaq 1-5
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ .خَلَقَ
الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ .اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ .عَلَّمَ
الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Artinya :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang
Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(al Alaq 1-5)
Ayat
ini memerintahkan Nabi untuk membaca/belajar dari alam dan kalam untuk
memperoleh ilmu sebagai senjata/alat berdawah, merobah cara pikir dan cara pandang
manusia serta budaya masyarakat,
sehingga tercipta tatanan baru dalam masyarakat.
3. Allah Mengangkat Derajat dan Memuji Orang Berilmu
يَرْفَعِ اللَّهُ
الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Artinya :
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (al
Mujadalah 11)
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Artinya :
Sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (Fathir : 28)
Dalam surat al Mujadalah ayat 58, Allah menjanjikan derajat yang lebih
bagi orang-orang yang berilmu dan pada Fathir ayat 28 Allah memberi pujian ilmu kepada orang-orang yang memiliki
ilmu.
4. Beberapa Hadist Tentang Perintah Menuntut Ilmu
Barang siapa menempuh jalan
untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan ke surga. (H. R. Bukhari)
Seutama-utamanya shodaqoh
adalah seorang muslim mempelajari suatu ilmu, lalu diajarkan kepada saudaranya
yang muslim (HR. Ibnu
Majah)
Manusia yang paling merugi
pada hari kiamat adalah seseorang yang ketika di dunia mempunyai kesempatan
untuk menuntut ilmu tetapi tidak menuntutnya, dan seorang yang mengajarkan
suatu ilmu lalu orang yang mendengarnya memanfaatkan ilmu itu tetapi dirinya sendiri
tidak memanfaatkannya
(HR. Ibnu Asyakir)
Begitu
kuatnya dorongan syariah Islam kepada pemeluknya untuk menuntut ilmu. Di
samping ayat-ayat dan hadits-hadits di atas masih banyak ayat dan hadits yang
menganjur penganutnya untuk menuntut ilmu, bahkan dalam keadaan genting/perang
sekalipun menuntut ilmu harus tetap jalan, sebagaimana firman Allah dalam surat
at-Taubah : 122 berikut ini
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا
كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا
فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ.
Artinya :
Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya. (at-Taubah : 122)
Dalam
Islam menuntut ilmu bukan menjadi tujuan tetapi untuk mengenal Allah dan
diamalkan atau sebagai pedoman dalam beramal. Ilmu berfungsi sebagai burhan
dan hudan dalam kehidupan juga sebagai penuntun dalam mencapai tujuan,
tetapi ilmu tidak ada manfaatnya kalau tidak berbuah pengamalan dan sikap lebih
baik.
Semua hal tersebut di
atas menjadi penyebab utama yang mendorong tumbuhnya dan berkembangnya proses
pengajaran dan pendidikan dalam Islam. Jadi tidaklah mengherankan jika lembaga
pendidikan Islam telah tumbuh semenjak kelahiran Islam dan berkembang sesuai
dengan kebutuhan zaman dan situasi tempat keberadaannya. Kehadiran Madrasah
kemudian adalah untuk menjawab tantangan dan memenuhi kebutuhan sesuai keadaan sebagai bentuk pengembangan dan
pembaharuan dari sistem pendidikan Islam klasik.
Keberadaan pendidikan
Islam di Indonesiapun sangat dipengauhi oleh semangat tersebut. Dinamika
perjalanan panjang pendidikan Islam di Indonesia, mulai dari awal seiring
dengan keberadaan Islam di Indonesia sampai kepada menjadi madrasah sangat
dipengaruhi berbagai aspek kehidupan bermasyarakat ataupun bernegara.
Dalam keadaan
dekadensi moral anak seperti saat ini, seharusnya
madrasah menjadi semakin penting keberadaanya serta perlu mendapatkan perhatian
khusus dan dikembangkan dengan memberikan porsi yang seimbang antara
masing-masing bidang studi sesuai dengan kebutuhan, sehingga tercipta manusia Indonesia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Namun bagi sebagian besar masyarakat kita madrasah hanyalah
sekolah kelas dua, kalau tidak lebih dibawah lagi, walaupun belakangan sudah
ada perhatian lebih dari pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas.
Makalah ini mencoba untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan Madrasah di
Indonesia pada awal abad 20 yang menghadapi banyak tantangan diantaranya :
1.
Keterbelakang masyarakat
Islam Indonesia, baik dalam pendidikan dan ekonomi.
2.
Perjuangan menghadapi
penjajahan Belanda.
3.
Penolakan masyarakat yang
belum dapat menerima perubahan.
B.
PENGERTIAN MADRASAH
Kata
"madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata
"keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata "darasa".
Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat
belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran".
Jika
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah"
memiliki arti "sekolah". Dalam Shorter Encyclopedia of Islam,
madrasah adalah ”Name of an institution where the Islamic siences are
studied.
Di Indonesia, madrasah
tetap dipakai dengan kata aslinya madrasah, kendatipun pengertiannya
tidak lagi persis dengan apa yang dipahami di negeri asalnya (Arab), yaitu sekolah,
tetapi ditujukan untuk sekolah yang mata pelajaran dasarnya adalah mata
pelajaran agama Islam.
Sungguhpun secara teknis,
yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak
berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas
dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi,
yakni "sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh
pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini
agama Islam) lebih mendalam dari sekolah.
Menurut Surat Keputusan Bersama Tiga
Menteri Tahun 1975, pengertian madrasah adalah lembaga pendidikan yang
menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang
diberikan sekurang-sekurangnya 30% di samping mata pelajaran umum.
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1989 dan Peraturan Pemerintah 28 dan 29 Tahun 1990 serta Surat Keputusan
Menteri Pendidikan dan Pengajaran No. 0489/U/1992 dan Surat Keputusan Menteri
Agama No. 373 Tahun 1993, madrasah
adalah sekolah yang berciri khas Islam.
Dalam masyarakat Indonesia secara umum
pengertian madrasah adalah sekolah agama yang di dalamnya juga dipelajari
ilmu-ilmu umum. Jadi bila disebut madrasah maka dipahami bahwa di sekolah
tersebut diajarkan mata pelajaran agama Islam lebih banyak dari sekolah umum.
Pada awalnya madrasah adalah
pengembangan sistem pendidikan dari masjid ke masjid yang mempelajari fiqih
tertentu. Besarnya minat belajar umat Islam membuat mesjid-mesjid penuh dengan
kelompok-kelompok belajar, sehingga membutuh tempat baru yang memadai untuk
itu. Madrasah di Indonesia adalah pembaharuan pendidikan Islam Indonesia dari pendidikan
tradisional seperti surau, pesantren dan lainnya ke sekolah dengan sistem
klasikal, administrasi lebih tertata, dan penjenjangannya. Madrasah awal di
Indonesia merupakan perpaduan sistem pendidikan sekolah (Barat) dengan sistem
pendidikan tradisional Islam Indonesia.
Pada saat sekarang perbedaan
yang mendasar antara madrasah dan sekolah adalah bobot mata pelajaran agama
Islam pada kurikulum pendidikan madrasah lebih banyak dari bobot mata pelajaran
agama Islam pada kurikulum pendidikan sekolah umum.
C. Lahir Madrasah di Nusantara
1. Faktor-Faktor yang Mendorong
Lahirnya Madrasah
Kedatangan bangsa Belanda
ke Indonesia pada awalnya bermaksud berdagang dengan saudagar-saudagar dari
Nusantara, tetapi demi memenuhi kepentingan dan melihat kesempatan yang ada
secara berangsur-angsur tapi pasti Belanda mulai menancapkan kukunya di
Indonesia, mengatur kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia dan menjajahnya.
Pemerintah Belanda
tidak hanya mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, tetapi juga menekan
kehidupan politik dan kehidupan keagamaan rakyat. Setiap jamaah haji yang
pulang ke Indonesia diawasi dengan ketat untuk mengantispasi para hujaj akan
membangkit semangat perlawanan terhadap pemerintahan Belanda.
Bagi sebagian besar masyarakat
Indonesia sikap pemerintah Belanda tersebut membuat mereka gelisah, terutama
para ulama dan santrinya sehingga menimbulkan perlawanan bersenjata walaupun
masih bersifat kedaerahan. Perlawanan kedaerahan tersebut tidak membuat Belanda
lari dari kawasan Indonesia, tetapi malah memperkuat posisinya dengan menguasai
seluruh tanah air secara berangsur-angsur.
Dunia pendidikan di Indonesia
tidak luput dari campur tangan dan tekanan Belanda. Bentuk campur tangan dan
tekanan yang dilakukan adalah dengan menyelenggarakan pendidikan model barat
dengan kesempatan sangat terbatas bagi pribumi, pembatasan ruang gerak
guru-guru pelajaran agama Islam dan
mengabaikan hasil didikan lembaga pendidikan Islam yang ada pada waktu itu.
Lulusan/keluaran lembaga pendidikan Islam masih dianggap buta huruf yang tentu
saja tidak bisa menjadi pegawai dan dicurigai sebagai orang-orang cenderung akan
melawan kepada perintahan Belanda.
Pendidikan kolonial
sangat berbeda dengan sistem pendidikan tradisional Islam, bukan saja metode,
tapi juga dari segi isi dan tujuan. Pendidikanya hanya mengajarkan pengetahuan
dan keterampilan duniawi. Sedangkan pendidikan tradisional Islam hanya di
bidang agama dalam pengertian sempit.
Sebenarnya tujuan
pemerintah Belanda menyelenggarakan pendidikan rakyat bukan untuk mencerdaskan
rakyat di daerah jajahannya, tapi lebih cendrung untuk memperkuat posisinya di
Nusantara ini. Melalui pendidikan ini diharapkan dapat menanamkan ide-ide
penjajahan agar tidak menimbulkan perlawanan terhadap Belanda. Juga diharap
menghasilkan tenaga yang dapat dipekerjakan pemerintah Belanda dengan upah yang
kecil.
Apa yang
mereka/Belanda sebut pembaharuan kebijakan pendidikan adalah westernisasi dari
kristenisasi yakni untuk keuntungan Barat atau Belanda dan Nasrani. Dua motif
ini yang mewarnai kegiatan penjajah Barat di Indonesia selama lebih kurang 3,5
abad.
Suatu hal di luar
kewajaran, bila bangsa Belanda yang menjajah bangsa Indonesia dan ingin melanggengkan
penjajahannya serta mengambil keuntungan besar dari bangsa yang dijajahnya,
kemudian mengadakan pendidikan untuk kepentingan bangsa yang dijajahnya,
walaupun dikemudian hari ada juga pendidikan yang dilaksanakan Belanda untuk
kepentingan bangsa Indonesia, tapi itu dilakukan untuk memenuhi tekanan dan
kritikan dari berbagai pihak termasuk orang-orang Belanda sendiri.
Sementara itu
pendidikan tradisional Islam Indonesia melalui pesantren dan surau agaknya
identik dengan pengajian kitab-kitab ahli mazhab tertentu dan mengabaikan
pembelajaran Al-Quran dan Hadist. Lebih dari itu bidang-bidang studi non keagamaan
(memang tidak tersedia dalam kitab-klasik)
tidak diajarkan sama sekali.
Eksistensi pendidikan
tradisional Islam di Nusantara ditantang oleh kehadiran lembaga-lembaga
pendidikan Barat yang sekuler. Respon awal tantangan ini lebih bersifat
isolatif, dimana pendidikan Islam lebih mengasingkan diri dari pengaruh
pendidikan modern, kecuali beberapa daerah khususnya Minangkabau karena pembaharuan Islam telah mulai awal abad ke
19.
Tumbuh dan berkembangnya
madrasah di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan tumbuh dan berkembangnya
ide-ide pembaharuan pemikiran para ulama
dari beberapa daerah di Indonesia. Sejarah juga mencatat bahwa orang-orang Indonesia
yang mengenyam sekolah Belanda mengenal model pendidikan Barat yang berbentuk
klasikal dan mata pelajaran ilmu pengetahuan umum melahirkan intelektual baru khususnya dalam bidang pendidikan.
Faktor-faktor yang
mendorong timbulnya ide-ide pembaharuan tersebut adalah :
a. Mencontoh ide berkembangannya keinginan umat Islam di Timur Tengah dalam
ajaran agama untuk kembali kepada Al Quran dan As Sunnah.
b. Sebagai sikap perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda.
c. Adanya usaha yang kuat dari orang-orang Islam untuk memperkuat
organisasinya di bidang sosial dan ekonomi baik untuk kepentingan kelompok
mereka maupun masyarakat.
d. Pembaruan pendidikan Islam.
Dari sudut pandang
ide, gerakan pembaharuan Indonesia secara umum agaknya dipengaruhi oleh tokoh
pembaharu Timur Tengah baik secara
lansung ataupun tidak, khususnya dari tokoh Jamaludin al Afgani dan Muhammad
Abduh. Walau mereka anti Barat yang menjajah negara-negara Islam, tetapi mereka
menganjurkan untuk mempelajari ilmu pengetahuan sebagaimana yang dipelajari
Barat.
Keberangkatan para
ulama yang sekaligus adalah para pendidik tradisional Islam Indonesia
menunaikan ibadah haji dan belajar di Mekah, menyebabkan mereka bersentuhan
dengan pemikiran dan perjuangan yang sedang berkembangan di Timur Tengah
memberi pengalaman tersendiri bagi mereka serta memberi pemahaman dan pandangan
baru terhadap Islam umumnya dan pendidikan khususnya.
Khususnya faktor
pendorong dari pembaruan pendidikan Islam tidak sepenuh dapat dikatakan seperti
alasan tersebut di atas, karena keduanya dapat saling pengaruh mempengaruhi
dengan kata lain timbul pembaruan pendidikan Islam di Indonesia dipengaruhi
oleh adanya pembaharuan pemikiran para tokoh-tokoh pendidikan pada masa itu.
Sikap perlawanan
nasional terhadap penguasa kolonial Belanda bukanlah hal yang baru di bumi
pertiwi ini, cuma dalam bentuk lain. Dapat diduga bahwa belajar dari kegagalan
perjuangan para ulama dan para pahlawan terdahulu, pada awal abad 20 puluhan
timbul kesadaran para ulama dan cerdik pandai, bahwa perlu bentuk dan cara baru
untuk memberikan perlawanan, tidak hanya melalui kekuatan pisik.
Beberbekal dari pengalaman
perjuangan negara Timur Tengah yang didapat ketika menunaikan haji dan/atau
belajar di Mekah dan sekitarnya, sepulangnya ke tanah air para ulama
menyelengarakan pendidikan baru dengan memadukan sistem pendidikan Islam
tradional (masjid, surau dan pesantren) dengan sistem pendidikan barat yang
mempergunakan klasikal, papan tulis. Kurikulumnya juga mengalami perubahan, semula khusus belajar ilmu agama kemudian
ditambah dengan ilmu-ilmu umum seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah
Belanda.
2. Lahirnya
Madrasah di Beberapa Daerah di Indonesia
Berbicara mengenai
pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam (madrasah) di Indonesia, maka mau
tak mau harus menelusuri muncul dan berkembangannya pendidikan Islam Nusantara pada akhir abad 19 sampai
pertengahan abad 20. Walaupun masing-masing daerah mempunyai ciri dan tokoh-tokohnya
dengan karakter masing-masing, tapi secara umum ada beberapa hal yang
bersamaan, yaitu keinginan untuk memajukan kehidupan rakyat, sebagai perlawanan
kepada pemerintahan Belanda dan sebagai penghadang proses kristenisasi atau
paling tidak sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pendidikan yang dilaksanakan
Belanda.
a. Lahirnya Madrasah di Minangkabau
Pada pertengahan abad
ke 19 Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah
rakyat (terbatas) di Sumatra Barat. Hasil sekolah ini menghasilkan kelompok
baru di tengah masyarakat, yakni kelompok cerdik pandai. Kebanyakan mereka
bekerja pada Belanda, sesuai dengan tujuan pendirian sekolah tersebut. Bagi
Belanda mereka tidak lebih dari sekedar memantapkan pemerintahan Belanda dan
memperkuat kedudukannya.
Sementara itu ada
golongan yang tidak bersedia bekerja sama dengan Belanda dan menentang
kekuasaan Belanda. Mereka ini biasa berasal dari keturunan Ulama yang juga
belajar agama secara intesif di Surau dan juga mengenyam pendidikan Belanda. Pernyataan
ini dapat dilihat tokoh yang akan dibicarakan berikut ini yaitu Abdullah Ahmad.
Pembaharuan pendidikan
Islam model madrasah awalnya dilakukan secara perorangan, seperti yang dilakukan
oleh Abdullah Ahmad. Dia adalah tokoh pertama yang mendirikan sekolah bercorak
madrasah pada tahun 1907 di Padang Panjang. Berbeda dengan sistem pendidikan
yang berlaku selama ini di Minangkabau-Surau-dalam sekolah Adabiyah telah
memakai sistem klasikal. Kurikulumnya tidak hanya berisi pelajaran agama tetapi
juga berisi pelajaran membaca, menulis huruf latin dan berhitung.
Keberadaan sekolah
ini tidak bertahan lama dan belum setahun sudah sudah ditutup, karena
masyarakat Padang Panjang belum siap menerima perubahan dan mendapat reaksi
yang keras dari mereka. Kegagalan tersebut juga disebabkan oleh letaknya yang
kurang menguntungkan untuk perdagangan kain. Setelah mengadakan studi kelayakan
pada Madrasah al-Iqbal al-Islamiah di Singapura dan mendapat motivasi dari
Syekh Taher Djalaluddin, pada tahun 1909 di Padang, Ahmad mendirikan dengan
nama Adabiyah School. Sekolah ini merupakan bentuk adaptasi dari sistem
pendidikan surau kepada suatu penyesuai total kepada sistem Belanda.
Kurikulumnya lebih banyak yang bersifat umum dari pada pelajaran agama. Untuk
mengajar mata pelajaran umum, Ahmad Abdullah memasukkan 4 orang guru bangsa
Belanda, di samping dua orang Indonesia yang mempunyai ijazah untuk mengajar di tingkat HIS.
Pembaharuan
pendidikan secara organisasi dipelopori oleh Sumatra Thuwalib (Pelajar Sumatra)
yang beranggotakan para murid Surau Jembatan Besi. Dalam suatu musyawarah Syekh Haji Abdul Karim
Amrullah dan Syekh Haji Ibrahim Moesa Parabek sepakat merubah nama perkumpulan
tersebut dengan nama Sumatra Thawalib pada tahun 1918. Pembaharuan dari sistem
tradisional (halaqah) menjadi sistem klasikal dilakukan secara bertahap.
Sistem klasikal dan orientasi materi pelajaran lembaga ini bapat dikatakan
sempurna sejak tahun 1921.
Haji Rasul berupaya
menysusun kembali kurikulum, metode mengajar, buku yang dipergunakan, dan
memasukkan mata pelajaran umum di samping mata pelajaran agama. Untuk pelajar
tingkat tinggi kitab-kitab yang dipakai antara lain : kitab tafsir al-Manar
karya Abduh dan Rasyid Ridha, kitab karya Ibn Taimiyah dan Ibn Al Qayyim.
Sedang untuk kelas tujuh diperkenalkan kelas diskusi yang membahas tentang
persoalan-persoalan agama yang terjadi di masyarakat. Di bidang administrasi
pendidikan dibentuk sebuah badan pengawas yang dinamakan Dewan Sekolah.
Sumatra Tawalib
mengalami kemajuan, sehingga surau-surau yang ada di Minangkabau ingin
bergabung atau bekerjasama dengan memberi nama yang sama Sumatra Tawalib
walaupun secara organisasi ada yang tidak menyatu dan melakukan aktivitas
secara masing-masing, tapi dalam visi, tujuan, ide dan sistem pendidikan sama.
Pada tanggal 22
Januari 1922 diadakan pertemuan wakil dari seluruh Sumatra Thawalib, memutuskan untuk membentuk satu Dewan Pusat
yang berkedudukan di Padang Panjang dan akan membuka cabang-cabang di berbagai
daerah. Dengan kehadiran organisasi ini tahun 1923 perubahan besar dalam sistem
pendidikannya yaitu selain merubah
sistem halaqah menjadi sistem sekolah, menetapkan masa belajar, membuat jadwal
mengajar, pemungutan uang sekolah, pengaturan honor guru dan petugas dan
pengadaan tenaga administrasi serta ada beberapa hal yang melampaui masanya,
yaitu : mengatur penyajian pelajaran sesuai dengan perkembangan berpikir anak
didik dan mengatur guru sesuai dengan keahliannya.
Tokoh lain yang
menggagas pembaharuan pendidikan Islam ialah Zainuddin Labai Al-Janusi. Masa
kecil dilalui Zainuddin dengan belajar sekolah gubernemen selama 2 tahun,
tetapi tidak sampai seleselai. Kemudian
ia belajar di surau ayahnya dan beberapa surau lainnya serta secara otodidak
khususnya mengenai bahasa Arab, Inggris dan Belanda.
Pada tahun 1915, Zainuddin
membuka Madrasah Diniyah dengan mempergunakan sistem kelas dengan kurikum lebih
teratur dan mencakup pengetahuan umum seperti bahasa, matematika, sejarah, ilmu
bumi disamping ilmu agama dan kegitan ekstra
berupa klub musik. Hamka sebagai salah seorang tokoh Islam Nasional
pernah mengenyam pendidikan disekolah ini.
Dalam
menyelenggarakan pendidikan Zainuddin banyak memakai metode Mesir. Untuk
pelajaran bahasa Arab dia memakai buku yang sederhana/tidak rumit dan untuk
fiqih dan sejarah Islam (selama ini tidak diperhatikan) dia menyusun sendiri
buku-buku materi. Untuk kelas rendah disusun dengan memakai Melayu dan kelas
lebih tinggi disusun dengan memakai bahasa Arab. Madrasah Diniyah ternyata
mendapat perhatian yang luar biasa dari masyarakat. Hal ini ditandai dengan
adanya 15 sekolah yang mengikuti sistem ini.
Masih banyak lagi
tokoh dan lembaga pendidikan Islam yang menyelenggarakan pendidikan Islam
modern. Pembaharuan yang mereka lakukan tidak hanya pada sistem pelaksanaan,
akan tetapi juga mata pelajaran dan pemikiran keagamaan. Kitab-kitab imam
Syafei’ tidak lagi menjadi pegangan mereka. Kelompok ini dikenal dengan Kaum
Mudo.
Perubahan sistem
pendidikan dari sistem surau ke madrasah tidak semua orang di Minangkabau
menyambutnya dengan baik. Ide-ide moderenisasi pendidikan yang dikembangkan
kaum intelektual muda sering mendapat
sandungan, baik dari pemerintahan Belanda maupun dari masyarakat sendiri
khususnya ulama-ulama tua (Kaum Tuo).
Sebagai pembanding
akan dikemukakan madrasah modern yang dikembangkan oleh Kaum Tuo, yaitu
Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung yang dirikan oleh Syekh Haji Soelaiman
ar-Rasuli pada tahun 1928 M di Candung Baso Bukit Tinggi.
Madrasah ini pada
mula menggunakan sistem surau, kemudian
atas usul teman-teman yang telah melihat kemajuan orang-orang beraliran modern
(Kaum Mudo), termasuk di bidang pendidikan Soelaiman bersedia mempergunakan
sistem klasikal walaupun awalnya dia menolak dengan syarat kitab-kitab yang
diajarkan disekolah itu tidak boleh keluar dari kitab mazhab Syafi’i. Madrasah
ini kemudian berkembang cukup pesat di berbagai daerah.
b. Muhammadiyah
Pada awal abad 20
dari Yogyakarta muncul K. H. Ahmad Dahlan sebagai pelopor pembaruan dalam Islam
termasuk juga dalam bidang pendidikan. Ahmad Dahlan ketika kecil bernama Muhammad
Darwis berasal dari keluarga keraton
Yogyakarta. Dia tidak pernah menjalani pendidikan formal pada sekolah tertentu,
tapi ia belajar kepada beberapa orang ulama termasuk ayahnya sendiri dan juga secara
otodidak dengan membaca buku atau kitab-kitab para ulama. Pada saat naik haji ke Mekah ia menuntut ilmu
selama satu tahun di sana dan satu gurunya adalah Syekh Ahmad Khatib
Minangkabawi asal Minang Sumatera Barat.
Bagi embentukan
kepribadian sebagai target utama dari tujuan pendidikan. Selain itu ia
berpandangan bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kemajuan materil.
Ahmad Dahlan bukan
seorang teoritikus dan ia lebih bersifat fragmatis dengan semboyan sedikit
bicara banyak kerja. Idenya dalam bidang pendidikan segera diwujudkan dengan
melakukan pendidikan anak-anak dirumahnya di Kauman. Antara tahun 1908-1909, Ahmad
Dahlan menyelenggarakan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah dengan
menggunakan sistem klasikal dan telah memakai kurikulum. Di sekolah ini
pendidikan agama diberikan oleh Ahmad Dahlan sendiri, sedangkan pelajaran umum
diajarkan oleh salah seorang anggota Budi Utomo yang juga menjadi guru
disekolah pemerintahan Belanda.
Pada 18 November 1912,
Ahmad Dahlan mendirikan persyarikatan Muhammadiyah bersama teman-temannya. Dalam
bidang pendidikan Muhammadiyah memadukan sistem madrasah dengan sistem sekolah gubernemen.
Pendirian persyarikatan dan cabang-cabangnya turut mempecepat pendirian
sekolah-sekolah baru dengan model baru. Secara berturut-turut Muhammadiyah
mendirikan sekolah berbagai tempat di Yogya;
Karangkajen (1913), Lempuyangan (1915) dan Pasar Gede (1916), sedangkan
Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah yang semula di Kauman dipindahkan ke
Suronatan karena gedung lama sudah tidak cukup lagi.
Melihat perkembangan yang
lamban dapat menjadi bukti bahwa Muhammadiayah dengan model pendidikannya yang
pada awal kurang diterima masyarakat secara bengansur tapi pasti mulai mendapat
tempat ditengah masyarakat Yogyakarta. Satu tahun menjelang wafatnya Ahmad
Dahlan, tepatnya pada tahun 1922
Muhammadiyah telah berhasil mendirikan 8/9 sekolah dengan 73 guru dan
1.019 siswa. Sekolah-sekolah tersebut tersebar di berbagai kota seperti
Magelang, Purworejo, Blitar, Bandung dan Surabaya. Untuk mengelola sekolah
tersebut dibentuk bagian pengajaran dan penilik serta pemeriksa agama.
c. Masyarakat Arab di Indonesia
Tahun 1905 Al Jamiat Khairiyyah sebuah organisasi yang
mayoritas beranggota orang-orang Arab berhasil mendirikan sekolah pertama untuk
masyarakat Arab di Jakarta. Sistem administrasi dan organisasinya sepenuhnya menggunakan
sistem Barat. Tantanan tersebut memenuhi persyaratan untuk diakui oleh
pemerintah Belanda secara resmi.
Sekolah ini bersifat
umum. Kurikulumnya mengandung mata pelajaran berhitung, sejarah, ilmu bumi dan
agama. Bahasa Inggris diwajibkan sebagai bahasa kedua. Bahasa pengantarnya
adalah bahasa Melayu dan Arab dan bahasa Belanda tidak diajarkan di sekolah ini.
Satu hal yang istimewa dengan organisasi ini yaitu menyediakan beasiswa bagi
siswa untuk sekolah keluar negeri melajutkan pelajaran.
Guru-gurunya juga
didatangkan dari luar daerah baik dalam dan luar negeri. Pada tahun 1907, Haji
Muhammad Mansur berasal dari Padang menjadi salah seorang pengajar di sekolah
ini, karena berepengetahuan agama luas dan mempunyai kemampuan dalam bahasa
Melayu. Al Hasyimi dari Tunis (1911), selain mengajar dia juga mengenalkan
kepanduan di Indonesia. Pada tahun itu
juga datang tiga orang guru dari luar negeri yaitu Syekh Ahmad Surkatti dari
Sudan, Syekh Muhammad Taib dari Maroko dan Syekh Muhammad Abdul Hamid dari
Makkah. Di antara ke tiga orang tersebut yang paling menonjol Ahmad Surkatti
melalui penyebaran pemikiran-pemikiran dalam masyarakat Indonesia. Tahun 1913
datang lagi 4 orang guru dari luar negeri. Mereka merupakan sahabat Surkatti.
Mereka membawa
pemikiran Muhammad Abduh dalam pendidikan, yaitu menekankan penting pelajaran
bahasa Arab sebagai alat untuk menggali sumber-sumber Islam, mengembangkan daya
kritis anak didik dan pemakaian buku-buku bergambar dalam pelajaran.
Sesudah tahun 1910
timbul perselisihan berkenaan dengan hak istimewa yang dituntut oleh keturunan
Nabi saw., yang sebenar lebih dalam dari itu yaitu kelompok yang ingin
mempertahan keistimewaan tersebut adalah orang-orang yang masih menganut faham
taqlid, sedangkan lawannya adalah orang-orang yang berfaham baru.
Pada tahun 1914
Jamiat pecah sehingga terbentuk organisasi baru bernama Al Irsad. Anggota Ar
Irsad adalah golongan yang tidak terikat dengan hak istimewa gelar sayyed.
Surkati kemudian bergabung dengan Al Irsyad. Pada tahun selanjut organisasi ini
berkembang dengan baik sejalan dengan pendidikan yang dideselenggarakannya.
d. Nahdatu Ulama
Nahdatul
Ulama didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 oleh Abdul Wahab Hasbullah sebagai
motor pendirinya dan K. H. Hasyim Asy’ari orang mempopulerkannya. Organisasi
ini bertujuan memperkuatan ikatan antar ulama Indonesia khusus Jawa yang
menganut mazhab tertentu.
Tokoh
pembaharu pendidikan di NU adalah K. H. Muhammad Ilyas. Dia memperoleh
pendidikan pengetahuan umum di sekolah Belanda
(HIS) dan pengetahuan agama dari ayahnya dan pesantren Tebu Ireng. Pada
tahun 1925 Moh. Ilyas tamat dari HIS dan bertugas di pesantren Tebu Ireng. Atas
izin K. H. Hasyim Asy’ari, Moh. Ilyas memasukan mata pelajaran umum seperti
membaca dan menulis huruf latin, ilmu bumi, dan bahasa Melayu ke dalam
kurikulum pesantren. Pembaharuan itu sempat menimbulkan reaksi, sehingga
sejumlah orang tua memindahkan anaknya ke pesantren lain.
Tidak
cukup banyak catatan yang memperlihatkan perkembangan awal pembaharuan
pendidikan di tubuh NU. Baru pada akhir tahun 1938 komisi perguruan NU
mengeluarkan aturan tentang susunan madrasah yang harus dijalan mulai tahun 1939.
Susunan madrasah NU adalah sbb:
1)
Madrasah awaliyah, lama
belajar 2 tahun
2)
Madrasah ibtidaiyah, lama belajar 3 tahun
3)
Madrasah Tsanawiyah, lama
belajar 3 tahun
4)
Madrasah Mu’allimin Wusta,
lama belajar 2 tahun
5)
Madrasah Mu’allimin ’Ulya,
lama belajar 3 tahun.
Selain
perkembangan madrasah yang telah dikemukan di atas masih banyak madrasah yang
tumbuh dan berkembang di awal abad 20 seperti yang dilakukan Persis dan
Perstuan Ulama.
D. PENUTUP
Pendidikan dalam Islam
bukan hanya kewajiban, tapi ia merupakan kebutuhan, sehingga semenjak Islam ada
pendidikan Islam turut hadir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat disuatu daerah, tempat atau negara.
Keberadaannya sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial politik
masyarakat. Madrasah Indonesia yang hadir abad 20 dalam masa penjajahan
kolonial Belanda juga diwarnai oleh berbagai hal tersebut.
Dari tulisan dapat
ditarik beberapa kesimpulan sbb:
1.
Madrasah merupakan salah satu
lembaga pendidikan yang khas dan berbasis pada ajaran-ajaran dasar
Islam.
2.
Sistem madrasah adalah
perpaduan sistem pendidikan sekolah dengan sistem pendidikan Pesantren.
3.
Madrasah di Indonesia hadir
sebagai jawaban tantangan dari zaman dan sebagai sikap perlawan terhadap
Belanda.
4.
Madrasah timbul dari gagasan
perorangan dan/atau organisasi.
5.
Pembaharu pendidikan Islam
Indosia secara umum adalah orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan Barat
dan bersentuhan dengan perkembangan pemikiran Timur Tengah.
6.
Madrasah awal abad 20 telah
melahirkan tokoh-tokoh nasional Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Asrohah, Hanum, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta : Logos, 1999.
Daulay, Haidar Putra, Historis
dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta : Tiara Kencana,
2001.
Departemen Agama, Al Quran dan Terjemahan
Fadjar, A. Malik, Visi Pembaruan
Pendidikan Islam, Jakarta: LP3NI, 1998.
Gibb, HAR and H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam,
Leiden : E.J. Brill, 1981.
Hamka, Ayahku : riwayat hidup Dr. H. Abdul Karim
Amrullah dan perjuangan kaum agama di Sumatra, Umminda
Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : lintasan sejarah pertumbuhan dan
perkembangan, Jakarta : RajaGrafindo
Persada, 2001.
Ilyas, Yunahar, Tafsir
Tematis Cakrawala Al-Quran, Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2003
Keputusan Bersama Tiga Menteri
Tahun 1975, pasal 1
Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia :
rekonstruksi sejarah untuk aksi, Malang : UMJ Press, 2006.
Maksum, Madrasah : sejarah dan perkembangannya :
Jakarta, Logos Wacana Ilmu 1999.
Mulkan, Munir, Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan Dalam
Hikmah Mmuhammadiyah, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2007.
Mursyid, Ali, kangalimursyid.blogspot.com/2007/05/urgensi-penguatan-civic-educati
Nakosteen,
Mehdi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis
Abad Keemasan Islam, Edisi Indonesia, Surabaya: Risalah Gusti: 1996.
Nata,
Abuddin, Tokoh- Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta
: RajaGrafindo Persada, 2005.
Nizar, Samsul, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran
Pendidikan Islam : potret Timur Tengah era awal dan Indonesia, Ciputat :
Quantum Teaching, 2005.
Presiden, UU No.20/2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional
Salyalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam,
terjemahan : Muchtar Jahya dan Sanusi Latief, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Sejarah Pendidikan
Sumatra Barat : pendidikan abad ke 20, pakguru online.net,
Steenbrink, Karel A, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta :
LP3ES.
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran
Pendidikan Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia, Jakarta : Mutiara, 1979.
Zuhairini, dkk, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara,
2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar