DINAMIKA
MADRASAH DI INDONESIA
Drs. Sumardi, MA
A.
PENDAHULUAN
Tiada suatu kemajuan atau peningkatan hidup
dalam peradaban dan kebudayaan tanpa adanya kemajuan atau peningkatan dalam
usaha pendidikan. Sejarah panjang peradaban manusia telah menjadi bukti bahwa
antara peradaban atau kebudaya dengan dunia pendidikan saling pengaruhi
mempengaruhi.
Dalam Islam menuntut ilmu bukan
menjadi tujuan tetapi untuk mengenal Allah dan diamalkan atau sebagai pedoman dalam
beramal. Ilmu berfungsi sebagai burhan dan hudan dalam kehidupan
juga sebagai penuntun dalam mencapai tujuan, tetapi ilmu tidak ada manfaatnya
kalau tidak berbuah pengamalan dan sikap lebih baik.
Semua hal tersebut di atas menjadi
penyebab utama yang mendorong tumbuhnya dan berkembangnya proses pengajaran dan
pendidikan dalam Islam. Jadi tidaklah mengherankan jika lembaga pendidikan Islam
telah tumbuh semenjak kelahiran Islam dan berkembang sesuai dengan kebutuhan
zaman dan situasi tempat keberadaannya. Kehadiran Madrasah kemudian adalah
untuk menjawab tantangan dan memenuhi kebutuhan sesuai keadaan sebagai bentuk pengembangan dan
pembaharuan dari sistem pendidikan Islam klasik.
Keberadaan pendidikan Islam di
Indonesiapun sangat dipengaruhi oleh semangat tersebut. Dinamika perjalanan
panjang pendidikan Islam di Indonesia, mulai dari awal seiring dengan
keberadaan Islam di Indonesia sampai kepada menjadi madrasah sangat dipengaruhi
berbagai aspek kehidupan bermasyarakat ataupun bernegara.
Dalam keadaan dekadensi moral
anak seperti saat ini, seharusnya madrasah
menjadi semakin penting keberadaanya serta perlu mendapatkan perhatian khusus
dan dikembangkan dengan memberikan porsi yang seimbang antara masing-masing
bidang studi sesuai dengan kebutuhan, sehingga tercipta manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Namun bagi sebagian besar masyarakat kita madrasah hanyalah sekolah kelas
dua, kalau tidak lebih dibawah lagi, walaupun belakangan sudah ada perhatian
lebih dari pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas. Makalah ini
mencoba untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan Madrasah di Indonesia pada
awal abad 20 yang menghadapi banyak tantangan diantaranya :
1.
Keterbelakang masyarakat Islam Indonesia, baik dalam pendidikan dan
ekonomi.
2.
Perjuangan menghadapi penjajahan Belanda.
3.
Penolakan masyarakat yang belum dapat menerima perubahan.
B.
PENGERTIAN MADRASAH
Kata "madrasah"
dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat" (zharaf
makan) dari akar kata "darasa". Secara harfiah "madrasah"
diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar", atau "tempat
untuk memberikan pelajaran". Jika diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti
"sekolah". Dalam Shorter Encyclopedia of Islam, madrasah
adalah ”Name of an institution where the Islamic siences are studied.
Di Indonesia, madrasah tetap dipakai dengan kata
aslinya madrasah, kendatipun pengertiannya tidak lagi persis dengan apa
yang dipahami di negeri asalnya (Arab), yaitu sekolah, tetapi ditujukan untuk
sekolah yang mata pelajaran dasarnya adalah mata pelajaran agama Islam.
Sungguhpun secara teknis, yakni dalam proses
belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda dengan
sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai
sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni
"sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh
pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini
agama Islam) lebih mendalam dari sekolah.
Menurut Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Tahun 1975,
pengertian madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran
agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-sekurangnya
30% di samping mata pelajaran umum.
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dan Peraturan
Pemerintah 28 dan 29 Tahun 1990 serta Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Pengajaran No. 0489/U/1992 dan Surat Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun
1993, madrasah adalah sekolah yang
berciri khas Islam.
Dalam masyarakat Indonesia secara umum pengertian
madrasah adalah sekolah agama yang di dalamnya juga dipelajari ilmu-ilmu umum.
Jadi bila disebut madrasah maka dipahami bahwa di sekolah tersebut diajarkan
mata pelajaran agama Islam lebih banyak dari sekolah umum.
Pada awalnya madrasah adalah pengembangan sistem
pendidikan dari masjid ke masjid yang mempelajari fiqih tertentu. Besarnya
minat belajar umat Islam membuat mesjid-mesjid penuh dengan kelompok-kelompok
belajar, sehingga membutuh tempat baru yang memadai untuk itu. Madrasah di
Indonesia adalah pembaharuan
pendidikan Islam Indonesia dari pendidikan tradisional seperti surau, pesantren
dan lainnya ke sekolah dengan sistem klasikal, administrasi lebih tertata, dan
penjenjangannya. Madrasah awal di Indonesia merupakan
perpaduan sistem pendidikan sekolah (Barat) dengan sistem pendidikan tradisional
Islam Indonesia.
Pada saat sekarang perbedaan yang
mendasar antara madrasah dan sekolah adalah bobot mata pelajaran agama Islam pada
kurikulum pendidikan madrasah lebih banyak dari bobot mata pelajaran agama
Islam pada kurikulum pendidikan sekolah umum.
C.
Lahir Madrasah di Nusantara
1. Faktor-Faktor
yang Mendorong Lahirnya Madrasah
Kedatangan bangsa Belanda ke
Indonesia pada awalnya bermaksud berdagang dengan saudagar-saudagar dari
Nusantara, tetapi demi memenuhi kepentingan dan melihat kesempatan yang ada
secara berangsur-angsur tapi pasti Belanda mulai menancapkan kukunya di
Indonesia, mengatur kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia dan menjajahnya.
Pemerintah Belanda tidak hanya
mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, tetapi juga menekan kehidupan politik
dan kehidupan keagamaan rakyat. Setiap jamaah haji yang pulang ke Indonesia
diawasi dengan ketat untuk mengantispasi para hujaj akan membangkit semangat
perlawanan terhadap pemerintahan Belanda.
Bagi sebagian besar masyarakat
Indonesia sikap pemerintah Belanda tersebut membuat mereka gelisah, terutama
para ulama dan santrinya sehingga menimbulkan perlawanan bersenjata walaupun
masih bersifat kedaerahan. Perlawanan kedaerahan tersebut tidak membuat Belanda
lari dari kawasan Indonesia, tetapi malah memperkuat posisinya dengan menguasai
seluruh tanah air secara berangsur-angsur.
Dunia pendidikan di Indonesia tidak
luput dari campur tangan dan tekanan Belanda. Bentuk campur tangan dan tekanan
yang dilakukan adalah dengan menyelenggarakan pendidikan model barat dengan
kesempatan sangat terbatas bagi pribumi, pembatasan ruang gerak guru-guru
pelajaran agama Islam dan mengabaikan
hasil didikan lembaga pendidikan Islam yang ada pada waktu itu. Lulusan/keluaran
lembaga pendidikan Islam masih dianggap buta huruf yang tentu saja tidak bisa
menjadi pegawai dan dicurigai sebagai orang-orang cenderung akan melawan kepada
perintahan Belanda.
Pendidikan kolonial sangat berbeda
dengan sistem pendidikan tradisional Islam, bukan saja metode, tapi juga dari
segi isi dan tujuan. Pendidikanya hanya mengajarkan pengetahuan dan
keterampilan duniawi. Sedangkan pendidikan tradisional Islam hanya di bidang
agama dalam pengertian sempit.
Sebenarnya tujuan pemerintah Belanda
menyelenggarakan pendidikan rakyat bukan untuk mencerdaskan rakyat di daerah
jajahannya, tapi lebih cendrung untuk memperkuat posisinya di Nusantara ini.
Melalui pendidikan ini diharapkan dapat menanamkan ide-ide penjajahan agar
tidak menimbulkan perlawanan terhadap Belanda. Juga diharap menghasilkan tenaga
yang dapat dipekerjakan pemerintah Belanda dengan upah yang kecil.
Apa yang mereka/Belanda sebut pembaharuan
kebijakan pendidikan adalah westernisasi dari kristenisasi yakni untuk
keuntungan Barat atau Belanda dan Nasrani. Dua motif ini yang mewarnai kegiatan
penjajah Barat di Indonesia selama lebih kurang 3,5 abad.
Suatu hal di luar kewajaran, bila
bangsa Belanda yang menjajah bangsa Indonesia dan ingin melanggengkan
penjajahannya serta mengambil keuntungan besar dari bangsa yang dijajahnya,
kemudian mengadakan pendidikan untuk kepentingan bangsa yang dijajahnya,
walaupun dikemudian hari ada juga pendidikan yang dilaksanakan Belanda untuk
kepentingan bangsa Indonesia, tapi itu dilakukan untuk memenuhi tekanan dan
kritikan dari berbagai pihak termasuk orang-orang Belanda sendiri.
Sementara itu pendidikan tradisional
Islam Indonesia melalui pesantren dan surau agaknya identik dengan pengajian
kitab-kitab ahli mazhab tertentu dan mengabaikan pembelajaran Al-Quran dan
Hadist. Lebih dari itu bidang-bidang studi non keagamaan (memang tidak tersedia
dalam kitab-klasik) tidak diajarkan sama
sekali.
Eksistensi pendidikan tradisional
Islam di Nusantara ditantang oleh kehadiran lembaga-lembaga pendidikan Barat
yang sekuler. Respon awal tantangan ini lebih bersifat isolatif, dimana
pendidikan Islam lebih mengasingkan diri dari pengaruh pendidikan modern, kecuali
beberapa daerah khususnya Minangkabau karena
pembaharuan Islam telah mulai awal abad ke 19.
Tumbuh dan berkembangnya madrasah di
Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan tumbuh dan berkembangnya ide-ide
pembaharuan pemikiran para ulama dari
beberapa daerah di Indonesia. Sejarah
juga mencatat bahwa orang-orang Indonesia yang mengenyam sekolah Belanda
mengenal model pendidikan Barat yang berbentuk klasikal dan mata pelajaran ilmu
pengetahuan umum melahirkan intelektual baru khususnya dalam bidang pendidikan.
Faktor-faktor yang mendorong timbulnya
ide-ide pembaharuan tersebut adalah :
a.
Mencontoh ide berkembangannya keinginan umat Islam di Timur Tengah dalam
ajaran agama untuk kembali kepada Al Quran dan As Sunnah.
b.
Sebagai sikap perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda.
c.
Adanya usaha yang kuat dari orang-orang Islam untuk memperkuat
organisasinya di bidang sosial dan ekonomi baik untuk kepentingan kelompok
mereka maupun masyarakat.
d.
Pembaruan pendidikan Islam.
Dari sudut pandang ide, gerakan
pembaharuan Indonesia secara umum agaknya dipengaruhi oleh tokoh pembaharu
Timur Tengah baik secara lansung ataupun
tidak, khususnya dari tokoh Jamaludin al Afgani dan Muhammad Abduh. Walau
mereka anti Barat yang menjajah negara-negara Islam, tetapi mereka menganjurkan
untuk mempelajari ilmu pengetahuan sebagaimana yang dipelajari Barat.
Keberangkatan para ulama yang
sekaligus adalah para pendidik tradisional Islam Indonesia menunaikan ibadah
haji dan belajar di Mekah, menyebabkan mereka bersentuhan dengan pemikiran dan
perjuangan yang sedang berkembangan di Timur Tengah memberi pengalaman
tersendiri bagi mereka serta memberi pemahaman dan pandangan baru terhadap
Islam umumnya dan pendidikan khususnya.
Khususnya faktor pendorong dari
pembaruan pendidikan Islam tidak sepenuh dapat dikatakan seperti alasan
tersebut di atas, karena keduanya dapat saling pengaruh mempengaruhi dengan
kata lain timbul pembaruan pendidikan Islam di Indonesia dipengaruhi oleh
adanya pembaharuan pemikiran para tokoh-tokoh pendidikan pada masa itu.
Sikap perlawanan nasional terhadap
penguasa kolonial Belanda bukanlah hal yang baru di bumi pertiwi ini, cuma
dalam bentuk lain. Dapat diduga bahwa belajar dari kegagalan perjuangan para
ulama dan para pahlawan terdahulu, pada awal abad 20 puluhan timbul kesadaran para
ulama dan cerdik pandai, bahwa perlu bentuk dan cara baru untuk memberikan
perlawanan, tidak hanya melalui kekuatan pisik.
Beberbekal dari pengalaman
perjuangan negara Timur Tengah yang didapat ketika menunaikan haji dan/atau
belajar di Mekah dan sekitarnya, sepulangnya ke tanah air para ulama
menyelengarakan pendidikan baru dengan memadukan sistem pendidikan Islam
tradional (masjid, surau dan pesantren) dengan sistem pendidikan barat yang
mempergunakan klasikal, papan tulis. Kurikulumnya juga mengalami perubahan, semula khusus belajar ilmu agama kemudian
ditambah dengan ilmu-ilmu umum seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah
Belanda.
2. Lahirnya Madrasah di Beberapa Daerah di
Indonesia
Berbicara mengenai pertumbuhan dan
perkembangan pendidikan Islam (madrasah) di Indonesia, maka mau tak mau harus
menelusuri muncul dan berkembangannya pendidikan Islam Nusantara pada akhir abad 19 sampai
pertengahan abad 20. Walaupun masing-masing daerah mempunyai ciri dan tokoh-tokohnya
dengan karakter masing-masing, tapi secara umum ada beberapa hal yang
bersamaan, yaitu keinginan untuk memajukan kehidupan rakyat, sebagai perlawanan
kepada pemerintahan Belanda dan sebagai penghadang proses kristenisasi atau
paling tidak sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pendidikan yang dilaksanakan
Belanda.
a. Lahirnya
Madrasah di Minangkabau
Pada pertengahan abad ke 19 Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah rakyat
(terbatas) di Sumatra Barat. Hasil sekolah ini menghasilkan kelompok baru di tengah
masyarakat, yakni kelompok cerdik pandai. Kebanyakan mereka bekerja pada
Belanda, sesuai dengan tujuan pendirian sekolah tersebut. Bagi Belanda mereka
tidak lebih dari sekedar memantapkan pemerintahan Belanda dan memperkuat
kedudukannya.
Sementara itu ada golongan yang
tidak bersedia bekerja sama dengan Belanda dan menentang kekuasaan Belanda.
Mereka ini biasa berasal dari keturunan Ulama yang juga belajar agama secara
intesif di Surau dan juga mengenyam pendidikan Belanda. Pernyataan ini dapat
dilihat tokoh yang akan dibicarakan berikut ini yaitu Abdullah Ahmad.
Pembaharuan pendidikan Islam model
madrasah awalnya dilakukan secara perorangan, seperti yang dilakukan oleh Abdullah
Ahmad. Dia adalah tokoh pertama yang mendirikan sekolah bercorak madrasah pada
tahun 1907 di Padang Panjang. Berbeda dengan sistem pendidikan yang berlaku
selama ini di Minangkabau-Surau-dalam sekolah Adabiyah telah memakai sistem
klasikal. Kurikulumnya tidak hanya berisi pelajaran agama tetapi juga berisi
pelajaran membaca, menulis huruf latin dan berhitung.
Keberadaan sekolah ini tidak
bertahan lama dan belum setahun sudah sudah ditutup, karena masyarakat Padang
Panjang belum siap menerima perubahan dan mendapat reaksi yang keras dari
mereka. Kegagalan tersebut juga disebabkan oleh letaknya yang kurang menguntungkan
untuk perdagangan kain. Setelah mengadakan studi kelayakan pada Madrasah
al-Iqbal al-Islamiah di Singapura dan mendapat motivasi dari Syekh Taher
Djalaluddin, pada tahun 1909 di Padang, Ahmad mendirikan dengan nama Adabiyah
School. Sekolah ini merupakan bentuk adaptasi dari sistem pendidikan surau
kepada suatu penyesuai total kepada sistem Belanda. Kurikulumnya lebih banyak yang
bersifat umum dari pada pelajaran agama. Untuk mengajar mata pelajaran umum,
Ahmad Abdullah memasukkan 4 orang guru bangsa Belanda, di samping dua orang
Indonesia yang mempunyai ijazah untuk
mengajar di tingkat HIS.
Pembaharuan pendidikan secara
organisasi dipelopori oleh Sumatra Thuwalib (Pelajar Sumatra) yang
beranggotakan para murid Surau Jembatan Besi.
Dalam suatu musyawarah Syekh Haji Abdul Karim Amrullah dan Syekh Haji
Ibrahim Moesa Parabek sepakat merubah nama perkumpulan tersebut dengan nama
Sumatra Thawalib pada tahun 1918. Pembaharuan dari sistem tradisional (halaqah)
menjadi sistem klasikal dilakukan secara bertahap. Sistem klasikal dan
orientasi materi pelajaran lembaga ini bapat dikatakan sempurna sejak tahun 1921.
Haji Rasul berupaya menysusun
kembali kurikulum, metode mengajar, buku yang dipergunakan, dan memasukkan mata
pelajaran umum di samping mata pelajaran agama. Untuk pelajar tingkat tinggi
kitab-kitab yang dipakai antara lain : kitab tafsir al-Manar karya Abduh dan
Rasyid Ridha, kitab karya Ibn Taimiyah dan Ibn Al Qayyim. Sedang untuk kelas
tujuh diperkenalkan kelas diskusi yang membahas tentang persoalan-persoalan
agama yang terjadi di masyarakat. Di bidang administrasi pendidikan dibentuk
sebuah badan pengawas yang dinamakan Dewan Sekolah.
Sumatra Tawalib mengalami kemajuan,
sehingga surau-surau yang ada di Minangkabau ingin bergabung atau bekerjasama
dengan memberi nama yang sama Sumatra Tawalib walaupun secara organisasi ada
yang tidak menyatu dan melakukan aktivitas secara masing-masing, tapi dalam
visi, tujuan, ide dan sistem pendidikan sama.
Pada tanggal 22 Januari 1922
diadakan pertemuan wakil dari seluruh Sumatra Thawalib, memutuskan untuk membentuk satu Dewan Pusat
yang berkedudukan di Padang Panjang dan akan membuka cabang-cabang di berbagai
daerah. Dengan kehadiran organisasi ini tahun 1923 perubahan besar dalam sistem
pendidikannya yaitu selain merubah
sistem halaqah menjadi sistem sekolah, menetapkan masa belajar, membuat jadwal
mengajar, pemungutan uang sekolah, pengaturan honor guru dan petugas dan
pengadaan tenaga administrasi serta ada beberapa hal yang melampaui masanya,
yaitu : mengatur penyajian pelajaran sesuai dengan perkembangan berpikir anak
didik dan mengatur guru sesuai dengan keahliannya.
Tokoh lain yang menggagas
pembaharuan pendidikan Islam ialah Zainuddin Labai Al-Janusi. Masa kecil dilalui
Zainuddin dengan belajar sekolah gubernemen selama 2 tahun, tetapi tidak sampai
seleselai. Kemudian ia belajar di surau
ayahnya dan beberapa surau lainnya serta secara otodidak khususnya mengenai
bahasa Arab, Inggris dan Belanda.
Pada tahun 1915, Zainuddin membuka Madrasah
Diniyah dengan mempergunakan sistem kelas dengan kurikum lebih teratur dan
mencakup pengetahuan umum seperti bahasa, matematika, sejarah, ilmu bumi
disamping ilmu agama dan kegitan ekstra
berupa klub musik. Hamka sebagai salah seorang tokoh Islam Nasional
pernah mengenyam pendidikan disekolah ini.
Dalam menyelenggarakan pendidikan Zainuddin
banyak memakai metode Mesir. Untuk pelajaran bahasa Arab dia memakai buku yang
sederhana/tidak rumit dan untuk fiqih dan sejarah Islam (selama ini tidak
diperhatikan) dia menyusun sendiri buku-buku materi. Untuk kelas rendah disusun
dengan memakai Melayu dan kelas lebih tinggi disusun dengan memakai bahasa
Arab. Madrasah Diniyah ternyata mendapat perhatian yang luar biasa dari
masyarakat. Hal ini ditandai dengan adanya 15 sekolah yang mengikuti sistem
ini.
Masih banyak lagi tokoh dan lembaga pendidikan
Islam yang menyelenggarakan pendidikan Islam modern. Pembaharuan yang mereka
lakukan tidak hanya pada sistem pelaksanaan, akan tetapi juga mata pelajaran
dan pemikiran keagamaan. Kitab-kitab imam Syafei’ tidak lagi menjadi pegangan
mereka. Kelompok ini dikenal dengan Kaum Mudo.
Perubahan sistem pendidikan dari
sistem surau ke madrasah tidak semua orang di Minangkabau menyambutnya dengan
baik. Ide-ide moderenisasi pendidikan yang dikembangkan kaum intelektual muda sering mendapat sandungan, baik dari
pemerintahan Belanda maupun dari masyarakat sendiri khususnya ulama-ulama tua
(Kaum Tuo).
Sebagai pembanding akan dikemukakan madrasah
modern yang dikembangkan oleh Kaum Tuo, yaitu Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Candung yang dirikan oleh Syekh Haji Soelaiman ar-Rasuli pada tahun 1928 M di
Candung Baso Bukit Tinggi.
Madrasah ini pada mula menggunakan
sistem surau, kemudian atas usul
teman-teman yang telah melihat kemajuan orang-orang beraliran modern (Kaum
Mudo), termasuk di bidang pendidikan Soelaiman bersedia mempergunakan sistem
klasikal walaupun awalnya dia menolak dengan syarat kitab-kitab yang diajarkan
disekolah itu tidak boleh keluar dari kitab mazhab Syafi’i. Madrasah ini
kemudian berkembang cukup pesat di berbagai daerah.
b. Muhammadiyah
Pada awal abad 20 dari Yogyakarta
muncul K. H. Ahmad Dahlan sebagai pelopor pembaruan dalam Islam termasuk juga
dalam bidang pendidikan. Ahmad Dahlan ketika kecil bernama Muhammad Darwis berasal dari keluarga keraton Yogyakarta. Dia
tidak pernah menjalani pendidikan formal pada sekolah tertentu, tapi ia belajar
kepada beberapa orang ulama termasuk ayahnya sendiri dan juga secara otodidak
dengan membaca buku atau kitab-kitab para ulama. Pada saat naik haji ke Mekah ia menuntut ilmu
selama satu tahun di sana dan satu gurunya adalah Syekh Ahmad Khatib
Minangkabawi asal Minang Sumatera Barat.
Bagi embentukan kepribadian sebagai
target utama dari tujuan pendidikan. Selain itu ia berpandangan bahwa
pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan untuk mencapai kemajuan materil.
Ahmad Dahlan bukan seorang
teoritikus dan ia lebih bersifat fragmatis dengan semboyan sedikit bicara banyak
kerja. Idenya dalam bidang pendidikan segera diwujudkan dengan melakukan
pendidikan anak-anak dirumahnya di Kauman. Antara tahun 1908-1909, Ahmad Dahlan
menyelenggarakan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah dengan menggunakan
sistem klasikal dan telah memakai kurikulum. Di sekolah ini pendidikan agama
diberikan oleh Ahmad Dahlan sendiri, sedangkan pelajaran umum diajarkan oleh
salah seorang anggota Budi Utomo yang juga menjadi guru disekolah pemerintahan
Belanda.
Pada 18 November 1912, Ahmad Dahlan
mendirikan persyarikatan Muhammadiyah bersama teman-temannya. Dalam bidang
pendidikan Muhammadiyah memadukan sistem madrasah dengan sistem sekolah gubernemen.
Pendirian persyarikatan dan cabang-cabangnya turut mempecepat pendirian
sekolah-sekolah baru dengan model baru. Secara berturut-turut Muhammadiyah
mendirikan sekolah berbagai tempat di Yogya;
Karangkajen (1913), Lempuyangan (1915) dan Pasar Gede (1916), sedangkan
Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah yang semula di Kauman dipindahkan ke
Suronatan karena gedung lama sudah tidak cukup lagi.
Melihat perkembangan yang lamban
dapat menjadi bukti bahwa Muhammadiayah dengan model pendidikannya yang pada
awal kurang diterima masyarakat secara bengansur tapi pasti mulai mendapat
tempat ditengah masyarakat Yogyakarta. Satu tahun menjelang wafatnya Ahmad
Dahlan, tepatnya pada tahun 1922
Muhammadiyah telah berhasil mendirikan 8/9 sekolah dengan 73 guru dan
1.019 siswa. Sekolah-sekolah tersebut tersebar di berbagai kota seperti
Magelang, Purworejo, Blitar, Bandung dan Surabaya. Untuk mengelola sekolah
tersebut dibentuk bagian pengajaran dan penilik serta pemeriksa agama.
c. Masyarakat
Arab di Indonesia
Tahun 1905 Al Jamiat Khairiyyah sebuah organisasi yang
mayoritas beranggota orang-orang Arab berhasil mendirikan sekolah pertama untuk
masyarakat Arab di Jakarta. Sistem administrasi dan organisasinya sepenuhnya menggunakan
sistem Barat. Tantanan tersebut memenuhi persyaratan untuk diakui oleh
pemerintah Belanda secara resmi.
Sekolah ini bersifat umum. Kurikulumnya
mengandung mata pelajaran berhitung, sejarah, ilmu bumi dan agama. Bahasa
Inggris diwajibkan sebagai bahasa kedua. Bahasa pengantarnya adalah bahasa
Melayu dan Arab dan bahasa Belanda tidak diajarkan di sekolah ini. Satu hal
yang istimewa dengan organisasi ini yaitu menyediakan beasiswa bagi siswa untuk
sekolah keluar negeri melajutkan pelajaran.
Guru-gurunya juga didatangkan dari
luar daerah baik dalam dan luar negeri. Pada tahun 1907, Haji Muhammad Mansur
berasal dari Padang menjadi salah seorang pengajar di sekolah ini, karena
berepengetahuan agama luas dan mempunyai kemampuan dalam bahasa Melayu. Al
Hasyimi dari Tunis (1911), selain mengajar dia juga mengenalkan kepanduan di
Indonesia. Pada tahun itu juga datang
tiga orang guru dari luar negeri yaitu Syekh Ahmad Surkatti dari Sudan, Syekh
Muhammad Taib dari Maroko dan Syekh Muhammad Abdul Hamid dari Makkah. Di antara
ke tiga orang tersebut yang paling menonjol Ahmad Surkatti melalui penyebaran
pemikiran-pemikiran dalam masyarakat Indonesia. Tahun 1913 datang lagi 4 orang
guru dari luar negeri. Mereka merupakan sahabat Surkatti.
Mereka membawa pemikiran Muhammad
Abduh dalam pendidikan, yaitu menekankan penting pelajaran bahasa Arab sebagai
alat untuk menggali sumber-sumber Islam, mengembangkan daya kritis anak didik
dan pemakaian buku-buku bergambar dalam pelajaran.
Sesudah tahun 1910 timbul
perselisihan berkenaan dengan hak istimewa yang dituntut oleh keturunan Nabi
saw., yang sebenar lebih dalam dari itu yaitu kelompok yang ingin mempertahan
keistimewaan tersebut adalah orang-orang yang masih menganut faham taqlid,
sedangkan lawannya adalah orang-orang yang berfaham baru.
Pada tahun 1914 Jamiat pecah
sehingga terbentuk organisasi baru bernama Al Irsad. Anggota Ar Irsad adalah
golongan yang tidak terikat dengan hak istimewa gelar sayyed. Surkatti kemudian
bergabung dengan Al Irsyad. Pada tahun selanjut organisasi ini berkembang
dengan baik sejalan dengan pendidikan yang dideselenggarakannya.
d. Nahdatu
Ulama
Nahdatul Ulama didirikan pada tanggal
31 Januari 1926 oleh Abdul Wahab Hasbullah sebagai motor pendirinya dan K. H.
Hasyim Asy’ari orang mempopulerkannya. Organisasi ini bertujuan memperkuatan
ikatan antar ulama Indonesia khusus Jawa yang menganut mazhab tertentu.
Tokoh pembaharu pendidikan di NU
adalah K. H. Muhammad Ilyas. Dia memperoleh pendidikan pengetahuan umum di sekolah
Belanda (HIS) dan pengetahuan agama dari
ayahnya dan pesantren Tebu Ireng. Pada tahun 1925 Moh. Ilyas tamat dari HIS dan
bertugas di pesantren Tebu Ireng. Atas izin K. H. Hasyim Asy’ari, Moh. Ilyas
memasukan mata pelajaran umum seperti membaca dan menulis huruf latin, ilmu
bumi, dan bahasa Melayu ke dalam kurikulum pesantren. Pembaharuan itu sempat
menimbulkan reaksi, sehingga sejumlah orang tua memindahkan anaknya ke
pesantren lain.
Tidak cukup banyak catatan yang
memperlihatkan perkembangan awal pembaharuan pendidikan di tubuh NU. Baru pada
akhir tahun 1938 komisi perguruan NU mengeluarkan aturan tentang susunan
madrasah yang harus dijalan mulai tahun 1939. Susunan madrasah NU adalah sbb:
1)
Madrasah awaliyah, lama belajar 2 tahun
2)
Madrasah ibtidaiyah, lama belajar 3
tahun
3)
Madrasah Tsanawiyah, lama belajar 3 tahun
4)
Madrasah Mu’allimin Wusta, lama belajar 2 tahun
5)
Madrasah Mu’allimin ’Ulya, lama belajar 3 tahun
Selain perkembangan madrasah yang
telah dikemukan di atas masih banyak madrasah yang tumbuh dan berkembang di
awal abad 20 seperti yang dilakukan Persis dan Perstuan Ulama.
D.
Madrasah Setelah Kemerdekaan
Untuk mendapatkan legalitas hukum atas pelaksanaan
pendidikan agama Islam sejak kemerdekaan terjadi tarik menarik antara kelompok
yang pro dan kontra. Bagi yang pro berpendapat pendidikan agama Islam penting
diberikan di sekolah umum sedangkan yang menentang berpendapat agama cukup
diganti dengan budi pekerti karena agama sama dengan fikih. Kelompok pro
berpandangan agama tidak sekedar fiqih, tetapi juga tentang moral.
Dari serangkaian panjang perkembangan legalitas hukum
pendidikan agama Islam di sekolah, maka perlu dicatat bahwa ketetapan MPRS No.
XXVII/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 yang berbunyi pendidikan agama Islam
menjadi pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai
universitas negeri sebagai perubahan mendasar terhadap pendidikan agama di sekolah
umum negeri dari yang semula tidak wajib menjadi wajib diikuti oleh peserta
didik.
Pasal 1 dari pasal tersebut pendidikan agama menjadi
mata pelajaran di sekolah-sekolah dari Sekolah Dasar sampai
Universitas-universitas negeri dan pasal 4, point (a) Mempertinggi
mental-moral-budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama. Penetapan ini
makin mengukuhkan status dan kedudukan pendidikan agama di sekolah-sekolah
umum. Implikasi dari diterbitkannya Tap MPRS ini adalah lahirnya peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudyaan tanggal 23 Oktober
1967 yang menetapkan jumlah jam mata pelajaran agama di sekolah. Karena hampir
seluruh sekolah negeri di Indonesia di isi oleh murid-murid yang beragama
Islam, maka aturan tersebut tidak langsung meletakkan pendidikan agama Islam
pada posisi tersebut.
Berikut, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
tujuan pendidikan nasional adalah
mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur, memiliko pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab dan kebangsaan.
Pasal 39 ayat 2 Undang-undang tersebut menyatakan
bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat
pendidikan pendidikan Pancasila, agama dan kewarnegaraan. Ini menjadi
perkembangan baru bagi pendidikan agama Islam tidak hanya wajib bagi sekolah
negeri tapi bagi sekolah umum lainnya.
Kemudian, menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Menurut pasal
36 ayat 2 Undang-undang tersebut bahwa
kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan antara lain peningkatan iman
dan takwa, peningkatan akhlak mulia dan agama.
Sedangkan menurut pasal 37 ayat 1 dan 2
kurikulum pendidikan dasar,
menengah dan tinggi wajib memuat antara pendidikan agama.
Melihat dua Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
di atas, khususnya mengenai pasal yang membicarakan kurikulum terlihat bahwa
kurikulum pendidikan agama Islam memiliki kedudukan yang sangat penting dalam
kurikulum nasional, bahkan terjadi peningkatan posisinya dari 1989 ke 2003. Hal
ini terlihat bahwa pada UU tahun 1989
kurikulum wajib memuat pendidikan agama, sedang pada UU tahun 2003 kurikulum disusun dengan
memperhatikan peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia dan agama.
Hal ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi pendidikan agama Islam untuk
berbuat lebih banyak dalam membangun dan mengembangkan manusia Indonesia.
E. PENUTUP
Pendidikan dalam Islam bukan hanya
kewajiban, tapi ia merupakan kebutuhan, sehingga semenjak Islam ada pendidikan
Islam turut hadir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
disuatu daerah, tempat atau negara.
Keberadaannya sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial politik
masyarakat. Madrasah Indonesia yang hadir abad 20 dalam masa penjajahan
kolonial Belanda juga diwarnai oleh berbagai hal tersebut.
Dari tulisan dapat ditarik beberapa
kesimpulan sbb:
1. Madrasah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang khas dan
berbasis pada ajaran-ajaran dasar Islam.
2.
Sistem madrasah adalah perpaduan sistem pendidikan sekolah dengan sistem
pendidikan Pesantren.
3. Madrasah di Indonesia hadir sebagai jawaban tantangan dari zaman dan
sebagai sikap perlawan terhadap Belanda.
4.
Madrasah timbul dari gagasan perorangan dan/atau organisasi.
5. Pembaharu pendidikan Islam Indosia secara umum adalah orang-orang yang
pernah mengenyam pendidikan Barat dan bersentuhan dengan perkembangan pemikiran
Timur Tengah.
6.
Madrasah awal abad 20 telah melahirkan tokoh-tokoh nasional Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Asrohah, Hanum,
Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 1999.
Daulay, Haidar
Putra, Historis dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta
: Tiara Kencana, 2001.
Departemen Agama, Al Quran dan
Terjemahan
Fadjar, A. Malik, Visi
Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta: LP3NI, 1998.
Gibb, HAR and H. Kramers, Shorter
Encyclopedia of Islam, Leiden : E.J. Brill, 1981.
Hamka, Ayahku : riwayat hidup Dr. H.
Abdul Karim Amrullah dan perjuangan kaum agama di Sumatra, Umminda
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : lintasan
sejarah pertumbuhan dan perkembangan, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2001.
Ilyas,
Yunahar, Tafsir Tematis Cakrawala Al-Quran, Yogyakarta, Suara
Muhammadiyah, 2003
Keputusan Bersama Tiga
Menteri Tahun 1975, pasal 1
Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam
di Indonesia : rekonstruksi sejarah untuk aksi, Malang : UMJ Press,
2006.
Maksum, Madrasah : sejarah dan
perkembangannya : Jakarta, Logos Wacana Ilmu 1999.
Mulkan, Munir, Pesan dan Kisah Kiai
Ahmad Dahlan Dalam Hikmah Mmuhammadiyah, Yogyakarta : Suara
Muhammadiyah, 2007.
Mursyid, Ali, kangalimursyid.blogspot.com/2007/05/urgensi-penguatan-civic-educati
Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam
atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Edisi
Indonesia, Surabaya: Risalah Gusti: 1996.
Nata, Abuddin, Tokoh- Tokoh Pembaharuan Pendidikan
Islam di Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005.
Nizar, Samsul, Sejarah dan
Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam : potret Timur Tengah era awal dan
Indonesia, Ciputat : Quantum Teaching, 2005.
Presiden, UU No.20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Salyalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan
Islam, terjemahan : Muchtar Jahya dan Sanusi Latief, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Sejarah Pendidikan Sumatra Barat : pendidikan abad ke 20, pakguru online.net,
Steenbrink, Karel
A, Pesantren, Madrasah, Sekolah,
Jakarta : LP3ES.
Suwendi, Sejarah
dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004.
Yunus, Mahmud, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mutiara, 1979.
Zuhairini, dkk, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara,
2006.