Selasa, 02 September 2014

PEMBERLAKUAN PERATURAN DAERAH BERNUANSA SYARIAT ISLAM DI INDONESIA




PERATURAN  DAERAH
BERNUANSA SYARIAT ISLAM DI INDONESIA

A.  PENDAHULUAN
Masyarakat muslim percaya, bahwa kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. adalah pedoman dan pandangan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka percaya apabila melaksanakan semua perintah oleh Allah SWT dan meninggalkan yang dilarang-Nya baik yang melalui kitab suci Al-Qur’an maupun hadist Nabi Muhammad saw. akan memperoleh kehidupan yang sejahtera dan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.
Berdasarkan hal tersebut, maka semenjak keberadaan Islam di Indonesia syariat Islam turut hadir menyertai kehidupan masyarakat muslim dimana mereka berada. Hanya saja dalam skala yang lebih luas kekuasaan secara politis sangat mempengaruhi diberlakukan atau tidaknya syariat tersebut. Semenjak reformasi digulirkan, kemudian diikuti oleh otonomi daerah menyebabkan terbukanya peluang bagi syariat Islam untuk eksis dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Perda-perda bernuansa syariat Islam telah hadir di beberapa daerah dalam wilayah negara Republik Indonesia. Kemunculan pertama dimulai dari Nanggroe Aceh Darussalam dan kemudian diikuti oleh daerah-daerah lain.
Perda dibuat dengan maksud menertibkan masyarakat guna terwujudnya suasana yang kondusif menuju tercapainya kesejahteraan dan ketentraman hidup masyarakat di daerahnya. Bagi masyarakat dan Pemerintahan Daerah tertentu, Perda Bernuansa Syariat Islam dianggap mampu mengembalikan ketertiban dan moral masyarakat telah jauh merosot. Perda atau peraturan yang telah berjalan selama ini ternyata tidak mampu memberikan sosuli terhadap persoalan-persoalan yang ada masyarakat. Peraturan tersebut juga tidak mampu membawa perubahan kearah yang lebih baik.  Kedatangan arus globalisasi makin membuatnya tak berdaya, sehingga akhlak dan budaya bangsa kabur dan luntur.
Kehadiran Perda Bernuansa Syariat Islam memang memunculkan perbedaan pendapat. Pro-kontra terhadap Perda yang dinilai bernuansa Islami atau Perda Bernuansa Syariat Islam yang diberlakukan di beberapa daerah Indonesia belakangan ini terasa semakin menguat. Baik kalangan yang menentang maupun mendukung sama-sama memiliki argumentasinya sendiri. Perda tentang anti-pelacuran, anti-perjudian, dan anti-miras seperti di Tangerang (Banten), Bulukumba (Sulsel), Gorontalo, Cianjur (Jabar), Padang (Sumbar) dan tempat lain telah menyedot perhatian baik di pusat maupun di daerah.
Sebenarnya, perdebatan mengenai kebijakan publik berupa hukum-hukum bernuansa agama (Islam) telah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia.  Bahkan jauh kebelakang, perdebatan/pertentangan telah muncul pada masa penjajahan baik antara pribumi (Islam) dengan Belanda (non Islam) maupun di kalangan pemerintahan kolonial Belanda sendiri. Walaupun dipertentangkan, tetapi sejumlah peraturan/hukum Islam yang keberadaannya sudah lama dan dipratikkan dalam negeri ini tetap dipertahankan seperti hukum waris, perkawinan dan waris. Lebih dari itu kebijakan politik juga melegalkan peradilan Agama sebagai salah satu sistem peradilan yang berlaku di Indonesia.
Tulisan ini ingin melihat “Pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) Bernuansa Syariat Islam di Indonesia” ditinjau dari segi politik Islam. Dari latar belakang di atas maka pembicaraan  akan berkisar pada:
1.   Jejak Peraturan Syariat Islam dalam Negara
2.   Bagaimana keberadaan Perda Bernuansa Syariat Islam di Indonesia?
3.   Daerah-daerah yang telah menjalankan Perda Bernuansa Syariat Islam.
4.   Pro dan Kontra Keberadaan Perda Bernuansa Syariat Islam di Indonesia.

B.  JEJAK PERATURAN/HUKUM DAN PERDA BERNUANSA SYARIAT ISLAM DALAM NEGARA
Kedatangan Islam yang dibawa Nabi saw. telah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang mendasar dan komprehensif pada penganutnya. Dalam aqidah ia mempresentasikan suatu lompatan dari penghambaan kepada sesuatu yang nyata; dapat dilihat dan diraba menuju penghambaan kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan, Zat yang tidak dapat digambarkan atau dipadankan dengan sesuatu, bahkan untuk dibayangkan. Pemeluk Islam di zaman Nabi saw. mampu menyingkir kebiasaan-kebiasaan lama dalam seluruh aspek kehidupan yang tidak sejalan dengan Islam kemudian meraih kepribadian Islam dengan segala nilainya.
Melihat perkembangan Islam yang stagnasi di Mekah, Nabi saw. dan para sahabat hijrah ke Yasrib. Nabi saw. kemudian mengganti nama Yasrib menjadi  Madinah. Madinah mengandung dua pengertian.  Pertama, "Masyarakat kota, karena Madani adalah derivat dari kata bahasa Arab, Madinah yang berarti kota. Kedua, masyarakat yang berperadaban, karena madani adalah juga merupakan derivat dari kata Arab tamaddun atau madaniah yang berarti peradaban. Nama Yastrib yang diganti dengan Madinah merupakan langkah Rasulullah untuk menunjukkan kepada umat manusia bahwa beliau membangun kota yang masyarakatnya penuh peradaban dan tunduk pada aturan hukum (agama).
Kemudian Nabi Muhammad mengatur hubungan dengan pelbagai lapisan masyarakat Madinah dan merekamnya dalam suatu dokumen yang dikenal dengan Piagam Madinah. Dokumen tersebut terdiri 47 butir bertujuan untuk mengatur hubungan antar masyarakat yang terdiri dari golongan Muhajirin, Ansor dan Yahudi. Dengan mencermati isi dari Piagam Madinah jelas bahwa piagam tersebut berisi rumusan yang jelas tentang hak-hak dan kewajiban orang Islam di antara sesama mereka, serta hak-hak dan kewajiban di antara orang Islam dan Yahudi (yang bukan Islam).
Di antara aturannya, apabila terjadi perselisihan di antara mereka maka semuanya dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya sebagai mana termaktub di dalam piagam tersebut. Selain itu juga tertulis "bahwa melindungi orang-orang Quraisy (yang menjadi musuh umat Islam) atau menolong mereka tidak dibenarkan.", "Bahwa di antara mereka harus saling membantu melawan orang yang mau menyerang Madinah ini. "Bahwa apabila mereka diajak berdamai, maka orang-orang yang beriman wajib menyambutnya, kecuali kepada orang yang memerangi agama, bagi setiap orang, dari pihaknya sendiri mempunyai bagiannya masing-masing.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa posisi Piagam Madinah adalah sebagai kontrak politik pertama secara tertulis yang dilakukan Rasul atas nama Islam. Posisi Rasul di sini adalah sebagai pimpinan dan Islam sebagai landasan bermasyarakat dan bernegara, sehingga kalau dicari nilai-nilai yang tercermin dalam masyarakat Madinah saat itu dapat diyakini pastilah nilai-nilai Islam.
Masa Madinah Rasul adalah sebagai awal dari berlakunya syariat/hukum-hukum Islam dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Apa yang telah dimulai Rasul tersebut berlanjut di masa penerusnya dan sampai sekarang. Keberadaan aturan  didukung oleh kekuatan politik.

Islam masuk pertama kali ke Indonesia pada abad 7 M/1 H dibawa oleh pedagang dan mubalig Arab. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Kepulauan Nusantara pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara. Dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai, umat Islam mulai memainkan peranannya secara politis dan hukum di bumi Nusantara ini.
Pengaruh dakwah Islam cepat menyebar ke berbagai wilayah Nusantara kemudian disusul dengan berdiri beberapa kerajaan Islam. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Sementara itu di Kalimantan berdiri Kerajaan Banjar. Di kerajaan Banjar, qadli tidak hanya menangani persoalan hukum perkawinan, perceraian, dan  kewarisan, tetapi juga menangani perkara pidana. Tercatat dalam sejarah Banjar, bahwa hukum bunuh bagi orang yang murtad, hukum potong tangan bagi pencuri, dan hukum dera bagi pezina sudah diberlakukan. Di lingkungan kerajaan Banjar juga terdapat kitab hukum yang merupakan kodifikasi sederhana. Kitab hukum (Islam) itu kemudian dikenal dengan Undang-undang Sultan Adam. Begitu pula di Banten, sebagaimana dicatat oleh Anthony Reid (1988) bahwa pada awal abad ke-17, pencuri di Banten dan Aceh dihukum dengan potong tangan. Hukuman semacam ini dijalankan melalui pemotongan tangan sebelah kanan. Jika perbuatan itu dilakukan berulang-ulang, konsekuensi hukumannya adalah dengan memotong kaki kiri, lalu tangan kiri, dan kemudian kaki kanan. Hingga akhirnya pencuri tersebut di asingkan ke pulau Sabang, di ujung barat pantai Aceh.
Kerajaan-kerajaan tersebut -sebagaimana tercatat dalam sejarah- menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap Kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama Nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.  
Syariat Islam telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dengan beberapa ciri: (1) syariat Islam telah hidup berdampingan dengan tradisi lokal, (2) syariat Islam yang berkembang bukan hukum yang murni, melainkan dipengaruhi oleh tradisi lokal, (3) syariat Islam yang berlaku adalah hukum privat/keluarga, (4) faktor ekonomi dan politik menentukan perkembangan berlakunya syariat  Islam, dan (5) perkembangan syariat Islam belum ditopang oleh institusi formal kerajaan. Hal ini mencerminkan bahwa syariat Islam telah diberlakukan masyarakat dalam skalanya yang terbatas dan terpengaruh dengan tradisi masyarakat setempat.
Di masa penjajahan dengan berjatuhan kerajaan Islam di Nusantara, maka kekuasaan umat Islam serara politis juga ikut hilang. Belanda memang berusaha secara sistematis untuk mengurangi kalaupun tidak akan menghapus peranan Islam dan masyarakatnya baik secara politik maupun secara hukum. Namun demikian beberapa hukum Islam tetap diakui pemerintahan Belanda. Langkah ini diambil sebagai upaya menghindari perlawanan dari masyarakat.
Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun(1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.
Pada tahun 1642 terbentuklah Statuta Batavia yang berlaku untuk masyarakat Batavia (sekarang Jakarta) dan sekitarnya. Dalam Statuta Batavia disebutkan bahwa mengenai kewarisan orang-orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam, yaitu hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari. Pada tahun 1760 terbentuk kitab hukum Compendium Freijer (hasil karya D.W. Freijer) yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Kitab hukum ini diterapkan pada peradilan-peradilan yang ada di daerah kekuasaan VOC. Selain itu, juga terdapat kitab hukum Mugharaer yang berlaku untuk Pengadilan Negeri Semarang. Kitab hukum ini berisi perkara-perkara perdata dan perkara-perkara pidana yang sebagian besar bermuatan hukum pidana Islam.
Memasuki era kemerdekaan, masyarakat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia tidak berhenti memainkan perannya dalam proses sosial politik, besar atau kecil. Dalam dinamika sosial politik, meskipun mayoritas ternyata tidak serta merta membuat politik Islam memenangkan pergulatan dalam mengisi ruang dan dimensi hukum di Republik ini. Bahkan sebaliknya sering kalah dan terpinggirkan atau setidak-tidaknya berada dalam tekanan minoritas.
Konflik Islam dan politik (agama dan negara) baik dalam tataran politik maupun implementasi nilai-nilai keislaman dalam negara yang telah terjadi sejak masa penjajahan Belanda terus berlangsung hingga kini. Aspirasi rakyat (muslim) menghendaki menerapan syariat Islam, sedangkan pemerintah (penguasa) cenderung menjalankan politik sekuler yang mendapat dukungan sebagain kecil masyarakat, tetapi secara politik kuat. Kondisi ini menurut Cedrroth sebagai mana yang dikutip Rusli Karim, membuat Islam di Indonesia nyaris sebagai ”penggembira politik”.
Para ahli bersepakat bahwa, di Indonesia hubungan politik antara Islam dan negara selama beberapa dekade-khususnya ketika Soekarno dan Soeharto berkuasa - mengalami jalan buntu. Kedua rezim tersebut memandang Islam politik maupun partai-partai politik yang berlandaskan Islam dianggap sebagai pesaing potensial kekuasaan yang dapat merobohkan landasan negara, Pancasila.
Soekarno dengan sistem demokrasi terpimpinnya berulangkali ’menjinakkan’ dan mematahkan perjuangan politik Islam. Penjinakan terhadap perjuangan politik Islam itu berupa marjinalisasi partai politik Islam maupun penolakan terhadap semua aspirasi kelompok Islam di Parlemen. Alasan penjinakan tersebut didasarkan pada ketakutan jika kelompok politik Islam berkuasa maka, Indonesia yang plural dasar hukum normatifnya adalah ’Syariat Islam’. Salah satu bukti kongkret penjinakan tersebut adalah kekalahan politik Islam dalam memperjuangkan kembali dimasukkannya tujuh kata Piagam Jakarta dalam UUD 45 di Majelis Konstituante dan pembubaran sebagian partai Islam di penghujung pemerintahan Soekarno.
Sementara ketika Soeharto berkuasa, politik Islam tetap saja dianggap sebagai kekuatan yang dapat meruntuhkan kekuasaan Negara. Maka tak heran jika banyak kebijakan penguasa Orde Baru ini sangat merugikan kelompok Islam. Di mata Soeharto, politik Islam tak ubahnya monster menakutkan yang membawa sejuta ideologi yang berlawanan dengan dasar Negara, Pancasila. Dalam dua kasus Presiden inilah, banyak pengamat berkesimpulan bahwa hubungan Islam dan Negara di Indonesia mengalami jalanan buntu bahkan ketegangan.
Walaupun begitu, Suharto pernah menerbitkan PP No. 28 tahun 1977 yang meneguhkan kedudukan ajaran (hukum) Islam tentang tanah wakaf dalam sistem hukum Nasional. Lama setelah itu, kembali lahir UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Banyak kalangan melihat lahirnya UU ini saat pamor Suharto sudah mulai memudar dan kesepian dalam singasana kekuasaannya, kemudian dia melihat Islam sebagai hal yang menjanjikan untuk memberi dukungan kepada rezimnya.
Penguatan hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional kembali terjadi saat dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang penetapan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Hal ini pada dasarnya merupakan rujukan materi hukum keluarga Islam para hakim agama di Pengadilan Agama untuk memutuskan perkara-perkara yang menjadi yurisdiksi pengadilan ini. Dengan demikian lengkap sudah kekuatan pengadilan ini.
Pasca runtuhnya Soeharto pada 1998, reformasi membawa angin segar bagi seluruh rakyat Indonesia tak terkecuali bagi kekuatan politik Islam. Puluhan partai politik Islam mulai bermunculan dengan berbagai platform Islam. Ada yang mengusung Islam sebagai dasar negara dan banyak juga yang menolak Islam sebagai dasar Negara, tapi tetap menjadikan Islam sebagai basis solidaritasnya. Pada titik klimaksnya, partai-partai Islam ini - baik yang berplatform Islam mapun mayoritas pemilihnya Islam – pada pemilu 1999 dan 2004 tidak mendapatkan suara mayoritas. Justru partai-partai yang tidak berplatform Islam yang memenangkan pertarungan dalam dua kali pemilu tersebut.
Tidak berhasilnya kekuatan politik Islam dipentas nasional tidak menyurutkan semangat pengusungnya. Dengan diberlakukan otonomi daerah memberi angin segar dan harapan bagi bagi daerah yang mayoritas masyarakat beragama Islam dan memiliki tradisi keislaman kuat untuk tampil kepermukaan. Aspirasi masyarakat yang selama ini terhalang oleh berbagai aturan negara, maka dengan adanya kebebasan mengatur diri sendiri keinginan tersebut mereka munculkan melalui Perda.
Perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Melalui amandemen UUD 1945 yang kedua, Perda mendapatkan landasan konstitusionalnya di dalam konstitusi yang keberadaannya digunakan untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Selanjutnya Pasal 12 UU No. 10/2004 menggariskan materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka:
1.      penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan;
2.      menampung kondisi khusus daerah; serta
3.      penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Otonomi daerah membuka ruang bagi lahirnya Kepala Pemerintahan Daerah yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat sendiri, sebaliknya memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif dan akomodatif terhadap kepentingan masyarakat luas, sehingga dalam mengambil keputusan/membuat aturan benar-benar merupakan hasil kesepakatan bersama antara pemerintah dan rakyat.  
C.  KEDUDUKAN PERDA BERNUANSA SYARIAT ISLAM DALAM POLITIK HUKUM DI  INDONESIA
Ajaran Islam mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan al-Hadis. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan jalankan.
Hal tersebut di atas yang dikenal dengan syariat. Kata syariat memang tidak banyak disebutkan di dalam Al Quran. Salah satunya yang terkait dengan pembicaraan makalah ini adalah :
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ.
Artinya :
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Al Jaatsiyah(45):18)
 Kata syariat secara bahasa berarti jalan menuju sumber air yang tidak pernah kering atau jalan yang terbentang lurus. Sedangkan menurut istilah syariat berarti seperangkat peraturan Allah yang wajib dilaksanakan oleh setiap umat Islam. Ia bertujuan untuk menjalin hubungan antara manusia dengan Allah dan antara manusia dengan manusia secara reguler, dan ketentuan ini pula yang menyebabkan syariat tidak bisa dipisahkan dari etika atau akhlak. Sementara hukum mempunyai pengertian semua aturan (norma) yang mengatur perihal kehidupan manusia bersama dalam masyarakat dengan ancaman harus menganti kerugian atau mendapat hukuman, jika melanggar atau mengabaikan aturan-aturan itu. Dari pengertian tersebut kata syariat mengandung makna lebih luas cakupannya dari pengertian hukum, walaupun kemudian pengertian syariat sendiri mengalami perkembangan atau penyempitan pengertian.
Menurut Hasan Al Bana seperti dikutib oleh Mitchell, hukum dan ajaran Islam itu utuh dan menyeluruh, mengatur seluruh urusan manusia di dunia dan akhirat. Orang-orang yang beranggapan bahwa ajaran Islam hanya menyangkut aspek tertentu  (ibadah ritual) adalah salah. Islam adalah ideologi dan ibadah ritual, pemerintahan dan umat, agama dan negara.
Syariat menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, sehingga pelaksanaan dan penerapannya tetap dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pengabdian kepada Allah. Jadi tidaklah mengherankan jika masyarakat muslim menginginkan diberlakukan syariat yang mengatur hidupnya. Sayangnya sebagian umat Islam atau non muslim beranggapan bahwa pengertian syariat tidaklah seperti dalam pengertian asalnya, yakni jalan menuju Allah, akan tetapi pengertiannya dipersempit menjadi sebuah aturan perundang-undangan yang mengatur setiap kondisi kehidupan.
Di Indonesia, memang tidak terdapat ungkapan pemberlakuan syariat Islam dalam konstitusinya, tetapi ada jaminan kebebasan beragama di Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 E ayat 1 dan 2 disebutkan : 1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan menginggalkannya serta berhak kembali. 2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Hal ini kembali ditegaskan dalam pasal 29 : 1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan itu.
Pasal-pasal yang disebutkan di atas merupakan jaminan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia terhadap kebebasan beragama dan beribadat. Karena itu, segala bentuk aturan yang berada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan tersebut. Kata bebas memeluk agama tersebut (ayat 1) dan berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan (ayat 2) secara eksplisit merupakan jaminan kepada setiap warga negara mempunyai otonomi untuk memeluk agama dan keyakinan, serta menjalankannya.
Pasal 29 (1) sebenar lebih memberi tekanan pada negara, bukan warga negara. Kata negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukan bahwa negara ini di dalamnya mempunyai spirit keagamaan. Hal ini mungkin bagi sebagian kalangan dianggap aneh : Indonesia bukan negara sekuler dan pula negara agama, terutama orang tidak memahami Indonesia.
Indonesia selama ini menganut sistem hukum kontinental, sehingga kreasi dan penciptaan hukum lebih difahami sebagai suatu proses yang bisa  terjadi dalam ruang legilasi negara saja. Jadi tidak mengherankan bila pada masa pemerintahan Orde Baru peran lembaga eksekutif sangat kuat dalam proses kreasi hukum. Bahkan banyak kalangan menilai bahwa peran lembaga legislatif hanya sekedar cap stempel dari eksekutif. Keadaan ini mulai berubah setelah rezim orde baru jatuh karena reformasi.
Mengiringi tuntutan reformasi, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV Tahun 1998 menetapkan penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proposional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keberagaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya ditetapkan Undang-Undang No. 22 dan 25 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 25 dan 84 Tahun 1999 sebagai pemberdayaan daerah dan masyarakat melalui otonomi daerah.
Gagasan otononomi daerah adalah membangun demokrasi dengan ciri utama partisipasi seluruh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat yang selama ini terabaikan. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk kebijakan yang memberikan kewenangan kepada daerah dalam batas-batas tertentu agar leluasa mengatur wilayahnya menjadi lebih mandiri dan lebih berkembang sehingga masyarakatnya menjadi lebih sejahtera.
Pemberian kewenangan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) karena Pemda dianggap mengetahui lebih banyak permasalahan yang dihadapi komunitasnya, sehingga dengan demikian diharapkan kepekaan Pemda semakin meningkat terhadap tuntutan-tuntutan dari masyarakat. Hal ini akan memperpendek jalan dalam mengatasinya dan sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi di daerah.
Kewenangan bagi daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat melalui prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, pemerintah daerah dalam bidang politik dalam negeri dan administrasi publik memiliki kewajiban untuk memelihara ketentram dan ketertiban umum. Untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban umum, Pemerintah Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengeluarkan Perda.  
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pasal 7 ayat (1), menegaskan bahwa Perda masuk dalam salah satu jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan pada bagian kelima dan menurut Pasal 136 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan ”Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah”. Menurut Pasal 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, menyebutkan “materi muatan perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta menampung kondisi khusus daerah. Menilik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 25, menyebutkan bahwa salah satu tugas dan wewenang kepala daerah adalah menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.
Sejak otonomi daerah digulirkan sampai akhir Juli 2006 tercatat 56 produk kebijakan Perda dalam berbagai bentuk: peraturan daerah, qanun, surat edaran, dan keputusan kepala daerah. Produk kebijakan daerah tersebut secara tegas berorientasi pada ajaran moral Islam sehingga pantas dinamakan Perda Syariat Islam. Dari konteks ini ada beberapa poin yang harus diperhatikan. Pertama, Perda Bernuansa Syari’at Islam adalah sebuah Peraturan Daerah. Maksudnya disini adalah Peraturan yang berasal, digodok, disetujui dan disahkan oleh Daerah tersebut. Jadi, peraturan ini digagas, disetujui dan disahkan oleh lembaga legislatif dan eksekutif daerah yang bersangkutan dan telah memenuhi unsur demokratis. Kedua, Perda tidak cacat hukum. Hal ini karena menurut UU otonomi daerah,  setiap daerah bisa menentukan peraturan yang akan diberlakukan di daerahnya. Dan ini berlaku universal di daerah tersebut dengan tetap memperhatikan keberagaman.  Dan biasanya, suatu Perda Bernuansa Syari’at Islam hanya akan muncul pada daerah yang relatif berlatar belakang agama Islam homogen dan mayoritas. Tidak akan mungkin Perda Bernuansa Syari’at Islam akan muncul di kota Jakarta.
D.  DAERAH–DAERAH YANG TELAH MENJALANKAN PERDA BERNUANSA SYARIAT ISLAM
Semenjak diberikan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah melalui Undang-Undang RI  Nomor 22 Tahun 1999, maka keinginan Pemerintah Daerah untuk mengatur daerahnya sesuai dengan aspirasi mayoritas masyarakatnya yang selama ini mengalami hambatan, kini menjadi kenyataan. Aceh dengan keistimewaan dan kekhususannya memulai berlakunya syariat Islam, kemudian  disusul oleh daerah-daerah lain mengeluarkan perda yang dinilai berbau syariat Islam.
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam rangka merebut kembali kepecayaan rakyat guna penyelesaiaan konflik Aceh secara mendasar dan menyeluruh, Pemerintah Indonesia telah menetapkan dua undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus NAD. Berdasarkan undang-undang tersebut penerapan syariat Islam secara kenegaraan telah dimulai di Aceh.
Paling tidak ada empat alasan kenapa masyarakat Aceh menuntut pelaksanaan syariat Islam secara menyeluruh di NAD. Pertama, alasan teologis, syariat Islam adalah perintah Allah, maka wajib untuk dilaksanakan dalam setiap aspek kehidupan baik pribadi maupun masyarakat. Kedua alasan psikologis, masyarakat merasa nyaman dan tentram dengan agama (syariat Islam) yang telah menjadi pakaian bagi mereka. Ketiga alasan hukum, masyarakat merasa aman dengan syariat Islam yang sesuai dengan kesadaran mereka. Keempat, alasan ekonomi dan kesejahteraan sosial, syariat akan memudahkan terbentuknya kesetiakawanan sosial dan etos kerja islami serta hemat.
Setelah dua tahun, baru hanya melahirkan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 tahun 2000  tentang Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja Majelis Permusyawatan Ulama (MPU) Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan  sampai tahun 2002 baru terbentuk Dinas dan Sub Dinas Syariat Islam.
Kemudian secara berangsur-angsur lahir Qanun Propinsi NAD No. 13/2003 tentang Maisir (Perjudian), Qanun Propinsi NAD No. 14/2003 tentang Khalwat (Mesum), Qanun Propinsi NAD No. 7/2004 tentang Zakat dan pada tahun 2006 Pemerintah Pusat menetapkan Undang-Undang Nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh untuk menguatkan apa yang telah dicapai oleh Pemerintahan Daerah Aceh.
Dalam Undang-Undang Nomor 11  tahun 2006 tentang pemberlakuan Syariat Islam. Pada bab XVII Syariat Islam dan Pelaksanaannya, pasal 125 ayat (1) Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syariat dan akhlak. Pasal 126 ayat (1) menyatakan bahwa setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib  mentaati dan menjalankan syariat Islam dan ayat (2) berbunyi “Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam.
Pada bab XVIII undang-undang tersebut tentang Mahkamah Sayariah, dalam pasal 128 membicarakan tentang Pengadilan Syariat Islam di Aceh adalah bagian dari sistem dari Peradilan Nasional dan bab XIX membicarakan kedudukan Majelis Pemusyawaratan Ulama yang bertugas memberi fatwa terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan, pembianaan masyarakat dan ekonomi serta memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan.
Selama pelaksanaan syariat Islam di NAD disamping melahirkan beberapa dampak positif, namun bukan tanpa ekses dan kekerasan. Pelaksanaan yang melahirkan ekses kekerasan merupakan hal yang wajar dalam setiap pelaksanaan aturan yang baru. Jangankan Perda yang baru berumur setahun jagung, hukum-hukum yang ada di Indonesia saja sering kali dalam pelaksanaan mengalami bias.
Sumatra Barat. Sebelum DPRD Provinsi Sumatra Barat mengesahkan Perda No. 7/2007 tentang Pendidikan Al-Quran yang mewajibkan siswa sekolah dasar dan menengah serta calon pengantin beragama Islam pandai membaca Al-Quran, tujuh kabupaten dan kota di provinsi itu juga sudah memiliki perda yang sama.
Perda seperti ini pertama kali diberlakukan di Kabupaten Solok. Perda ini ditetapkan oleh Bupati Gamawan Fauzi (sekarang Gubernur Sumatra Barat) pada 27 September 2001 dengan nama “Peraturan Daerah tentang Pandai Baca Al-Quran bagi Murid SD, Siswa SLTP dan SLTA, serta Calon Pengantin”. Bagi siswa yang tak mampu atau tidak memiliki sertifikat diberi sanksi tidak bisa diterima di jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kecuali bersama orang tua berjanji mengikuti program khusus belajar membaca Al-Quran yang diadakan di sekolah atau lembaga pendidikan Al-Quran di luar sekolah. Sedangkan pasangan menikah bila tidak mampu ditangguhkan nikahnya sampai keduanya pandai membaca Al-Quran.
Perda seperti ini kemudian juga disahkan pada 2003 di Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung, Kabupaten Pasaman, Kota Padang (khusus untuk siswa SD-sederajat), dan Kabupaten Limapuluh Kota. Kemudian di Kabupaten Pesisir Selatan pada 2004, di Kabupaten Agam pada 2005.
Menurut Gumawan Fauzi (Gubernur Sumatra Barat), Perda-Perda berbasis syariat tersebut adalah sesuatu yang lumrah, apabila daerah yang bersangkutan menilai keberadaannya sebagai suatu kebutuhan. semestinya disambut positif saja. Sebab, kata Gamawan, aturan tersebut telah dibuat didasarkan pada kebiasaan masyarakat dengan melihat fenomena kehidupan sosial yang terjadi di masyarakat. “Seperti Perda Baca Tulis Al-quran. Hal ini memang telah menjadi kebutuhan karena memang orang Islam di Minang wajib pandai baca tulis Al-quran”. Bagi Sumbar, kultur masyarakatnya jelas  mengacu pada Islam sebagaimana tertuang dalam filosofis Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah (ABS SBK).
Kota Tangerang. Perda Bernuansa Syariat Islam adalah Perda nomor 8 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Penetapan Perda ini dilatar belakangi keprihatinan masyarakat terhadap makin maraknya pelacuran di berbagai sudut kota Tangerang yang mengganggu ketertiban umum yang seharusnya dijaga sebagaimana terdapat dalam Perda Tangerang nomor 18 tahun 2000.
Kehadiran Perda ini juga atas pertimbangan bahwa pelacuran merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan yang berdampak negatif terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat serta dalam upaya melestarikan nilai-nilai luhur budaya masyarakat yang tertib dan dinamis.
Melihat Perda ini tidak satupun kata Islam yang muncul di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa Perda tentang Pelarang Pelacuran bukan perda ajaran Islam, tapi perda semua agama karena semua agama melarang adanya praktek pelacuran, walaupun dalam penyampaian pandangan fraksi di DPRD ada fraksi yang menggunakan ayat-ayat Al Quran sebagai dasar atau dalil argumennya.
Kemudian para pengkritik ataupun penentang Perda tersebut mempergunakan momen-momen kesalahan pelaksanaannya dan menimpakannya kepada syariat Islam. Kemudian peristiwa-peristiwa dibesarkan-besarkan di media, seolah-olah itu adalah kesalahan syariat Islam.
Bulukumba. Perda Bernuansa Syariat Islam yang telah diberlaku di Bulukumba adalah 1) Perda Kab. Bulukumba No. 03 tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol; 2) Perda Kab. Bulukumba No. 02 tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infak dan Sadqah dalam Kab. Bulukumba ; 3) Perda Kab. Bulukumba No. 05 tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kab. Bulukumba ; dan 4) Perda Kab. Bulukumba No. 06 tahun 2006 tentang Pandai Baca Al Quran Bagi Siswa dan Calon Penganten Dalam Perda Kab. Bulukumba.
Ditetapkan dan diterapkannya Perda Kab. Bulukumba No. 03 tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol atas petimbangan semakin meluasnya peredaran minuman beralkohol di daerah ini yang mengakibatkan terganggunya ketertiban dan ketentraman masyarakat oleh pemakainya, sehingga untuk melindungi masyarakat dibutuhkan sebuah peraturan.
Ditetapkan dan diterapkannya Perda Kab. Bulukumba No. 02 tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infak dan Sadaqah dalam Kab. Bulukumba berdasarkan pertimbangan bahwa zakat profesi, infak dan sadaqah merupakan potensi yang dapat digunakan sebagai modal untuk pembangunan dan kemaslahat masyarakat, sehingga pengelolaannya perlu diatur.
Ditetapkan dan diterapkannya Perda Kab. Bulukumba No. 05 tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kab. Bulukumba berdasarkan atas pertimbangan bahwa menutup aurat adalah suatu kewajiban bagi muslim yang harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari dan untuk terwujudnya suasana kehidupan yang menggambarkan keimanan dan ketaqwaan masyarakat, sehingga berpakaian perlu diatur.
Ditetapkan dan diterapkannya Perda Kab. Bulukumba No. 06 tahun 2003 tentang Pandai Baca Al Quran Bagi Siswa dan Calon Penganten Dalam Perda Kab. Bulukumba berdasarkan pertimbangan terwujudnya tujuan pendidikan Nasional dengan menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan bagi generasi muda dan masyarkat pada umumnya.
Lahir Perda tersebut bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Keberadaan Islam (tentu dengan syariat) di Bulukumba/Makasar/Sulawesi Selatan sudah sangat lama. Masyarakat Islam di daerah ini cukup fanatik dengan agamanya, mungkin sedikit di bawah Aceh. Jadi syariat Islam telah mengakar di masyarakat, walau dengan pengertian yang tidak utuh dan sempurna. Paling tidak semangat keberislaman sudah  hidup dan menyala pada masyarakat di daerah tersebut.
Maraknya peraturan-peraturan di daerah yang mengatur pelacuran, perjudian, minuman keras, aturan berpakaian, dan pembuatan papan nama Arab Melayu di beberapa daerah, seperti Aceh, Bulukumba, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Indramayu, Lombok, Tangerang dan daerah lainnya merupakan fenomena baru setelah berbagai kelompok Islam kesulitan memberlakuan syariat Islam ke dalam hukum nasional.
Bentuk perangkat hukum yang digunakan mulai dari Surat Edaran Bupati, Instruksi Walikota, Surat Gubernur hingga Perda. Perda Bernuansa Syariat Islam merupakan upaya yang dilakukan oleh sejumlah kelompok Islam untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah agar melakukan Islamisasi produk hukum di level yang paling bawah.

E.  PRO DAN KONTRA KEBERADAAN PERDA BERNUANSA SYARIAT ISLAM DI INDONESIA
Akhir-akhir ini sering terdengar pro-kontra tentang pemberlakuan Perda Bernuansa Syariat Islam di beberapa kabupaten di Indonesia.  Pro-kontra yang muncul sangat beragam sesuai dengan kepentingan dan cara berpikir masing-masing pihak tersebut. Mulai dari ‘pembenaran’ tentang hukum Islam, kedudukan hukum Perda, sampai dengan rasa pesimis maupun optimis akan keberhasilan Perda tersebut. Beragam kepentingan dan beragam pola pandang yang kemudian berujung pada perdebatan tiada henti dan tidak menyelesaikan masalah.
Polemik tentang Perda Bernuansa Syariat Islam selama ini lebih banyak berkutat pada debat analisis materi Perda. Bagi yang pro, teks perda yang demikian diyakini sejalan dengan kebutuhan regulasi lokal dan kehendak masyarakat setempat. Bagi yang kontra, isi perda macam itu dicemaskan melanggar hak-hak dasar warga, memperkeruh toleransi antar-agama, bahkan lebih jauh, mengancam keutuhan negara-bangsa.
Penolakan terhadap Perda Bernuansa Syariat Islam juga timbul karena perbedaan pengertian tentang syariat Islam. Bagi sebagian orang syariat adalah  pemahaman terhadap syariat disebut dengan istilah fikih. Syariat dari Tuhan bersifat pasti, sedangkan fikih seutuhnya dari manusia dan bersifat relatif. Syariat tidak pernah salah, sedangkan fikih seringkali salah kaprah, atau bahkan salah sama sekali. Setiap orang mempunyai pemahaman tentang syariat, sehingga tak berlebihan bila dikatakan, setiap muslim mempunyai fikihnya sendiri terhadap ajaran syariat. Oleh karenanya, perbedaan, pluralitas pemahaman, atau bahkan debat terbuka, adalah hal yang lumrah dalam dunia fikih. Dari sisi ini kemudian menimbulkan pertanyaan fikih mana yang akan dipakai?
Perda Bernuansa Syariat Islam adalah sesuatu yang terkait dengan kekiniannya, tapi memakai fikih hasil pemikir di masa lalu. Padahal, kebutuhan dan kemaslahatan yang ada saat ini jauh berbeda dengan kebutuhan dan kemaslahatan di masa lalu. Masa sekarang membutuhkan “fikih kita”, bukan “fikih mereka”. Jadi sesuatu yang dipaksakan.
Bagi kalangan diluar Islam atau orang Islam yang tidak senang dengan Islam timbul ketakutan bahwa penerapan Perda Bernuansa Syariat Islam  berujung pada gagasan negara Islam dan penghalang terhadap kebebasan yang selama ini sudah dinikmati, sehingga menolak kehadiran dan penerapan Perda berbasis syariat.
Ketakutan atau fobia terhadap perberlakuan syariat Islam adalah yang dibesar-besarkan. Syariat Islam sama sekali tidak bertujuan untuk menganiaya manusia, bahkan binatang dan lingkungan pun tidak boleh di rusak. Karena itu merasa takut terhadap syariat Islam, apalagi memusuhinya adalah sikap dan tindakan yang tidak beralasan. Prof. Rofiq Anwar (Rektor UNISSULA Semarang) dalam menyampaikan makalahnya menantang para peserta “Semiloka Manajemen Kampus Islami” dengan pertanyaan, ”Sudahkah anda yakin terhadap Islam, tanpa keraguan sedikitpun”? Bila saudara telah yakin, maka amalkan dengan baik ajaran Islam tersebut.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Moh Ma’ruf me­negaskan kepada pihak tertentu untuk tidak apriori dengan pemberlakuan per­aturan daerah (perda) sya­riat yang mulai mengemu­ka di beberapa wilayah, karena itu ju­ga merupakan suatu ruju­kan bagi pelayan publik di negara Indonesia. Apalagi keinginan un­tuk memberlakukan perda syariat akan tetap diako­modasi sebagai wujud dari negara kesatuan dan per­satuan. "Perda harus tetap memayungi dan mengede­pankan rasa persatuan dan kesatuan," ujarnya.
Berdasarkan hasil penelitian di beberapa daerah memperlihatkan respon yang positif dari masyarakat setempat terhadap pemberlakuan Perda Bernuansa Syariat Islam, seperti :
1.      Hasil penelitian Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta terhadap pandangan masyarakat terhadap Perda Bernuansa Syariat Islam yang dilakukan pada tahun 2006 di enam daerah, mulai Kabupaten Bireun (Aceh), Kota Tangerang (Banten), Indramayu (Jawa Barat), Tasikmalaya (Jawa Barat), Bulukumba (Sulawesi Selatan), sampai Bima (Nusa Tenggara Barat) menunjukkan bahwa dukungan pada pemberlakuan berbagai jenis sanksi pidana Islam amat tinggi. Riset itu juga memberi catatan penting bagi para penggiat keadilan gender. Sejumlah materi perda yang banyak dikritik aktivis gender selama ini ternyata mendapat sambutan sebaliknya lebih dari separuh responden. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pandangan masyarakat terhadap Perda Bernuansa Syariat Islam adalah positif.
2.      Hasil penelitian Irham Nur terhadap aplikasi syariat Islam di kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan memperlihatkan bahwa dari 597 responden yang dimintai pendapat tentang pemberlakuan Perda pengaturan perdaran minuman beralkohol sebagai besarnya menyatakan sangat setuju. Kalau responden ini dapat mewakili masyarakat Bulukumba, maka sebagian besar masyarakat daerah tersebut sangat mendukung diberlakukannya Perda tersebut. Demikian juga halnya dengan pemberlakuan Perda tentang baca tulis Al Quran dan berpakaian muslim[1] mendapat tanggapan yang posif  dari masyarakat setempat.
Hasil penelitian yang diperoleh oleh Irham Nur memperkuat hasil penelitian Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah karena Bulukumba juga termasuk salah satu dari 6 daerah yang mereka teliti. Agak sedikit berlebihan juga untuk mengatakan bahwa 6 daerah dapat mewakili daerah-daerah lain yang telah memberlakukan Perda Bernuansa Syariat Islam di nusantara ini, namun kalau dapat dikatakan demikian maka masyarakat di daerah-daerah tersebut dengan kata Perda yang diterbitkan adalah benar merupakan keinginan rakyat yang disalurkan melewati DPRD dan Pemerintahan Derahnya.
F.   PENUTUP
Sebenarnya sebagai seorang muslim dimanapun dia berada dan berapapun kecil kadar imannya pasti ingin menjadi seorang muslim yang baik, muslim yang mampu menjalan syariat agama secara sesuai dengan kesanggupannya. Hanya saja karena dirinya tidak terlepas dari pengaruh luar yang antara berupa pendidikan, lingkungan, sarana dan prasarana serta perhatian, maka keinginan untuk menjadi muslim yang kaffah tidak terwujud.
Perda Bernuansa Syariat Islam hendaklah memperhatikan hal tersebut di atas sehingga keberadaannya lebih kepada memfasilitasi dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk menjalankan aturan tersebut. Para penegak aturan harus menyelenggara pendidikan, sosialisasi dan memberi waktu yang cukup kepada masyarakat untuk dapat masuk pada kondisi itu.
Bagi masyarakat muslim, ada keuntungannya menjalankan Perda Bernuansa Syariat Islam dari Perda biasa, yaitu Perda Bernuansa Syariat Islam mempunyai nilai spritual di samping hubungan antar manusia saja. Kepatuhannya menjalankan aturan tidak saja bersifat horizontal tapi sekaligus bersifat vertikal. Hal ini secara psikologis akan lebih mudah menjalaninya.
Kalaupun ada penolakkan terhadap Perda tersebut, hal itu dilakukan oleh beberapa orang dari kalangan politikus, ilmuwan dan agamawan baik muslim maupun non muslim yang sesungguhnya mereka berada jauh dari tempat/daerah diberlakukannya Perda Bernuansa Syariat Islam tersebut. Agak aneh memang, tapi karena suara mereka didengar oleh banyak, maka gaungnya menjadi besar.
Penolakan tersebut dapat disebab berbagai hal, boleh jadi karena mereka alergi dengan Islam ; takut Islam akan membumi di tanah air ini ; menyampaikan pesan sponsor atau ketakutan tidak beralasan. Penolakan paling sering dikaitkan dengan pelanggaran hak azazi manusia (HAM) yang berlaku secara internasional. HAM dari sisi siapa? Amerika atau Eropa. Amerika sebagai juragan HAM, kenapa tidak ada sangsi ketika dia menyerang Aganistan, Irak dan berbagai negara di dunia yang tidak hanya telah melanggar HAM tapi juga sudah tidak menghormati kedaulatan suatu bangsa.
Memang bagi sebagian masyarakat pemberlakuan syariat Islam masih sebatas semangat legalisme, berlaku karena adanya sebab yang lain, belum sampai kepada berlaku dengan  sendirinya. Artinya, pemberlakuan syariat Islam harus melalui upaya legislasi, baik di tingkat DPRD  maupun DPR, bukan lagi seperti pada zaman Rasulullah Saw, syariat Islam berlaku dengan sendirinya tanpa memerlukan kebijakan negara. Hal ini tentu terkait dengan pengetahuan keislamannya dan keyakinan terhadap pesan apa yang telah disampaikan oleh  syariat itu.
Perda Bernuansa Syariat Islam yang ada kebanyakkan baru  sebatas mengatur pelacuran, minuman keras, pemakaian busana muslim/muslimah, shalat Jama’ah, baca al-Qur’an, zakat, larangan keluar malam bagi perempuan, dll. Aturan-aturan tersebut yang belum mengatur soal substansi kehidupan bernegara. Belum ada satu pun Perda Syariat yang mengatur tentang tindak korupsi, penindasan, dan ketidakadilan penguasa, sehingga sebagian orang menilai bahwa keluarnya Bernuansa Syariat Islam adalah kepentingan politik penguasa daerah (Bupati/Gubernur).
Beberapa hasil penelitian, ternyata masyarakat di daerah tempat berlakunya Perda Bernuansa Syariat Islam sangat mendukung pelaksanaannya. Hal menunjukkan bahwa Pemda dalam membuat aturan betul-betul merupakan bentuk dari aspirasi bersama antara pemerintah dan masyarakyat atau paling tidak Perda tersebut tidak bertentangan dengan keinginan masyarakyat setempat. Persoalan yang kemudian terjadi/timbul dalam pelaksanaan itu merupakan sesuatu yang lumrah.  Berarti yang salah itu bukan perdanya, tetapi adalah pelaksananya.
1.      Kesimpulan
Dari tulisan di atas dapat di simpulkan:
a.       Syariat Islam telah dijalankan secara kedaerahan di bumi Indionesia semenjak lama.
b.   Syariat Islam yang dijalankan adalah syariat menurut pengertian masyarakat Indonesia dalam kurun waktu yang sama dan sesuai dengan daerahnya.
c.   Lahirnya Perda Bernuansa Syariat Islam sesuai dengan keinginan serta pengertian Pemda dan masyarakat tempat Perda tersebut lahir.
d.     Perda Bernuansa Syariat Islam tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan negara Republik Indonesia.
e.    Perda Bernuansa Syariat Islam suatu daerah tidak sama dengan Perda Bernuansa Syariat Islam daerah yang lain.
f.    Materi dari Perda Bernuansa Syariat Islam yang ada kecuali Aceh, belum menyangkut hal-hal yang substansi dalam kehidupan masyarakat.
g.    Perda Bernuansa Syariat Islam yang ada masih ditemui kekurangan-kekurangannya baik dalam materi atau pelaksanaannya.
2.      Saran
a.   Evaluasi dan perbaikan terhadap Perda Bernuansa Syariat Islam yang telah dijalankan harus dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan.
b.     Perda Bernuansa Syariat Islam harus didukung semua pihak terutama ulama dalam sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat.
c.  Perlu dikaji Perda-Perda Bernuansa Syariat Islam yang materinya menyangkut hal-hal lebih substansi.



[1]   Dari 590 reponden yang dimintai tanggapan berkaitan dengan pemberlakuan Perda tentang berpakaian muslim, maka sangat setuju  73%, setuju 23%, tidak setuju 3% dan sangat tidak setuju 1% terhadap aturan tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Asymawi, Muhammad Sa’id, Problematika dan Penerapan Syariat Islam, Bandung: Alifya, 2004
Azra, Azyumardi dan Salim, M. Arskal, “Negara dan Syariat  dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia” dalam Burhanudin (ed.), Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal, (Jakarta: JIL, 2003)
Cahyawati, Dwi Putri dkk, Susunan Dalam Satu Naskah UUD 1945 : berdasarkan amandemen pertama dan kedua, Jakarta : Roda Inti Media, 2000,
Halim, Abdul, Politik Hukum di Indonesia, Ciputat : Ciputat Press, 2005.
Hartono dan Aziz, Arnicun, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta : Bumi Aksara, 1993.
Hutabarat,  Ramly, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Universitas Indonesia, Jakarta : 2005.
Muhammad, Rusjdi Ali, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh : Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Jakarta : Logos, 2003.
Sumitro, Warkum, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia.
Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Perundang-Undangan Tentang Pemerintahan Aceh, Bandung,  Fokusmedia, 2006.
Toha, Miftah, Birokrasi Politik di Indonesia, Jakarta : RajaGrafindi Persada, 2003.
Umari, Akram Dhiyauddin,  Masyarakat Madani : Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, Jakarta : Gema Insani, 1999.
Widjaja, HAW, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002.
Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2006.
Mitchell, Richard Paul, Masyarakat Al-Ikhwan Al-Muslimun : Gerakan Dakwah Al-Ikhwan di Mata Cendekiawan Barat, Surakarta : Era Intermedia, 2005

Arizona, Yance, Disparitas Pengujian Peraturan Daerah: Suatu Tinjauan Normatif, http:// samandiri.org. Apr 11, 2008

Asrori S. Karni, Perda Syariah: Kebijakan Daerah Bernuansa Syariah, http://www.csrc.or.id

Jambak,  Doni F., Legalitas Perda Syariah,  http : //www.padangekspres.co.id,  Waldemar & Partners Law Firm, hlm.1
Mulia, Siti Musdah, Perda Syariat Dan Peminggiran Perempuan, http://jarikjogja. wordpress.com, 2008.1
Perda Syariat, Masyarakat Diminta Tidak Apriori, http://www.indonesia.go.id
Sambutan Gubernur Sumbar pada peringatan Nuzul Quran, dodi/www.hidayatullah.com
Telaah Kritis Paradigma Masyarakat Madani Prespektif Islam, www.angelfire.com
Zulkieflimansyah, Mengaitkan Islam dan Negara: bukan perkara mudah http://www. zulkieflimansyah.com, 2008.
M. Hasibullah Satrawi, Membendung Perda Syariat, www.jawapos. com
Lembaran Daerah Kab. Bulukumba, tahun 2002 dan 2003
Lembaran Daerah Kab. Bulukumba, tahun 2002 No. 3 Seri C No. 01
Lembaran Daerah Kab. Bulukumba, tahun 2003 No. 3 Seri C No. 02
Lembaran Daerah Kab. Bulukumba, tahun 2003 No. 5 Seri C No. 03
Lembaran Daerah Kab. Bulukumba, tahun 2003 No. 6 Seri C No. 04
Peraturan Daerah Kota Tangerang  Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pelarang Pelacuran.
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000  tentang Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja Majelis Permusyawatan Ulama (MPU) Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom Presiden Republik Indonesia.
Nur, Irham, Aplikasi Syariat Islam Di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan : Studi Analisis Terhadap Peraturan Dearah Tentang Pengelolaan Zakat, Minuman Keras, Wajib Baca Al Quran Dan Busana Muslim, Tesis, Jakarta : Pascasarjana UMJ, 2008

Puailiggoubat, Sejarah Peraturan Daerah Pendidikan Al-Quran di Sumatera Barat, Sabtu 24 Februari 2007

Tim Peneliti FAI, Summary Hasil Penelitian Studi Evaluasi Kebijakan Perda no. 8 tahun 2005, hlm. 7
Mahendra, Yusril Ihza, Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional Indonesia : makalah seminar, Jakarta : UIN, 2007.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar