Rabu, 10 September 2014

DINAMIKA MADRASAH DI INDONESIA



DINAMIKA MADRASAH DI INDONESIA
Drs. Sumardi, MA

A.    PENDAHULUAN
 Tiada suatu kemajuan atau peningkatan hidup dalam peradaban dan kebudayaan tanpa adanya kemajuan atau peningkatan dalam usaha pendidikan. Sejarah panjang peradaban manusia telah menjadi bukti bahwa antara peradaban atau kebudaya dengan dunia pendidikan saling pengaruhi mempengaruhi.
Dalam Islam menuntut ilmu bukan menjadi tujuan tetapi untuk mengenal Allah dan diamalkan atau sebagai pedoman dalam beramal. Ilmu berfungsi sebagai burhan dan hudan dalam kehidupan juga sebagai penuntun dalam mencapai tujuan, tetapi ilmu tidak ada manfaatnya kalau tidak berbuah pengamalan dan sikap lebih baik.
Semua hal tersebut di atas menjadi penyebab utama yang mendorong tumbuhnya dan berkembangnya proses pengajaran dan pendidikan dalam Islam. Jadi tidaklah mengherankan jika lembaga pendidikan Islam telah tumbuh semenjak kelahiran Islam dan berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman dan situasi tempat keberadaannya. Kehadiran Madrasah kemudian adalah untuk menjawab tantangan dan memenuhi kebutuhan  sesuai keadaan sebagai bentuk pengembangan dan pembaharuan dari sistem pendidikan Islam klasik.
Keberadaan pendidikan Islam di Indonesiapun sangat dipengaruhi oleh semangat tersebut. Dinamika perjalanan panjang pendidikan Islam di Indonesia, mulai dari awal seiring dengan keberadaan Islam di Indonesia sampai kepada menjadi madrasah sangat dipengaruhi berbagai aspek kehidupan bermasyarakat ataupun bernegara.
Dalam keadaan dekadensi moral anak  seperti saat ini, seharusnya madrasah menjadi semakin penting keberadaanya serta perlu mendapatkan perhatian khusus dan dikembangkan dengan memberikan porsi yang seimbang antara masing-masing bidang studi sesuai dengan kebutuhan, sehingga tercipta manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun bagi sebagian besar masyarakat kita madrasah hanyalah sekolah kelas dua, kalau tidak lebih dibawah lagi, walaupun belakangan sudah ada perhatian lebih dari pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas. Makalah ini mencoba untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan Madrasah di Indonesia pada awal abad 20 yang menghadapi banyak tantangan diantaranya :
1.       Keterbelakang masyarakat Islam Indonesia, baik dalam pendidikan dan ekonomi.
2.      Perjuangan menghadapi penjajahan Belanda.
3.      Penolakan masyarakat yang belum dapat menerima perubahan.
B.    PENGERTIAN MADRASAH
Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata "darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah". Dalam Shorter Encyclopedia of Islam, madrasah adalah ”Name of an institution where the Islamic siences are studied.
Di Indonesia, madrasah tetap dipakai dengan kata aslinya madrasah, kendatipun pengertiannya tidak lagi persis dengan apa yang dipahami di negeri asalnya (Arab), yaitu sekolah, tetapi ditujukan untuk sekolah yang mata pelajaran dasarnya adalah mata pelajaran agama Islam.
Sungguhpun secara teknis, yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini agama Islam) lebih mendalam dari sekolah.
Menurut Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Tahun 1975, pengertian madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-sekurangnya 30% di samping mata pelajaran umum.
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah 28 dan 29 Tahun 1990 serta Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Pengajaran No. 0489/U/1992 dan Surat Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun 1993,  madrasah adalah sekolah yang berciri khas Islam.
Dalam masyarakat Indonesia secara umum pengertian madrasah adalah sekolah agama yang di dalamnya juga dipelajari ilmu-ilmu umum. Jadi bila disebut madrasah maka dipahami bahwa di sekolah tersebut diajarkan mata pelajaran agama Islam lebih banyak dari sekolah umum.
Pada awalnya madrasah adalah pengembangan sistem pendidikan dari masjid ke masjid yang mempelajari fiqih tertentu. Besarnya minat belajar umat Islam membuat mesjid-mesjid penuh dengan kelompok-kelompok belajar, sehingga membutuh tempat baru yang memadai untuk itu. Madrasah di Indonesia adalah pembaharuan pendidikan Islam Indonesia dari pendidikan tradisional seperti surau, pesantren dan lainnya ke sekolah dengan sistem klasikal, administrasi lebih tertata, dan penjenjangannya. Madrasah awal di Indonesia merupakan perpaduan sistem pendidikan sekolah (Barat) dengan sistem pendidikan tradisional Islam Indonesia.
Pada saat sekarang perbedaan yang mendasar antara madrasah dan sekolah adalah bobot mata pelajaran agama Islam pada kurikulum pendidikan madrasah lebih banyak dari bobot mata pelajaran agama Islam pada kurikulum pendidikan sekolah umum. 
C.    Lahir Madrasah di Nusantara
1.   Faktor-Faktor yang Mendorong Lahirnya Madrasah
Kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada awalnya bermaksud berdagang dengan saudagar-saudagar dari Nusantara, tetapi demi memenuhi kepentingan dan melihat kesempatan yang ada secara berangsur-angsur tapi pasti Belanda mulai menancapkan kukunya di Indonesia, mengatur kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia dan menjajahnya.
Pemerintah Belanda tidak hanya mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, tetapi juga menekan kehidupan politik dan kehidupan keagamaan rakyat. Setiap jamaah haji yang pulang ke Indonesia diawasi dengan ketat untuk mengantispasi para hujaj akan membangkit semangat perlawanan terhadap pemerintahan Belanda.
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sikap pemerintah Belanda tersebut membuat mereka gelisah, terutama para ulama dan santrinya sehingga menimbulkan perlawanan bersenjata walaupun masih bersifat kedaerahan. Perlawanan kedaerahan tersebut tidak membuat Belanda lari dari kawasan Indonesia, tetapi malah memperkuat posisinya dengan menguasai seluruh tanah air secara berangsur-angsur.
Dunia pendidikan di Indonesia tidak luput dari campur tangan dan tekanan Belanda. Bentuk campur tangan dan tekanan yang dilakukan adalah dengan menyelenggarakan pendidikan model barat dengan kesempatan sangat terbatas bagi pribumi, pembatasan ruang gerak guru-guru pelajaran agama Islam  dan mengabaikan hasil didikan lembaga pendidikan Islam yang ada pada waktu itu. Lulusan/keluaran lembaga pendidikan Islam masih dianggap buta huruf yang tentu saja tidak bisa menjadi pegawai dan dicurigai sebagai orang-orang cenderung akan melawan kepada perintahan Belanda.
Pendidikan kolonial sangat berbeda dengan sistem pendidikan tradisional Islam, bukan saja metode, tapi juga dari segi isi dan tujuan. Pendidikanya hanya mengajarkan pengetahuan dan keterampilan duniawi. Sedangkan pendidikan tradisional Islam hanya di bidang agama  dalam pengertian sempit.
Sebenarnya tujuan pemerintah Belanda menyelenggarakan pendidikan rakyat bukan untuk mencerdaskan rakyat di daerah jajahannya, tapi lebih cendrung untuk memperkuat posisinya di Nusantara ini. Melalui pendidikan ini diharapkan dapat menanamkan ide-ide penjajahan agar tidak menimbulkan perlawanan terhadap Belanda. Juga diharap menghasilkan tenaga yang dapat dipekerjakan pemerintah Belanda dengan upah yang kecil.
Apa yang mereka/Belanda sebut pembaharuan kebijakan pendidikan adalah westernisasi dari kristenisasi yakni untuk keuntungan Barat atau Belanda dan Nasrani. Dua motif ini yang mewarnai kegiatan penjajah Barat di Indonesia selama lebih kurang 3,5 abad.
Suatu hal di luar kewajaran, bila bangsa Belanda yang menjajah bangsa Indonesia dan ingin melanggengkan penjajahannya serta mengambil keuntungan besar dari bangsa yang dijajahnya, kemudian mengadakan pendidikan untuk kepentingan bangsa yang dijajahnya, walaupun dikemudian hari ada juga pendidikan yang dilaksanakan Belanda untuk kepentingan bangsa Indonesia, tapi itu dilakukan untuk memenuhi tekanan dan kritikan dari berbagai pihak termasuk orang-orang Belanda sendiri.
Sementara itu pendidikan tradisional Islam Indonesia melalui pesantren dan surau agaknya identik dengan pengajian kitab-kitab ahli mazhab tertentu dan mengabaikan pembelajaran Al-Quran dan Hadist. Lebih dari itu bidang-bidang studi non keagamaan (memang tidak tersedia dalam kitab-klasik)  tidak diajarkan sama sekali.
Eksistensi pendidikan tradisional Islam di Nusantara ditantang oleh kehadiran lembaga-lembaga pendidikan Barat yang sekuler. Respon awal tantangan ini lebih bersifat isolatif, dimana pendidikan Islam lebih mengasingkan diri dari pengaruh pendidikan modern, kecuali beberapa daerah khususnya Minangkabau karena  pembaharuan Islam telah mulai awal abad ke 19.
Tumbuh dan berkembangnya madrasah di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan tumbuh dan berkembangnya ide-ide pembaharuan pemikiran para ulama  dari beberapa daerah di Indonesia.  Sejarah juga mencatat bahwa orang-orang Indonesia yang mengenyam sekolah Belanda mengenal model pendidikan Barat yang berbentuk klasikal dan mata pelajaran ilmu pengetahuan umum melahirkan intelektual baru  khususnya dalam bidang pendidikan.
Faktor-faktor yang mendorong timbulnya ide-ide pembaharuan tersebut adalah :
a.      Mencontoh ide berkembangannya keinginan umat Islam di Timur Tengah dalam ajaran agama untuk kembali kepada Al Quran dan As Sunnah.
b.      Sebagai sikap perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda.
c.       Adanya usaha yang kuat dari orang-orang Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial dan ekonomi baik untuk kepentingan kelompok mereka maupun masyarakat.
d.      Pembaruan pendidikan Islam.
Dari sudut pandang ide, gerakan pembaharuan Indonesia secara umum agaknya dipengaruhi oleh tokoh pembaharu Timur Tengah baik  secara lansung ataupun tidak, khususnya dari tokoh Jamaludin al Afgani dan Muhammad Abduh. Walau mereka anti Barat yang menjajah negara-negara Islam, tetapi mereka menganjurkan untuk mempelajari ilmu pengetahuan sebagaimana yang dipelajari Barat.
Keberangkatan para ulama yang sekaligus adalah para pendidik tradisional Islam Indonesia menunaikan ibadah haji dan belajar di Mekah, menyebabkan mereka bersentuhan dengan pemikiran dan perjuangan yang sedang berkembangan di Timur Tengah memberi pengalaman tersendiri bagi mereka serta memberi pemahaman dan pandangan baru terhadap Islam umumnya dan pendidikan khususnya.
Khususnya faktor pendorong dari pembaruan pendidikan Islam tidak sepenuh dapat dikatakan seperti alasan tersebut di atas, karena keduanya dapat saling pengaruh mempengaruhi dengan kata lain timbul pembaruan pendidikan Islam di Indonesia dipengaruhi oleh adanya pembaharuan pemikiran para tokoh-tokoh pendidikan pada masa itu.
Sikap perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda bukanlah hal yang baru di bumi pertiwi ini, cuma dalam bentuk lain. Dapat diduga bahwa belajar dari kegagalan perjuangan para ulama dan para pahlawan terdahulu, pada awal abad 20 puluhan timbul kesadaran para ulama dan cerdik pandai, bahwa perlu bentuk dan cara baru untuk memberikan perlawanan, tidak hanya melalui kekuatan pisik.
Beberbekal dari pengalaman perjuangan negara Timur Tengah yang didapat ketika menunaikan haji dan/atau belajar di Mekah dan sekitarnya, sepulangnya ke tanah air para ulama menyelengarakan pendidikan baru dengan memadukan sistem pendidikan Islam tradional (masjid, surau dan pesantren) dengan sistem pendidikan barat yang mempergunakan klasikal, papan tulis. Kurikulumnya juga mengalami perubahan,  semula khusus belajar ilmu agama kemudian ditambah dengan ilmu-ilmu umum seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah Belanda.
2.  Lahirnya Madrasah di Beberapa Daerah di Indonesia
Berbicara mengenai pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam (madrasah) di Indonesia, maka mau tak mau harus menelusuri muncul dan berkembangannya pendidikan  Islam Nusantara pada akhir abad 19 sampai pertengahan abad 20. Walaupun masing-masing daerah mempunyai ciri dan tokoh-tokohnya dengan karakter masing-masing, tapi secara umum ada beberapa hal yang bersamaan, yaitu keinginan untuk memajukan kehidupan rakyat, sebagai perlawanan kepada pemerintahan Belanda dan sebagai penghadang proses kristenisasi atau paling tidak sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pendidikan yang dilaksanakan Belanda.
a.  Lahirnya Madrasah di Minangkabau
Pada pertengahan abad ke 19  Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah rakyat (terbatas) di Sumatra Barat. Hasil sekolah ini menghasilkan kelompok baru di tengah masyarakat, yakni kelompok cerdik pandai. Kebanyakan mereka bekerja pada Belanda, sesuai dengan tujuan pendirian sekolah tersebut. Bagi Belanda mereka tidak lebih dari sekedar memantapkan pemerintahan Belanda dan memperkuat kedudukannya.
Sementara itu ada golongan yang tidak bersedia bekerja sama dengan Belanda dan menentang kekuasaan Belanda. Mereka ini biasa berasal dari keturunan Ulama yang juga belajar agama secara intesif di Surau dan juga mengenyam pendidikan Belanda. Pernyataan ini dapat dilihat tokoh yang akan dibicarakan berikut ini yaitu Abdullah Ahmad.
Pembaharuan pendidikan Islam model madrasah awalnya dilakukan secara perorangan, seperti yang dilakukan oleh Abdullah Ahmad. Dia adalah tokoh pertama yang mendirikan sekolah bercorak madrasah pada tahun 1907 di Padang Panjang. Berbeda dengan sistem pendidikan yang berlaku selama ini di Minangkabau-Surau-dalam sekolah Adabiyah telah memakai sistem klasikal. Kurikulumnya tidak hanya berisi pelajaran agama tetapi juga berisi pelajaran membaca, menulis huruf latin dan berhitung.
Keberadaan sekolah ini tidak bertahan lama dan belum setahun sudah sudah ditutup, karena masyarakat Padang Panjang belum siap menerima perubahan dan mendapat reaksi yang keras dari mereka. Kegagalan tersebut juga disebabkan oleh letaknya yang kurang menguntungkan untuk perdagangan kain. Setelah mengadakan studi kelayakan pada Madrasah al-Iqbal al-Islamiah di Singapura dan mendapat motivasi dari Syekh Taher Djalaluddin, pada tahun 1909 di Padang, Ahmad mendirikan dengan nama Adabiyah School. Sekolah ini merupakan bentuk adaptasi dari sistem pendidikan surau kepada suatu penyesuai total kepada sistem Belanda. Kurikulumnya lebih banyak yang bersifat umum dari pada pelajaran agama. Untuk mengajar mata pelajaran umum, Ahmad Abdullah memasukkan 4 orang guru bangsa Belanda, di samping dua orang Indonesia yang mempunyai ijazah untuk  mengajar di tingkat  HIS.
Pembaharuan pendidikan secara organisasi dipelopori oleh Sumatra Thuwalib (Pelajar Sumatra) yang beranggotakan para murid Surau Jembatan Besi.  Dalam suatu musyawarah Syekh Haji Abdul Karim Amrullah dan Syekh Haji Ibrahim Moesa Parabek sepakat merubah nama perkumpulan tersebut dengan nama Sumatra Thawalib pada tahun 1918. Pembaharuan dari sistem tradisional (halaqah) menjadi sistem klasikal dilakukan secara bertahap. Sistem klasikal dan orientasi materi pelajaran lembaga ini bapat dikatakan sempurna sejak tahun 1921.
Haji Rasul berupaya menysusun kembali kurikulum, metode mengajar, buku yang dipergunakan, dan memasukkan mata pelajaran umum di samping mata pelajaran agama. Untuk pelajar tingkat tinggi kitab-kitab yang dipakai antara lain : kitab tafsir al-Manar karya Abduh dan Rasyid Ridha, kitab karya Ibn Taimiyah dan Ibn Al Qayyim. Sedang untuk kelas tujuh diperkenalkan kelas diskusi yang membahas tentang persoalan-persoalan agama yang terjadi di masyarakat. Di bidang administrasi pendidikan dibentuk sebuah badan pengawas yang dinamakan Dewan Sekolah.
Sumatra Tawalib mengalami kemajuan, sehingga surau-surau yang ada di Minangkabau ingin bergabung atau bekerjasama dengan memberi nama yang sama Sumatra Tawalib walaupun secara organisasi ada yang tidak menyatu dan melakukan aktivitas secara masing-masing, tapi dalam visi, tujuan, ide dan sistem pendidikan sama.
Pada tanggal 22 Januari 1922 diadakan pertemuan wakil dari seluruh Sumatra Thawalib,  memutuskan untuk membentuk satu Dewan Pusat yang berkedudukan di Padang Panjang dan akan membuka cabang-cabang di berbagai daerah. Dengan kehadiran organisasi ini tahun 1923 perubahan besar dalam sistem pendidikannya  yaitu selain merubah sistem halaqah menjadi sistem sekolah, menetapkan masa belajar, membuat jadwal mengajar, pemungutan uang sekolah, pengaturan honor guru dan petugas dan pengadaan tenaga administrasi serta ada beberapa hal yang melampaui masanya, yaitu : mengatur penyajian pelajaran sesuai dengan perkembangan berpikir anak didik dan mengatur guru sesuai dengan keahliannya.
Tokoh lain yang menggagas pembaharuan pendidikan Islam ialah Zainuddin Labai Al-Janusi. Masa kecil dilalui Zainuddin dengan belajar sekolah gubernemen selama 2 tahun, tetapi tidak sampai seleselai.  Kemudian ia belajar di surau ayahnya dan beberapa surau lainnya serta secara otodidak khususnya mengenai bahasa Arab, Inggris dan Belanda.
Pada tahun 1915, Zainuddin membuka Madrasah Diniyah dengan mempergunakan sistem kelas dengan kurikum lebih teratur dan mencakup pengetahuan umum seperti bahasa, matematika, sejarah, ilmu bumi disamping ilmu agama dan kegitan ekstra  berupa klub musik. Hamka sebagai salah seorang tokoh Islam Nasional pernah mengenyam pendidikan disekolah ini.
Dalam menyelenggarakan pendidikan Zainuddin banyak memakai metode Mesir. Untuk pelajaran bahasa Arab dia memakai buku yang sederhana/tidak rumit dan untuk fiqih dan sejarah Islam (selama ini tidak diperhatikan) dia menyusun sendiri buku-buku materi. Untuk kelas rendah disusun dengan memakai Melayu dan kelas lebih tinggi disusun dengan memakai bahasa Arab. Madrasah Diniyah ternyata mendapat perhatian yang luar biasa dari masyarakat. Hal ini ditandai dengan adanya 15 sekolah yang mengikuti sistem ini.
Masih banyak lagi tokoh dan lembaga pendidikan Islam yang menyelenggarakan pendidikan Islam modern. Pembaharuan yang mereka lakukan tidak hanya pada sistem pelaksanaan, akan tetapi juga mata pelajaran dan pemikiran keagamaan. Kitab-kitab imam Syafei’ tidak lagi menjadi pegangan mereka. Kelompok ini dikenal dengan Kaum Mudo.
Perubahan sistem pendidikan dari sistem surau ke madrasah tidak semua orang di Minangkabau menyambutnya dengan baik. Ide-ide moderenisasi pendidikan yang dikembangkan kaum intelektual  muda sering mendapat sandungan, baik dari pemerintahan Belanda maupun dari masyarakat sendiri khususnya ulama-ulama tua (Kaum Tuo).
Sebagai pembanding akan dikemukakan madrasah modern yang dikembangkan oleh Kaum Tuo, yaitu Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung yang dirikan oleh Syekh Haji Soelaiman ar-Rasuli pada tahun 1928 M di Candung Baso Bukit Tinggi.
Madrasah ini pada mula menggunakan sistem surau,  kemudian atas usul teman-teman yang telah melihat kemajuan orang-orang beraliran modern (Kaum Mudo), termasuk di bidang pendidikan Soelaiman bersedia mempergunakan sistem klasikal walaupun awalnya dia menolak dengan syarat kitab-kitab yang diajarkan disekolah itu tidak boleh keluar dari kitab mazhab Syafi’i. Madrasah ini kemudian berkembang cukup pesat di berbagai daerah.
b.  Muhammadiyah
Pada awal abad 20 dari Yogyakarta muncul K. H. Ahmad Dahlan sebagai pelopor pembaruan dalam Islam termasuk juga dalam bidang pendidikan. Ahmad Dahlan ketika kecil bernama Muhammad Darwis  berasal dari keluarga keraton Yogyakarta. Dia tidak pernah menjalani pendidikan formal pada sekolah tertentu, tapi ia belajar kepada beberapa orang ulama termasuk ayahnya sendiri dan juga secara otodidak dengan membaca buku atau kitab-kitab para ulama.  Pada saat naik haji ke Mekah ia menuntut ilmu selama satu tahun di sana dan satu gurunya adalah Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi asal Minang Sumatera Barat.
Bagi embentukan kepribadian sebagai target utama dari tujuan pendidikan. Selain itu ia berpandangan bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kemajuan materil.
Ahmad Dahlan bukan seorang teoritikus dan ia lebih bersifat fragmatis dengan semboyan sedikit bicara banyak kerja. Idenya dalam bidang pendidikan segera diwujudkan dengan melakukan pendidikan anak-anak dirumahnya di Kauman. Antara tahun 1908-1909, Ahmad Dahlan menyelenggarakan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah dengan menggunakan sistem klasikal dan telah memakai kurikulum. Di sekolah ini pendidikan agama diberikan oleh Ahmad Dahlan sendiri, sedangkan pelajaran umum diajarkan oleh salah seorang anggota Budi Utomo yang juga menjadi guru disekolah pemerintahan Belanda.
Pada 18 November 1912, Ahmad Dahlan mendirikan persyarikatan Muhammadiyah bersama teman-temannya. Dalam bidang pendidikan Muhammadiyah memadukan sistem madrasah dengan sistem sekolah gubernemen. Pendirian persyarikatan dan cabang-cabangnya turut mempecepat pendirian sekolah-sekolah baru dengan model baru. Secara berturut-turut Muhammadiyah mendirikan sekolah berbagai tempat di Yogya;  Karangkajen (1913), Lempuyangan (1915) dan Pasar Gede (1916), sedangkan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah yang semula di Kauman dipindahkan ke Suronatan karena gedung lama sudah tidak cukup lagi.
Melihat perkembangan yang lamban dapat menjadi bukti bahwa Muhammadiayah dengan model pendidikannya yang pada awal kurang diterima masyarakat secara bengansur tapi pasti mulai mendapat tempat ditengah masyarakat Yogyakarta. Satu tahun menjelang wafatnya Ahmad Dahlan, tepatnya pada tahun 1922  Muhammadiyah telah berhasil mendirikan 8/9 sekolah dengan 73 guru dan 1.019 siswa. Sekolah-sekolah tersebut tersebar di berbagai kota seperti Magelang, Purworejo, Blitar, Bandung dan Surabaya. Untuk mengelola sekolah tersebut dibentuk bagian pengajaran dan penilik serta pemeriksa agama.
c.   Masyarakat Arab di Indonesia
Tahun 1905  Al Jamiat Khairiyyah sebuah organisasi yang mayoritas beranggota orang-orang Arab berhasil mendirikan sekolah pertama untuk masyarakat Arab di Jakarta. Sistem administrasi dan organisasinya sepenuhnya menggunakan sistem Barat. Tantanan tersebut memenuhi persyaratan untuk diakui oleh pemerintah Belanda secara resmi.
Sekolah ini bersifat umum. Kurikulumnya mengandung mata pelajaran berhitung, sejarah, ilmu bumi dan agama. Bahasa Inggris diwajibkan sebagai bahasa kedua. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Melayu dan Arab dan bahasa Belanda tidak diajarkan di sekolah ini. Satu hal yang istimewa dengan organisasi ini yaitu menyediakan beasiswa bagi siswa untuk sekolah keluar negeri melajutkan pelajaran.
Guru-gurunya juga didatangkan dari luar daerah baik dalam dan luar negeri. Pada tahun 1907, Haji Muhammad Mansur berasal dari Padang menjadi salah seorang pengajar di sekolah ini, karena berepengetahuan agama luas dan mempunyai kemampuan dalam bahasa Melayu. Al Hasyimi dari Tunis (1911), selain mengajar dia juga mengenalkan kepanduan di Indonesia. Pada  tahun itu juga datang tiga orang guru dari luar negeri yaitu Syekh Ahmad Surkatti dari Sudan, Syekh Muhammad Taib dari Maroko dan Syekh Muhammad Abdul Hamid dari Makkah. Di antara ke tiga orang tersebut yang paling menonjol Ahmad Surkatti melalui penyebaran pemikiran-pemikiran dalam masyarakat Indonesia. Tahun 1913 datang lagi 4 orang guru dari luar negeri. Mereka merupakan sahabat Surkatti.
Mereka membawa pemikiran Muhammad Abduh dalam pendidikan, yaitu menekankan penting pelajaran bahasa Arab sebagai alat untuk menggali sumber-sumber Islam, mengembangkan daya kritis anak didik dan pemakaian buku-buku bergambar dalam pelajaran.
Sesudah tahun 1910 timbul perselisihan berkenaan dengan hak istimewa yang dituntut oleh keturunan Nabi saw., yang sebenar lebih dalam dari itu yaitu kelompok yang ingin mempertahan keistimewaan tersebut adalah orang-orang yang masih menganut faham taqlid, sedangkan lawannya adalah orang-orang yang berfaham baru.
Pada tahun 1914 Jamiat pecah sehingga terbentuk organisasi baru bernama Al Irsad. Anggota Ar Irsad adalah golongan yang tidak terikat dengan hak istimewa gelar sayyed. Surkatti kemudian bergabung dengan Al Irsyad. Pada tahun selanjut organisasi ini berkembang dengan baik sejalan dengan pendidikan yang dideselenggarakannya.
d.  Nahdatu Ulama
Nahdatul Ulama didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 oleh Abdul Wahab Hasbullah sebagai motor pendirinya dan K. H. Hasyim Asy’ari orang mempopulerkannya. Organisasi ini bertujuan memperkuatan ikatan antar ulama Indonesia khusus Jawa yang menganut mazhab tertentu.
Tokoh pembaharu pendidikan di NU adalah K. H. Muhammad Ilyas. Dia memperoleh pendidikan pengetahuan umum di sekolah Belanda  (HIS) dan pengetahuan agama dari ayahnya dan pesantren Tebu Ireng. Pada tahun 1925 Moh. Ilyas tamat dari HIS dan bertugas di pesantren Tebu Ireng. Atas izin K. H. Hasyim Asy’ari, Moh. Ilyas memasukan mata pelajaran umum seperti membaca dan menulis huruf latin, ilmu bumi, dan bahasa Melayu ke dalam kurikulum pesantren. Pembaharuan itu sempat menimbulkan reaksi, sehingga sejumlah orang tua memindahkan anaknya ke pesantren lain.
Tidak cukup banyak catatan yang memperlihatkan perkembangan awal pembaharuan pendidikan di tubuh NU. Baru pada akhir tahun 1938 komisi perguruan NU mengeluarkan aturan tentang susunan madrasah yang harus dijalan mulai tahun 1939. Susunan madrasah NU adalah sbb:
1)      Madrasah awaliyah, lama belajar 2 tahun
2)     Madrasah ibtidaiyah,   lama belajar 3 tahun
3)     Madrasah Tsanawiyah, lama belajar 3 tahun
4)     Madrasah Mu’allimin Wusta, lama belajar 2 tahun
5)     Madrasah Mu’allimin ’Ulya, lama belajar 3 tahun
Selain perkembangan madrasah yang telah dikemukan di atas masih banyak madrasah yang tumbuh dan berkembang di awal abad 20 seperti yang dilakukan Persis dan Perstuan Ulama.
D.   Madrasah Setelah Kemerdekaan
Untuk mendapatkan legalitas hukum atas pelaksanaan pendidikan agama Islam sejak kemerdekaan terjadi tarik menarik antara kelompok yang pro dan kontra. Bagi yang pro berpendapat pendidikan agama Islam penting diberikan di sekolah umum sedangkan yang menentang berpendapat agama cukup diganti dengan budi pekerti karena agama sama dengan fikih. Kelompok pro berpandangan agama tidak sekedar fiqih, tetapi juga tentang moral.
Dari serangkaian panjang perkembangan legalitas hukum pendidikan agama Islam di sekolah, maka perlu dicatat bahwa ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 yang berbunyi pendidikan agama Islam menjadi pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai universitas negeri sebagai perubahan mendasar terhadap pendidikan agama di sekolah umum negeri dari yang semula tidak wajib menjadi wajib diikuti oleh peserta didik.
Pasal 1 dari pasal tersebut pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah dari Sekolah Dasar sampai Universitas-universitas negeri dan pasal 4, point (a) Mempertinggi mental-moral-budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama. Penetapan ini makin mengukuhkan status dan kedudukan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Implikasi dari diterbitkannya Tap MPRS ini adalah lahirnya peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudyaan tanggal 23 Oktober 1967 yang menetapkan jumlah jam mata pelajaran agama di sekolah. Karena hampir seluruh sekolah negeri di Indonesia di isi oleh murid-murid yang beragama Islam, maka aturan tersebut tidak langsung meletakkan pendidikan agama Islam pada posisi tersebut.
Berikut, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tujuan pendidikan nasional adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliko pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab dan kebangsaan.
Pasal 39 ayat 2 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan pendidikan Pancasila, agama dan kewarnegaraan. Ini menjadi perkembangan baru bagi pendidikan agama Islam tidak hanya wajib bagi sekolah negeri tapi bagi sekolah umum lainnya.
Kemudian, menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Menurut  pasal 36 ayat 2 Undang-undang tersebut bahwa  kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan antara lain peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia dan agama.  Sedangkan menurut pasal 37 ayat 1 dan 2  kurikulum pendidikan dasar,  menengah dan tinggi wajib memuat antara pendidikan agama.
Melihat dua Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional di atas, khususnya mengenai pasal yang membicarakan kurikulum terlihat bahwa kurikulum pendidikan agama Islam memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kurikulum nasional, bahkan terjadi peningkatan posisinya dari 1989 ke 2003. Hal ini terlihat bahwa pada UU  tahun 1989 kurikulum wajib memuat pendidikan agama, sedang pada UU  tahun 2003 kurikulum disusun dengan memperhatikan peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia dan agama. Hal ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi pendidikan agama Islam untuk berbuat lebih banyak dalam membangun dan mengembangkan manusia Indonesia.
E.  PENUTUP

Pendidikan dalam Islam bukan hanya kewajiban, tapi ia merupakan kebutuhan, sehingga semenjak Islam ada pendidikan Islam turut hadir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat disuatu daerah, tempat atau negara.  Keberadaannya sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial politik masyarakat. Madrasah Indonesia yang hadir abad 20 dalam masa penjajahan kolonial Belanda juga diwarnai oleh berbagai hal tersebut.
Dari tulisan dapat ditarik beberapa kesimpulan sbb:
1.  Madrasah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang khas dan berbasis pada ajaran-ajaran dasar Islam.
2.      Sistem madrasah adalah perpaduan sistem pendidikan sekolah dengan sistem pendidikan Pesantren.
3.   Madrasah di Indonesia hadir sebagai jawaban tantangan dari zaman dan sebagai sikap perlawan terhadap Belanda.
4.      Madrasah timbul dari gagasan perorangan dan/atau organisasi.
5.  Pembaharu pendidikan Islam Indosia secara umum adalah orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan Barat dan bersentuhan dengan perkembangan pemikiran Timur Tengah.
6.      Madrasah awal abad 20 telah melahirkan tokoh-tokoh nasional Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA

Asrohah, Hanum, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 1999.
Daulay, Haidar Putra, Historis dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta : Tiara Kencana, 2001.
Departemen Agama, Al Quran dan Terjemahan
Fadjar, A. Malik, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta: LP3NI, 1998.
Gibb, HAR and H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden : E.J. Brill, 1981.
Hamka, Ayahku : riwayat hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan perjuangan kaum agama di Sumatra, Umminda
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : lintasan sejarah pertumbuhan dan perkembangan, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2001.
Ilyas, Yunahar, Tafsir Tematis Cakrawala Al-Quran, Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2003
Keputusan Bersama Tiga Menteri Tahun 1975, pasal 1
Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia : rekonstruksi sejarah untuk aksi, Malang : UMJ Press, 2006. 
Maksum, Madrasah : sejarah dan perkembangannya : Jakarta, Logos Wacana Ilmu 1999.
Mulkan, Munir, Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan Dalam Hikmah Mmuhammadiyah, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2007.
Mursyid, Ali, kangalimursyid.blogspot.com/2007/05/urgensi-penguatan-civic-educati
Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Edisi Indonesia, Surabaya: Risalah Gusti: 1996.
Nata, Abuddin, Tokoh- Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada,  2005.
Nizar, Samsul, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam : potret Timur Tengah era awal dan Indonesia, Ciputat : Quantum Teaching, 2005.
Presiden, UU No.20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Salyalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, terjemahan : Muchtar Jahya dan Sanusi Latief, Jakarta:  Bulan Bintang, 1973.
Sejarah Pendidikan Sumatra Barat : pendidikan abad ke 20, pakguru online.net,
Steenbrink, Karel A,  Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta : LP3ES.
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mutiara, 1979.
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara,  2006.