PERATURAN DAERAH
BERNUANSA
SYARIAT ISLAM DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Masyarakat muslim percaya, bahwa kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.
adalah pedoman dan pandangan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka percaya apabila
melaksanakan semua perintah oleh Allah SWT dan meninggalkan yang dilarang-Nya
baik yang melalui kitab suci Al-Qur’an maupun hadist Nabi Muhammad saw. akan
memperoleh kehidupan yang sejahtera dan bahagia, baik di dunia maupun di
akhirat.
Berdasarkan hal tersebut,
maka semenjak keberadaan Islam di Indonesia syariat Islam turut hadir menyertai
kehidupan masyarakat muslim dimana mereka berada. Hanya saja dalam skala yang
lebih luas kekuasaan secara politis sangat mempengaruhi diberlakukan atau tidaknya
syariat tersebut. Semenjak reformasi digulirkan,
kemudian diikuti oleh otonomi daerah menyebabkan terbukanya peluang bagi syariat
Islam untuk eksis dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Perda-perda bernuansa
syariat Islam telah hadir di beberapa daerah dalam wilayah negara Republik
Indonesia. Kemunculan pertama dimulai dari Nanggroe Aceh Darussalam dan
kemudian diikuti oleh daerah-daerah lain.
Perda
dibuat dengan maksud menertibkan masyarakat guna terwujudnya suasana yang kondusif
menuju tercapainya kesejahteraan dan ketentraman hidup masyarakat di daerahnya.
Bagi masyarakat dan Pemerintahan Daerah tertentu, Perda Bernuansa Syariat Islam
dianggap mampu mengembalikan ketertiban dan moral masyarakat telah jauh merosot.
Perda atau peraturan yang telah berjalan selama ini ternyata tidak mampu
memberikan sosuli terhadap persoalan-persoalan yang ada masyarakat. Peraturan
tersebut juga tidak mampu membawa perubahan kearah yang lebih baik. Kedatangan arus globalisasi makin membuatnya
tak berdaya, sehingga akhlak dan budaya bangsa kabur dan luntur.
Kehadiran Perda Bernuansa Syariat Islam memang
memunculkan perbedaan pendapat. Pro-kontra
terhadap Perda yang dinilai bernuansa Islami atau Perda Bernuansa Syariat Islam yang
diberlakukan di beberapa daerah Indonesia belakangan ini terasa semakin
menguat. Baik kalangan yang
menentang maupun mendukung sama-sama memiliki argumentasinya sendiri. Perda
tentang anti-pelacuran, anti-perjudian, dan anti-miras seperti di Tangerang
(Banten), Bulukumba (Sulsel), Gorontalo, Cianjur (Jabar), Padang (Sumbar) dan
tempat lain telah menyedot perhatian baik di pusat maupun di daerah.
Sebenarnya,
perdebatan mengenai kebijakan publik berupa hukum-hukum bernuansa agama (Islam)
telah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia. Bahkan jauh kebelakang, perdebatan/pertentangan
telah muncul pada masa penjajahan baik antara pribumi (Islam) dengan Belanda
(non Islam) maupun di kalangan pemerintahan kolonial Belanda sendiri. Walaupun dipertentangkan,
tetapi sejumlah peraturan/hukum Islam yang keberadaannya sudah lama dan
dipratikkan dalam negeri ini tetap dipertahankan seperti hukum waris,
perkawinan dan waris. Lebih dari itu kebijakan politik juga melegalkan
peradilan Agama sebagai salah satu sistem peradilan yang berlaku di Indonesia.
Tulisan
ini ingin melihat “Pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) Bernuansa Syariat
Islam di Indonesia” ditinjau dari segi politik Islam. Dari latar belakang di atas maka pembicaraan akan berkisar pada:
1. Jejak Peraturan Syariat Islam
dalam Negara
2. Bagaimana keberadaan Perda Bernuansa Syariat Islam di Indonesia?
3. Daerah-daerah yang telah
menjalankan Perda Bernuansa
Syariat Islam.
4. Pro dan Kontra Keberadaan Perda Bernuansa Syariat Islam di Indonesia.
B. JEJAK PERATURAN/HUKUM DAN PERDA
BERNUANSA SYARIAT ISLAM DALAM NEGARA
Kedatangan
Islam yang dibawa Nabi saw. telah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan
yang mendasar dan komprehensif pada penganutnya. Dalam aqidah ia
mempresentasikan suatu lompatan dari penghambaan kepada sesuatu yang nyata;
dapat dilihat dan diraba menuju penghambaan kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan,
Zat yang tidak dapat digambarkan atau dipadankan dengan sesuatu, bahkan untuk dibayangkan.
Pemeluk Islam di zaman Nabi saw. mampu menyingkir kebiasaan-kebiasaan lama
dalam seluruh aspek kehidupan yang tidak sejalan dengan Islam kemudian meraih
kepribadian Islam dengan segala nilainya.
Melihat
perkembangan Islam yang stagnasi di Mekah, Nabi saw. dan para sahabat hijrah ke
Yasrib. Nabi saw. kemudian mengganti nama Yasrib menjadi Madinah. Madinah mengandung dua pengertian. Pertama, "Masyarakat kota, karena
Madani adalah derivat dari kata bahasa Arab, Madinah yang berarti kota. Kedua,
masyarakat yang berperadaban, karena madani adalah juga merupakan
derivat dari kata Arab tamaddun atau madaniah yang berarti peradaban. Nama
Yastrib yang diganti dengan Madinah merupakan langkah Rasulullah untuk
menunjukkan kepada umat manusia bahwa beliau membangun kota yang masyarakatnya
penuh peradaban dan tunduk pada aturan hukum (agama).
Kemudian Nabi Muhammad mengatur hubungan dengan pelbagai
lapisan masyarakat Madinah dan merekamnya dalam suatu dokumen yang dikenal
dengan Piagam Madinah. Dokumen tersebut terdiri 47 butir bertujuan untuk
mengatur hubungan antar masyarakat yang terdiri dari golongan Muhajirin, Ansor
dan Yahudi. Dengan mencermati isi dari Piagam Madinah jelas bahwa piagam
tersebut berisi rumusan yang jelas tentang hak-hak dan kewajiban orang Islam di
antara sesama mereka, serta hak-hak dan kewajiban di antara orang Islam dan
Yahudi (yang bukan Islam).
Di
antara aturannya, apabila terjadi perselisihan di antara mereka maka semuanya
dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya sebagai mana termaktub di dalam piagam
tersebut. Selain itu juga tertulis "bahwa melindungi orang-orang Quraisy
(yang menjadi musuh umat Islam) atau menolong mereka tidak dibenarkan.",
"Bahwa di antara mereka harus saling membantu melawan orang yang mau
menyerang Madinah ini. "Bahwa apabila mereka diajak berdamai, maka
orang-orang yang beriman wajib menyambutnya, kecuali kepada orang yang
memerangi agama, bagi setiap orang, dari pihaknya sendiri mempunyai bagiannya
masing-masing.
Dari keterangan
di atas dapat disimpulkan bahwa posisi Piagam Madinah adalah sebagai kontrak politik
pertama secara tertulis yang dilakukan Rasul atas nama Islam. Posisi Rasul di sini
adalah sebagai pimpinan dan Islam sebagai landasan bermasyarakat dan bernegara,
sehingga kalau dicari nilai-nilai yang tercermin dalam masyarakat Madinah saat
itu dapat diyakini pastilah nilai-nilai Islam.
Masa
Madinah Rasul adalah sebagai awal dari berlakunya syariat/hukum-hukum Islam
dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Apa yang telah dimulai Rasul tersebut
berlanjut di masa penerusnya dan sampai sekarang. Keberadaan aturan didukung oleh kekuatan politik.
Islam
masuk pertama kali ke Indonesia pada abad 7 M/1 H dibawa oleh pedagang dan
mubalig Arab. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat
Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di
wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Kepulauan
Nusantara pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera
Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara. Dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai,
umat Islam mulai memainkan peranannya secara politis dan hukum di bumi
Nusantara ini.
Pengaruh
dakwah Islam cepat menyebar ke berbagai wilayah Nusantara kemudian disusul
dengan berdiri beberapa kerajaan Islam. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan
Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon,
kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate
serta Tidore.
Sementara
itu di Kalimantan berdiri Kerajaan Banjar. Di kerajaan Banjar, qadli
tidak hanya menangani persoalan hukum perkawinan, perceraian, dan kewarisan, tetapi juga menangani perkara
pidana. Tercatat dalam sejarah Banjar, bahwa hukum bunuh bagi orang yang
murtad, hukum potong tangan bagi pencuri, dan hukum dera bagi pezina sudah
diberlakukan. Di lingkungan kerajaan Banjar juga terdapat kitab hukum yang
merupakan kodifikasi sederhana. Kitab hukum (Islam) itu kemudian dikenal dengan
Undang-undang Sultan Adam. Begitu pula di Banten, sebagaimana dicatat oleh
Anthony Reid (1988) bahwa pada awal abad ke-17, pencuri di Banten dan Aceh
dihukum dengan potong tangan. Hukuman semacam ini dijalankan melalui pemotongan
tangan sebelah kanan. Jika perbuatan itu dilakukan berulang-ulang, konsekuensi
hukumannya adalah dengan memotong kaki kiri, lalu tangan kiri, dan kemudian
kaki kanan. Hingga akhirnya pencuri tersebut di asingkan ke pulau Sabang, di
ujung barat pantai Aceh.
Kerajaan-kerajaan tersebut -sebagaimana tercatat dalam sejarah- menetapkan
hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai
hukum positif di setiap Kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya
yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya
literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama Nusantara pada
sekitar abad 16 dan 17.
Syariat Islam telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dengan
beberapa ciri: (1) syariat Islam telah hidup berdampingan dengan tradisi lokal,
(2) syariat Islam yang berkembang bukan hukum yang murni, melainkan dipengaruhi
oleh tradisi lokal, (3) syariat Islam yang berlaku adalah hukum
privat/keluarga, (4) faktor ekonomi dan politik menentukan perkembangan
berlakunya syariat Islam, dan (5)
perkembangan syariat Islam belum ditopang oleh institusi formal kerajaan. Hal
ini mencerminkan bahwa syariat Islam telah diberlakukan masyarakat dalam
skalanya yang terbatas dan terpengaruh dengan tradisi masyarakat setempat.
Di masa penjajahan dengan berjatuhan kerajaan Islam di Nusantara, maka
kekuasaan umat Islam serara politis juga ikut hilang. Belanda memang berusaha secara
sistematis untuk mengurangi kalaupun tidak akan menghapus peranan Islam dan
masyarakatnya baik secara politik maupun secara hukum. Namun demikian beberapa
hukum Islam tetap diakui pemerintahan Belanda. Langkah ini diambil sebagai
upaya menghindari perlawanan dari masyarakat.
Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai
gubernur selama 5 tahun(1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia
Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan
kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat
adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya
umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb.
Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan
masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat
pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek
batiniah (spiritual) saja.
Pada tahun 1642 terbentuklah Statuta Batavia yang berlaku untuk
masyarakat Batavia (sekarang Jakarta) dan sekitarnya. Dalam Statuta Batavia
disebutkan bahwa mengenai kewarisan orang-orang Indonesia yang beragama Islam
harus dipergunakan hukum Islam, yaitu hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari.
Pada tahun 1760 terbentuk kitab hukum Compendium Freijer (hasil karya
D.W. Freijer) yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Kitab hukum ini
diterapkan pada peradilan-peradilan yang ada di daerah kekuasaan VOC. Selain
itu, juga terdapat kitab hukum Mugharaer yang berlaku untuk Pengadilan
Negeri Semarang. Kitab hukum ini berisi perkara-perkara perdata dan
perkara-perkara pidana yang sebagian besar bermuatan hukum pidana Islam.
Memasuki era kemerdekaan, masyarakat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia
tidak berhenti memainkan perannya dalam proses sosial politik, besar atau
kecil. Dalam dinamika sosial politik, meskipun mayoritas ternyata tidak serta
merta membuat politik Islam memenangkan pergulatan dalam mengisi ruang dan
dimensi hukum di Republik ini. Bahkan sebaliknya sering kalah dan terpinggirkan
atau setidak-tidaknya berada dalam tekanan minoritas.
Konflik Islam dan politik (agama dan negara) baik dalam tataran politik
maupun implementasi nilai-nilai keislaman dalam negara yang telah terjadi sejak
masa penjajahan Belanda terus berlangsung hingga kini. Aspirasi rakyat (muslim)
menghendaki menerapan syariat Islam, sedangkan pemerintah (penguasa) cenderung
menjalankan politik sekuler yang mendapat dukungan sebagain kecil masyarakat,
tetapi secara politik kuat. Kondisi ini menurut Cedrroth sebagai mana yang
dikutip Rusli Karim, membuat Islam di Indonesia nyaris sebagai ”penggembira
politik”.
Para ahli bersepakat bahwa, di Indonesia hubungan politik antara Islam dan
negara selama beberapa dekade-khususnya ketika Soekarno dan Soeharto berkuasa -
mengalami jalan buntu. Kedua rezim tersebut memandang Islam politik maupun
partai-partai politik yang berlandaskan Islam dianggap sebagai pesaing
potensial kekuasaan yang dapat merobohkan landasan negara, Pancasila.
Soekarno
dengan sistem demokrasi terpimpinnya berulangkali ’menjinakkan’ dan mematahkan
perjuangan politik Islam. Penjinakan terhadap perjuangan politik Islam itu
berupa marjinalisasi partai politik Islam maupun penolakan terhadap semua
aspirasi kelompok Islam di Parlemen. Alasan penjinakan tersebut didasarkan pada
ketakutan jika kelompok politik Islam berkuasa maka, Indonesia yang plural
dasar hukum normatifnya adalah ’Syariat Islam’. Salah satu bukti kongkret
penjinakan tersebut adalah kekalahan politik Islam dalam memperjuangkan kembali
dimasukkannya tujuh kata Piagam Jakarta dalam UUD 45 di Majelis Konstituante
dan pembubaran sebagian partai Islam di penghujung pemerintahan Soekarno.
Sementara
ketika Soeharto berkuasa, politik Islam tetap saja dianggap sebagai kekuatan
yang dapat meruntuhkan kekuasaan Negara. Maka tak heran jika banyak kebijakan
penguasa Orde Baru ini sangat merugikan kelompok Islam. Di mata Soeharto,
politik Islam tak ubahnya monster menakutkan yang membawa sejuta ideologi yang
berlawanan dengan dasar Negara, Pancasila. Dalam dua kasus Presiden inilah,
banyak pengamat berkesimpulan bahwa hubungan Islam dan Negara di Indonesia
mengalami jalanan buntu bahkan ketegangan.
Walaupun
begitu, Suharto pernah menerbitkan PP No. 28 tahun 1977 yang meneguhkan
kedudukan ajaran (hukum) Islam tentang tanah wakaf dalam sistem hukum Nasional.
Lama setelah itu, kembali
lahir UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Banyak kalangan melihat
lahirnya UU ini saat pamor Suharto sudah mulai memudar dan kesepian dalam
singasana kekuasaannya, kemudian dia melihat Islam sebagai hal yang menjanjikan
untuk memberi dukungan kepada rezimnya.
Penguatan
hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional kembali terjadi saat dikeluarkannya
Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang penetapan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia. Hal ini pada dasarnya merupakan rujukan materi hukum keluarga Islam
para hakim agama di Pengadilan Agama untuk memutuskan perkara-perkara yang
menjadi yurisdiksi pengadilan ini. Dengan demikian lengkap sudah kekuatan
pengadilan ini.
Pasca
runtuhnya Soeharto pada 1998, reformasi membawa angin segar bagi seluruh rakyat
Indonesia tak terkecuali bagi kekuatan politik Islam. Puluhan partai politik Islam mulai bermunculan
dengan berbagai platform Islam. Ada yang mengusung Islam sebagai dasar negara
dan banyak juga yang menolak Islam sebagai dasar Negara, tapi tetap menjadikan
Islam sebagai basis solidaritasnya. Pada titik klimaksnya, partai-partai Islam
ini - baik yang berplatform Islam mapun mayoritas pemilihnya Islam – pada
pemilu 1999 dan 2004 tidak mendapatkan suara mayoritas. Justru partai-partai
yang tidak berplatform Islam yang memenangkan pertarungan dalam dua kali pemilu
tersebut.
Tidak berhasilnya kekuatan
politik Islam dipentas nasional tidak menyurutkan semangat pengusungnya. Dengan
diberlakukan otonomi daerah memberi angin segar dan harapan bagi bagi daerah
yang mayoritas masyarakat beragama Islam dan memiliki tradisi keislaman kuat
untuk tampil kepermukaan. Aspirasi masyarakat yang selama ini terhalang oleh
berbagai aturan negara, maka dengan adanya kebebasan mengatur diri sendiri
keinginan tersebut mereka munculkan melalui Perda.
Perda adalah peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
Melalui amandemen UUD 1945 yang kedua, Perda mendapatkan landasan
konstitusionalnya di dalam konstitusi yang keberadaannya digunakan untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Selanjutnya Pasal 12 UU No. 10/2004
menggariskan materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka:
1. penyelenggaraan
otonomi dan tugas pembantuan;
2.
menampung
kondisi khusus daerah; serta
3. penjabaran lebih
lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Otonomi daerah
membuka ruang bagi lahirnya Kepala Pemerintahan Daerah yang dipilih secara
demokratis oleh masyarakat sendiri, sebaliknya memungkinkan berlangsungnya
penyelenggaraan pemerintahan yang responsif dan akomodatif terhadap kepentingan
masyarakat luas, sehingga dalam mengambil keputusan/membuat aturan benar-benar
merupakan hasil kesepakatan bersama antara pemerintah dan rakyat.
C. KEDUDUKAN PERDA BERNUANSA SYARIAT ISLAM DALAM
POLITIK HUKUM DI INDONESIA
Ajaran Islam mengandung aspek-aspek hukum, yang
kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni
Al-Qur’an dan al-Hadis. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai
pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini,
umat Islam menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang
perlu mereka taati dan jalankan.
Hal tersebut di atas yang dikenal dengan syariat. Kata syariat memang tidak
banyak disebutkan di dalam Al Quran. Salah satunya yang terkait dengan
pembicaraan makalah ini adalah :
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ.
Artinya :
Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama)
itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui.
(Al Jaatsiyah(45):18)
Kata syariat secara bahasa berarti
jalan menuju sumber air yang tidak pernah kering atau jalan yang terbentang
lurus. Sedangkan menurut
istilah syariat berarti seperangkat peraturan Allah yang wajib dilaksanakan
oleh setiap umat Islam. Ia bertujuan untuk menjalin hubungan antara manusia
dengan Allah dan antara manusia dengan manusia secara reguler, dan ketentuan
ini pula yang menyebabkan syariat tidak bisa dipisahkan dari etika atau akhlak. Sementara hukum mempunyai pengertian semua
aturan (norma) yang mengatur perihal kehidupan manusia bersama dalam masyarakat
dengan ancaman harus menganti kerugian atau mendapat hukuman, jika melanggar
atau mengabaikan aturan-aturan itu. Dari pengertian tersebut kata syariat mengandung
makna lebih luas cakupannya dari pengertian hukum, walaupun kemudian pengertian
syariat sendiri mengalami perkembangan atau penyempitan pengertian.
Menurut Hasan Al Bana seperti dikutib oleh Mitchell, hukum dan ajaran Islam
itu utuh dan menyeluruh, mengatur seluruh urusan manusia di dunia dan akhirat.
Orang-orang yang beranggapan bahwa ajaran Islam hanya menyangkut aspek
tertentu (ibadah ritual) adalah salah.
Islam adalah ideologi dan ibadah ritual, pemerintahan dan umat, agama dan
negara.
Syariat menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, sehingga pelaksanaan
dan penerapannya tetap dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
pengabdian kepada Allah. Jadi tidaklah mengherankan jika masyarakat muslim
menginginkan diberlakukan syariat yang mengatur hidupnya. Sayangnya sebagian umat
Islam atau non muslim beranggapan bahwa pengertian syariat tidaklah seperti
dalam pengertian asalnya, yakni jalan menuju Allah, akan tetapi pengertiannya dipersempit
menjadi sebuah aturan perundang-undangan yang mengatur setiap kondisi
kehidupan.
Di
Indonesia, memang tidak terdapat ungkapan pemberlakuan syariat Islam dalam konstitusinya,
tetapi ada jaminan kebebasan beragama di Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari
konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 E ayat 1 dan 2 disebutkan : 1)
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan menginggalkannya serta berhak kembali. 2) Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya. Hal ini kembali ditegaskan dalam pasal 29 : 1) Negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut
agama dan kepercayaan itu.
Pasal-pasal
yang disebutkan di atas merupakan jaminan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
terhadap kebebasan beragama dan beribadat. Karena itu, segala bentuk aturan
yang berada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan tersebut.
Kata bebas memeluk agama tersebut (ayat 1) dan berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan (ayat 2) secara eksplisit merupakan jaminan kepada setiap warga
negara mempunyai otonomi untuk memeluk agama dan keyakinan, serta
menjalankannya.
Pasal 29
(1) sebenar lebih memberi tekanan pada negara, bukan warga negara. Kata negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukan bahwa negara ini di dalamnya mempunyai
spirit keagamaan. Hal ini mungkin bagi sebagian kalangan dianggap aneh :
Indonesia bukan negara sekuler dan pula negara agama, terutama orang tidak
memahami Indonesia.
Indonesia selama
ini menganut sistem hukum kontinental, sehingga kreasi dan penciptaan hukum
lebih difahami sebagai suatu proses yang bisa
terjadi dalam ruang legilasi negara saja. Jadi tidak mengherankan bila pada
masa pemerintahan Orde Baru peran lembaga eksekutif sangat kuat dalam proses
kreasi hukum. Bahkan banyak kalangan menilai bahwa peran lembaga legislatif
hanya sekedar cap stempel dari eksekutif. Keadaan ini mulai berubah setelah rezim
orde baru jatuh karena reformasi.
Mengiringi
tuntutan reformasi, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XV Tahun 1998 menetapkan penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan
kewenangan luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proposional
sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan
keadilan serta potensi dan keberagaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Selanjutnya ditetapkan Undang-Undang No. 22 dan 25 Tahun 1999 dan
Peraturan Pemerintah No. 25 dan 84 Tahun 1999 sebagai pemberdayaan daerah dan
masyarakat melalui otonomi daerah.
Gagasan
otononomi daerah adalah membangun demokrasi dengan ciri utama partisipasi
seluruh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat yang
selama ini terabaikan. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk kebijakan yang
memberikan kewenangan kepada daerah dalam batas-batas tertentu agar leluasa
mengatur wilayahnya menjadi lebih mandiri dan lebih berkembang sehingga
masyarakatnya menjadi lebih sejahtera.
Pemberian
kewenangan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) karena Pemda dianggap mengetahui
lebih banyak permasalahan yang dihadapi komunitasnya, sehingga dengan demikian diharapkan
kepekaan Pemda semakin meningkat terhadap tuntutan-tuntutan dari masyarakat.
Hal ini akan memperpendek jalan dalam mengatasinya dan sekaligus meningkatkan
akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi di daerah.
Kewenangan bagi daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat melalui
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000,
pemerintah daerah dalam bidang politik dalam negeri dan administrasi publik
memiliki kewajiban untuk memelihara ketentram dan ketertiban umum. Untuk
menciptakan ketentraman dan ketertiban umum, Pemerintah Daerah bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah mengeluarkan Perda.
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 Pasal 7 ayat (1), menegaskan bahwa Perda masuk dalam salah
satu jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan pada bagian kelima dan menurut
Pasal 136 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan ”Perda
merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah”. Menurut Pasal 12
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, menyebutkan “materi muatan perda adalah seluruh
materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan,
serta menampung kondisi khusus daerah. Menilik dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Pasal 25, menyebutkan bahwa salah satu tugas dan wewenang kepala
daerah adalah menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.
Sejak
otonomi daerah digulirkan sampai akhir Juli 2006 tercatat 56 produk kebijakan Perda
dalam berbagai bentuk: peraturan daerah, qanun, surat edaran, dan keputusan
kepala daerah. Produk kebijakan daerah tersebut secara tegas berorientasi pada
ajaran moral Islam sehingga pantas dinamakan Perda Syariat Islam. Dari konteks ini ada beberapa poin yang harus diperhatikan.
Pertama, Perda Bernuansa Syari’at Islam adalah sebuah Peraturan Daerah.
Maksudnya disini adalah Peraturan yang berasal, digodok, disetujui dan disahkan
oleh Daerah tersebut. Jadi, peraturan ini digagas, disetujui dan disahkan oleh
lembaga legislatif dan eksekutif daerah yang bersangkutan dan telah memenuhi
unsur demokratis. Kedua, Perda tidak cacat hukum. Hal ini karena menurut
UU otonomi daerah, setiap daerah bisa menentukan peraturan yang akan
diberlakukan di daerahnya. Dan ini berlaku universal di daerah tersebut dengan
tetap memperhatikan keberagaman. Dan biasanya, suatu Perda Bernuansa Syari’at
Islam hanya akan muncul pada daerah yang relatif berlatar belakang agama Islam
homogen dan mayoritas. Tidak akan mungkin Perda Bernuansa Syari’at Islam akan
muncul di kota Jakarta.
D. DAERAH–DAERAH YANG TELAH
MENJALANKAN PERDA BERNUANSA SYARIAT ISLAM
Semenjak
diberikan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah
melalui Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun
1999, maka keinginan Pemerintah Daerah untuk mengatur daerahnya sesuai dengan aspirasi
mayoritas masyarakatnya yang selama ini mengalami hambatan, kini menjadi
kenyataan. Aceh dengan keistimewaan dan kekhususannya memulai berlakunya
syariat Islam, kemudian disusul oleh
daerah-daerah lain mengeluarkan perda yang dinilai berbau syariat Islam.
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam rangka merebut kembali kepecayaan rakyat
guna penyelesaiaan konflik Aceh secara mendasar dan menyeluruh, Pemerintah Indonesia
telah menetapkan dua undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan Nomor 18 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus NAD. Berdasarkan undang-undang tersebut penerapan syariat Islam secara
kenegaraan telah dimulai di Aceh.
Paling tidak ada empat alasan kenapa
masyarakat Aceh menuntut pelaksanaan syariat Islam secara menyeluruh di NAD. Pertama,
alasan teologis, syariat Islam adalah perintah Allah, maka wajib
untuk dilaksanakan dalam setiap aspek kehidupan baik pribadi maupun masyarakat.
Kedua alasan psikologis, masyarakat merasa nyaman dan tentram dengan
agama (syariat Islam) yang telah menjadi pakaian bagi mereka. Ketiga
alasan hukum, masyarakat merasa aman dengan syariat Islam yang sesuai dengan
kesadaran mereka. Keempat, alasan ekonomi dan kesejahteraan sosial, syariat
akan memudahkan terbentuknya kesetiakawanan sosial dan etos kerja islami serta
hemat.
Setelah dua tahun, baru hanya
melahirkan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja
Majelis Permusyawatan Ulama (MPU) Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan sampai tahun 2002 baru terbentuk
Dinas dan Sub Dinas Syariat Islam.
Kemudian
secara berangsur-angsur lahir Qanun Propinsi NAD No. 13/2003 tentang Maisir
(Perjudian), Qanun Propinsi NAD No. 14/2003 tentang Khalwat (Mesum), Qanun
Propinsi NAD No. 7/2004 tentang Zakat dan pada tahun 2006 Pemerintah Pusat
menetapkan Undang-Undang Nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh untuk menguatkan
apa yang telah dicapai oleh Pemerintahan Daerah Aceh.
Dalam
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006
tentang pemberlakuan Syariat Islam. Pada bab XVII Syariat Islam dan
Pelaksanaannya, pasal 125 ayat (1) Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh
meliputi aqidah, syariat dan akhlak. Pasal 126 ayat (1) menyatakan bahwa setiap
pemeluk agama Islam di Aceh wajib
mentaati dan menjalankan syariat Islam dan ayat (2) berbunyi “Setiap
orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan
syariat Islam.
Pada bab
XVIII undang-undang tersebut tentang Mahkamah Sayariah, dalam pasal 128
membicarakan tentang Pengadilan Syariat Islam di Aceh adalah bagian dari sistem
dari Peradilan Nasional dan bab XIX membicarakan kedudukan Majelis
Pemusyawaratan Ulama yang bertugas memberi fatwa terhadap persoalan
pemerintahan, pembangunan, pembianaan masyarakat dan ekonomi serta memberi
arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan.
Selama
pelaksanaan syariat Islam di NAD disamping melahirkan beberapa dampak positif,
namun bukan tanpa ekses dan kekerasan. Pelaksanaan yang melahirkan ekses
kekerasan merupakan hal yang wajar dalam setiap pelaksanaan aturan yang baru.
Jangankan Perda yang baru berumur setahun jagung, hukum-hukum yang ada di
Indonesia saja sering kali dalam pelaksanaan mengalami bias.
Sumatra Barat. Sebelum DPRD Provinsi Sumatra Barat mengesahkan
Perda No. 7/2007 tentang Pendidikan Al-Quran yang mewajibkan siswa sekolah
dasar dan menengah serta calon pengantin beragama Islam pandai membaca
Al-Quran, tujuh kabupaten dan kota di provinsi itu juga sudah memiliki perda
yang sama.
Perda
seperti ini pertama kali diberlakukan di Kabupaten Solok. Perda ini ditetapkan
oleh Bupati Gamawan Fauzi (sekarang Gubernur Sumatra Barat) pada 27 September
2001 dengan nama “Peraturan Daerah tentang Pandai Baca Al-Quran bagi Murid SD,
Siswa SLTP dan SLTA, serta Calon Pengantin”. Bagi siswa yang tak mampu atau
tidak memiliki sertifikat diberi sanksi tidak bisa diterima di jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Kecuali bersama orang tua berjanji mengikuti
program khusus belajar membaca Al-Quran yang diadakan di sekolah atau lembaga
pendidikan Al-Quran di luar sekolah. Sedangkan pasangan menikah bila tidak
mampu ditangguhkan nikahnya sampai keduanya pandai membaca Al-Quran.
Perda
seperti ini kemudian juga disahkan pada 2003 di Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung,
Kabupaten Pasaman, Kota Padang (khusus untuk siswa SD-sederajat), dan Kabupaten
Limapuluh Kota. Kemudian di Kabupaten Pesisir Selatan pada 2004, di Kabupaten
Agam pada 2005.
Menurut Gumawan Fauzi (Gubernur Sumatra Barat),
Perda-Perda berbasis syariat tersebut adalah sesuatu yang lumrah, apabila
daerah yang bersangkutan menilai keberadaannya sebagai suatu kebutuhan. semestinya disambut positif saja. Sebab, kata Gamawan,
aturan tersebut telah dibuat didasarkan pada kebiasaan masyarakat dengan
melihat fenomena kehidupan sosial yang terjadi di masyarakat.
“Seperti Perda Baca Tulis Al-quran. Hal ini memang telah menjadi
kebutuhan karena memang orang Islam di Minang wajib pandai baca tulis
Al-quran”. Bagi Sumbar, kultur masyarakatnya jelas mengacu pada
Islam sebagaimana tertuang dalam filosofis Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah
(ABS SBK).
Kota Tangerang. Perda Bernuansa Syariat Islam adalah Perda nomor
8 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Penetapan Perda ini dilatar
belakangi keprihatinan masyarakat terhadap makin maraknya pelacuran di berbagai
sudut kota Tangerang yang mengganggu ketertiban umum yang seharusnya dijaga sebagaimana
terdapat dalam Perda Tangerang nomor 18 tahun 2000.
Kehadiran
Perda ini juga atas pertimbangan bahwa pelacuran merupakan suatu perbuatan yang
bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan yang berdampak negatif terhadap
sendi-sendi kehidupan masyarakat serta dalam upaya melestarikan nilai-nilai
luhur budaya masyarakat yang tertib dan dinamis.
Melihat Perda
ini tidak satupun kata Islam yang muncul di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa
Perda tentang Pelarang Pelacuran bukan perda ajaran Islam, tapi perda semua
agama karena semua agama melarang adanya praktek pelacuran, walaupun dalam
penyampaian pandangan fraksi di DPRD ada fraksi yang menggunakan ayat-ayat Al
Quran sebagai dasar atau dalil argumennya.
Kemudian
para pengkritik ataupun penentang Perda tersebut mempergunakan momen-momen
kesalahan pelaksanaannya dan menimpakannya kepada syariat Islam. Kemudian
peristiwa-peristiwa dibesarkan-besarkan di media, seolah-olah itu adalah
kesalahan syariat Islam.
Bulukumba. Perda Bernuansa Syariat Islam yang telah
diberlaku di Bulukumba adalah 1) Perda Kab. Bulukumba No. 03 tahun 2002 tentang
Larangan, Pengawasan, Penertiban Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol; 2)
Perda Kab. Bulukumba No. 02 tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infak
dan Sadqah dalam Kab. Bulukumba ; 3) Perda Kab. Bulukumba No. 05 tahun 2003
tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kab. Bulukumba ; dan 4) Perda Kab.
Bulukumba No. 06 tahun 2006 tentang Pandai Baca Al Quran Bagi Siswa dan Calon
Penganten Dalam Perda Kab. Bulukumba.
Ditetapkan
dan diterapkannya Perda Kab. Bulukumba No. 03 tahun 2002 tentang Larangan,
Pengawasan, Penertiban Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol atas
petimbangan semakin meluasnya peredaran minuman beralkohol di daerah ini yang
mengakibatkan terganggunya ketertiban dan ketentraman masyarakat oleh
pemakainya, sehingga untuk melindungi masyarakat dibutuhkan sebuah peraturan.
Ditetapkan
dan diterapkannya Perda Kab. Bulukumba No. 02 tahun 2003 tentang Pengelolaan
Zakat Profesi, Infak dan Sadaqah dalam Kab. Bulukumba berdasarkan pertimbangan
bahwa zakat profesi, infak dan sadaqah merupakan potensi yang dapat digunakan
sebagai modal untuk pembangunan dan kemaslahat masyarakat, sehingga pengelolaannya
perlu diatur.
Ditetapkan
dan diterapkannya Perda Kab. Bulukumba No. 05 tahun 2003 tentang Berpakaian
Muslim dan Muslimah di Kab. Bulukumba berdasarkan atas pertimbangan bahwa
menutup aurat adalah suatu kewajiban bagi muslim yang harus tercermin dalam
kehidupan sehari-hari dan untuk terwujudnya suasana kehidupan yang
menggambarkan keimanan dan ketaqwaan masyarakat, sehingga berpakaian perlu
diatur.
Ditetapkan
dan diterapkannya Perda Kab. Bulukumba No. 06 tahun 2003 tentang Pandai Baca Al
Quran Bagi Siswa dan Calon Penganten Dalam Perda Kab. Bulukumba berdasarkan
pertimbangan terwujudnya tujuan pendidikan Nasional dengan menanamkan
nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan bagi generasi muda dan masyarkat pada umumnya.
Lahir
Perda tersebut bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Keberadaan Islam (tentu
dengan syariat) di Bulukumba/Makasar/Sulawesi Selatan sudah sangat lama.
Masyarakat Islam di daerah ini cukup fanatik dengan agamanya, mungkin sedikit
di bawah Aceh. Jadi syariat Islam telah mengakar di masyarakat, walau dengan
pengertian yang tidak utuh dan sempurna. Paling tidak semangat keberislaman
sudah hidup dan menyala pada masyarakat
di daerah tersebut.
Maraknya
peraturan-peraturan di daerah yang mengatur pelacuran, perjudian, minuman
keras, aturan berpakaian, dan pembuatan papan nama Arab Melayu di beberapa
daerah, seperti Aceh, Bulukumba, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Indramayu,
Lombok, Tangerang dan daerah lainnya merupakan fenomena baru setelah berbagai
kelompok Islam kesulitan memberlakuan syariat Islam ke dalam hukum nasional.
Bentuk
perangkat hukum yang digunakan mulai dari Surat Edaran Bupati, Instruksi
Walikota, Surat Gubernur hingga Perda. Perda Bernuansa Syariat Islam merupakan
upaya yang dilakukan oleh sejumlah kelompok Islam untuk mempengaruhi kebijakan
pemerintah daerah agar melakukan Islamisasi produk hukum di level yang paling
bawah.
E. PRO DAN KONTRA KEBERADAAN PERDA
BERNUANSA SYARIAT ISLAM DI INDONESIA
Akhir-akhir ini sering terdengar pro-kontra
tentang pemberlakuan Perda Bernuansa Syariat Islam di beberapa kabupaten di
Indonesia. Pro-kontra yang muncul sangat beragam sesuai dengan
kepentingan dan cara berpikir masing-masing pihak tersebut. Mulai dari
‘pembenaran’ tentang hukum Islam, kedudukan hukum Perda, sampai dengan rasa
pesimis maupun optimis akan keberhasilan Perda tersebut. Beragam kepentingan
dan beragam pola pandang yang kemudian berujung pada perdebatan tiada henti dan
tidak menyelesaikan masalah.
Polemik tentang Perda Bernuansa Syariat Islam selama ini lebih banyak berkutat
pada debat analisis materi Perda. Bagi yang pro, teks perda yang demikian
diyakini sejalan dengan kebutuhan regulasi lokal dan kehendak masyarakat
setempat. Bagi yang kontra, isi perda macam itu dicemaskan melanggar hak-hak
dasar warga, memperkeruh toleransi antar-agama, bahkan lebih jauh, mengancam
keutuhan negara-bangsa.
Penolakan terhadap Perda Bernuansa
Syariat Islam juga timbul karena perbedaan pengertian tentang syariat Islam.
Bagi sebagian orang syariat adalah pemahaman terhadap syariat disebut dengan
istilah fikih. Syariat dari Tuhan bersifat pasti, sedangkan fikih seutuhnya
dari manusia dan bersifat relatif. Syariat tidak pernah salah, sedangkan fikih
seringkali salah kaprah, atau bahkan salah sama sekali. Setiap orang mempunyai
pemahaman tentang syariat, sehingga tak berlebihan bila dikatakan, setiap
muslim mempunyai fikihnya sendiri terhadap ajaran syariat. Oleh karenanya,
perbedaan, pluralitas pemahaman, atau bahkan debat terbuka, adalah hal yang
lumrah dalam dunia fikih. Dari sisi ini
kemudian menimbulkan pertanyaan fikih mana yang akan dipakai?
Perda Bernuansa Syariat Islam adalah
sesuatu yang terkait dengan kekiniannya, tapi memakai fikih hasil pemikir di
masa lalu. Padahal, kebutuhan dan kemaslahatan yang ada saat ini jauh berbeda
dengan kebutuhan dan kemaslahatan di masa lalu. Masa sekarang membutuhkan
“fikih kita”, bukan “fikih mereka”. Jadi sesuatu yang dipaksakan.
Bagi kalangan diluar
Islam atau orang Islam yang tidak senang dengan Islam timbul ketakutan bahwa penerapan
Perda Bernuansa Syariat Islam berujung
pada gagasan negara Islam dan penghalang terhadap kebebasan yang selama ini
sudah dinikmati, sehingga menolak kehadiran dan penerapan Perda berbasis syariat.
Ketakutan atau fobia terhadap perberlakuan
syariat Islam adalah yang dibesar-besarkan. Syariat Islam sama sekali tidak
bertujuan untuk menganiaya manusia, bahkan binatang dan lingkungan pun tidak
boleh di rusak. Karena itu merasa takut terhadap syariat Islam, apalagi
memusuhinya adalah sikap dan tindakan yang tidak beralasan. Prof. Rofiq Anwar (Rektor UNISSULA Semarang)
dalam menyampaikan makalahnya menantang para peserta “Semiloka Manajemen
Kampus Islami” dengan pertanyaan, ”Sudahkah anda yakin terhadap
Islam, tanpa keraguan sedikitpun”? Bila saudara telah yakin, maka amalkan
dengan baik ajaran Islam tersebut.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Moh
Ma’ruf menegaskan kepada pihak tertentu untuk tidak apriori dengan
pemberlakuan peraturan daerah (perda) syariat yang mulai mengemuka di beberapa
wilayah, karena itu juga merupakan suatu rujukan bagi pelayan publik di
negara Indonesia. Apalagi keinginan untuk memberlakukan perda syariat akan
tetap diakomodasi sebagai wujud dari negara kesatuan dan persatuan. "Perda
harus tetap memayungi dan mengedepankan rasa persatuan dan kesatuan,"
ujarnya.
Berdasarkan hasil penelitian di
beberapa daerah memperlihatkan respon yang positif dari masyarakat setempat
terhadap pemberlakuan Perda Bernuansa Syariat Islam, seperti :
1. Hasil penelitian Center for
the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah, Jakarta terhadap pandangan masyarakat terhadap Perda
Bernuansa Syariat Islam yang dilakukan pada tahun 2006 di enam daerah, mulai
Kabupaten Bireun (Aceh), Kota Tangerang (Banten), Indramayu (Jawa Barat),
Tasikmalaya (Jawa Barat), Bulukumba (Sulawesi Selatan), sampai Bima (Nusa
Tenggara Barat) menunjukkan bahwa dukungan pada pemberlakuan berbagai jenis
sanksi pidana Islam amat tinggi. Riset itu juga memberi catatan penting bagi
para penggiat keadilan gender. Sejumlah materi perda yang banyak dikritik
aktivis gender selama ini
ternyata mendapat sambutan sebaliknya lebih dari separuh responden. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pandangan masyarakat terhadap Perda Bernuansa
Syariat Islam adalah positif.
2. Hasil penelitian Irham Nur
terhadap aplikasi syariat Islam di kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan
memperlihatkan bahwa dari 597 responden yang dimintai pendapat tentang
pemberlakuan Perda pengaturan perdaran minuman beralkohol sebagai besarnya
menyatakan sangat setuju. Kalau responden ini dapat mewakili masyarakat
Bulukumba, maka sebagian besar masyarakat daerah tersebut sangat mendukung
diberlakukannya Perda tersebut. Demikian juga halnya dengan pemberlakuan Perda
tentang baca tulis Al Quran dan berpakaian muslim[1] mendapat tanggapan yang
posif dari masyarakat setempat.
Hasil penelitian yang diperoleh oleh
Irham Nur memperkuat hasil penelitian Center for the Study of Religion and
Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah karena
Bulukumba juga termasuk salah satu dari 6 daerah yang mereka teliti. Agak
sedikit berlebihan juga untuk mengatakan bahwa 6 daerah dapat mewakili
daerah-daerah lain yang telah memberlakukan Perda Bernuansa Syariat Islam di
nusantara ini, namun kalau dapat dikatakan demikian maka masyarakat di
daerah-daerah tersebut dengan kata Perda yang diterbitkan adalah benar
merupakan keinginan rakyat yang disalurkan melewati DPRD dan Pemerintahan
Derahnya.
F. PENUTUP
Sebenarnya
sebagai seorang muslim dimanapun dia berada dan berapapun kecil kadar imannya
pasti ingin menjadi seorang muslim yang baik, muslim yang mampu menjalan
syariat agama secara sesuai dengan kesanggupannya. Hanya saja karena dirinya
tidak terlepas dari pengaruh luar yang antara berupa pendidikan, lingkungan,
sarana dan prasarana serta perhatian, maka keinginan untuk menjadi muslim yang kaffah
tidak terwujud.
Perda Bernuansa
Syariat Islam hendaklah memperhatikan hal tersebut di atas sehingga
keberadaannya lebih kepada memfasilitasi dan menciptakan lingkungan yang
kondusif untuk menjalankan aturan tersebut. Para penegak aturan harus
menyelenggara pendidikan, sosialisasi dan memberi waktu yang cukup kepada
masyarakat untuk dapat masuk pada kondisi itu.
Bagi masyarakat
muslim, ada keuntungannya menjalankan Perda Bernuansa Syariat Islam dari Perda
biasa, yaitu Perda Bernuansa Syariat Islam mempunyai nilai spritual di samping hubungan
antar manusia saja. Kepatuhannya menjalankan aturan tidak saja bersifat
horizontal tapi sekaligus bersifat vertikal. Hal ini secara psikologis akan
lebih mudah menjalaninya.
Kalaupun ada
penolakkan terhadap Perda tersebut, hal itu dilakukan oleh beberapa orang dari
kalangan politikus, ilmuwan dan agamawan baik muslim maupun non muslim yang
sesungguhnya mereka berada jauh dari tempat/daerah diberlakukannya Perda
Bernuansa Syariat Islam tersebut. Agak aneh memang, tapi karena suara mereka
didengar oleh banyak, maka gaungnya menjadi besar.
Penolakan tersebut
dapat disebab berbagai hal, boleh jadi karena mereka alergi dengan Islam ;
takut Islam akan membumi di tanah air ini ; menyampaikan pesan sponsor atau
ketakutan tidak beralasan. Penolakan paling sering dikaitkan dengan pelanggaran
hak azazi manusia (HAM) yang berlaku secara internasional. HAM dari sisi siapa?
Amerika atau Eropa. Amerika sebagai juragan HAM, kenapa tidak ada sangsi ketika
dia menyerang Aganistan, Irak dan berbagai negara di dunia yang tidak hanya
telah melanggar HAM tapi juga sudah tidak menghormati kedaulatan suatu bangsa.
Memang
bagi sebagian masyarakat pemberlakuan syariat Islam masih sebatas semangat
legalisme, berlaku karena adanya sebab yang lain, belum sampai kepada berlaku
dengan sendirinya. Artinya, pemberlakuan
syariat Islam harus melalui upaya legislasi, baik di tingkat DPRD maupun DPR, bukan lagi seperti pada zaman
Rasulullah Saw, syariat Islam berlaku dengan sendirinya tanpa memerlukan
kebijakan negara. Hal ini tentu terkait dengan pengetahuan keislamannya dan
keyakinan terhadap pesan apa yang telah disampaikan oleh syariat itu.
Perda Bernuansa Syariat Islam yang ada kebanyakkan
baru sebatas mengatur pelacuran, minuman
keras, pemakaian busana muslim/muslimah, shalat Jama’ah, baca al-Qur’an, zakat,
larangan keluar malam bagi perempuan, dll. Aturan-aturan tersebut yang belum
mengatur soal substansi kehidupan bernegara. Belum ada satu pun Perda Syariat
yang mengatur tentang tindak korupsi, penindasan, dan ketidakadilan penguasa, sehingga
sebagian orang menilai bahwa keluarnya Bernuansa Syariat Islam adalah kepentingan politik penguasa daerah
(Bupati/Gubernur).
Beberapa hasil
penelitian, ternyata masyarakat di daerah tempat berlakunya Perda Bernuansa
Syariat Islam sangat mendukung pelaksanaannya. Hal menunjukkan bahwa Pemda
dalam membuat aturan betul-betul merupakan bentuk dari aspirasi bersama antara
pemerintah dan masyarakyat atau paling tidak Perda tersebut tidak bertentangan
dengan keinginan masyarakyat setempat. Persoalan yang kemudian terjadi/timbul
dalam pelaksanaan itu merupakan sesuatu yang lumrah. Berarti yang salah itu bukan perdanya, tetapi
adalah pelaksananya.
1.
Kesimpulan
Dari tulisan di atas dapat di simpulkan:
a.
Syariat Islam telah dijalankan secara kedaerahan
di bumi Indionesia semenjak lama.
b. Syariat Islam yang dijalankan adalah syariat
menurut pengertian masyarakat Indonesia dalam kurun waktu yang sama dan sesuai
dengan daerahnya.
c. Lahirnya Perda Bernuansa Syariat Islam sesuai dengan keinginan serta pengertian Pemda
dan masyarakat tempat Perda tersebut lahir.
d.
Perda Bernuansa Syariat Islam tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan negara Republik Indonesia.
e.
Perda Bernuansa Syariat Islam suatu daerah tidak sama dengan Perda
Bernuansa Syariat Islam daerah yang lain.
f.
Materi dari Perda Bernuansa Syariat Islam yang ada kecuali Aceh, belum menyangkut
hal-hal yang substansi dalam kehidupan masyarakat.
g.
Perda Bernuansa Syariat Islam yang ada masih ditemui
kekurangan-kekurangannya baik dalam materi atau pelaksanaannya.
2.
Saran
a. Evaluasi dan perbaikan terhadap Perda Bernuansa Syariat Islam yang telah dijalankan harus
dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan.
b.
Perda Bernuansa Syariat Islam harus didukung semua pihak terutama ulama
dalam sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat.
c. Perlu dikaji Perda-Perda Bernuansa Syariat Islam yang materinya menyangkut
hal-hal lebih substansi.
[1] Dari
590 reponden yang dimintai tanggapan berkaitan dengan pemberlakuan Perda
tentang berpakaian muslim, maka
sangat setuju 73%, setuju 23%, tidak
setuju 3% dan sangat tidak setuju 1% terhadap aturan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asymawi, Muhammad Sa’id, Problematika dan Penerapan
Syariat Islam, Bandung: Alifya, 2004
Azra, Azyumardi dan Salim, M. Arskal, “Negara
dan Syariat dalam Perspektif Politik
Hukum Indonesia” dalam Burhanudin (ed.), Syariat Islam Pandangan Muslim
Liberal, (Jakarta: JIL, 2003)
Cahyawati, Dwi Putri dkk, Susunan Dalam Satu
Naskah UUD 1945 : berdasarkan amandemen pertama dan kedua, Jakarta : Roda
Inti Media, 2000,
Halim, Abdul, Politik Hukum di Indonesia, Ciputat
: Ciputat Press, 2005.
Hartono dan Aziz, Arnicun, Ilmu
Sosial Dasar, Jakarta : Bumi Aksara, 1993.
Hutabarat, Ramly, Kedudukan Hukum
Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan
Hukum Nasional, Universitas Indonesia, Jakarta : 2005.
Muhammad, Rusjdi Ali, Revitalisasi Syariat Islam
di Aceh : Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam,
Jakarta : Logos, 2003.
Sumitro, Warkum, Perkembangan Hukum Islam di
Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia.
Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan
Perundang-Undangan Tentang Pemerintahan Aceh, Bandung, Fokusmedia, 2006.
Toha, Miftah, Birokrasi Politik di Indonesia,
Jakarta : RajaGrafindi Persada, 2003.
Umari, Akram Dhiyauddin, Masyarakat Madani : Tinjauan Historis
Kehidupan Zaman Nabi, Jakarta : Gema Insani, 1999.
Widjaja, HAW, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom,
Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002.
Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta : Bumi Aksara, 2006.
Mitchell, Richard Paul, Masyarakat Al-Ikhwan Al-Muslimun : Gerakan
Dakwah Al-Ikhwan di Mata Cendekiawan Barat, Surakarta : Era Intermedia,
2005
Arizona, Yance, Disparitas Pengujian Peraturan Daerah: Suatu Tinjauan Normatif, http:// samandiri.org. Apr 11, 2008
Asrori S. Karni, Perda Syariah: Kebijakan Daerah Bernuansa Syariah, http://www.csrc.or.id
Jambak, Doni F., Legalitas Perda Syariah, http : //www.padangekspres.co.id, Waldemar & Partners Law Firm, hlm.1
Mulia, Siti Musdah, Perda Syariat Dan Peminggiran
Perempuan, http://jarikjogja. wordpress.com, 2008.1
Perda Syariat, Masyarakat Diminta Tidak Apriori, http://www.indonesia.go.id
Sambutan Gubernur Sumbar pada peringatan Nuzul
Quran, dodi/www.hidayatullah.com
Telaah Kritis Paradigma
Masyarakat Madani Prespektif Islam, www.angelfire.com
Zulkieflimansyah, Mengaitkan Islam dan Negara: bukan perkara mudah
http://www. zulkieflimansyah.com, 2008.
M.
Hasibullah Satrawi, Membendung Perda Syariat, www.jawapos. com
Lembaran
Daerah Kab. Bulukumba, tahun 2002 dan 2003
Lembaran Daerah Kab. Bulukumba, tahun 2002 No. 3 Seri C No. 01
Lembaran Daerah Kab. Bulukumba, tahun 2003 No. 3 Seri C No. 02
Lembaran Daerah Kab. Bulukumba, tahun 2003 No. 5 Seri C No. 03
Lembaran Daerah Kab. Bulukumba, tahun 2003 No. 6 Seri C No. 04
Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pelarang
Pelacuran.
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3
Tahun 2000 tentang Pembentukan
Organisasi Dan Tata Kerja Majelis Permusyawatan Ulama (MPU) Propinsi Daerah
Istimewa Aceh.
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom Presiden Republik Indonesia.
Nur, Irham, Aplikasi Syariat Islam Di Kabupaten Bulukumba Sulawesi
Selatan : Studi Analisis Terhadap Peraturan Dearah Tentang Pengelolaan Zakat,
Minuman Keras, Wajib Baca Al Quran Dan Busana Muslim, Tesis, Jakarta : Pascasarjana
UMJ, 2008
Puailiggoubat, Sejarah Peraturan Daerah Pendidikan Al-Quran di Sumatera Barat, Sabtu 24 Februari 2007
Tim Peneliti FAI, Summary Hasil Penelitian Studi
Evaluasi Kebijakan Perda no. 8 tahun 2005, hlm. 7
Mahendra, Yusril Ihza, Hukum Islam dan
Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional Indonesia : makalah seminar, Jakarta :
UIN, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar