LINGKUNGAN HIDUP DARI MASA KE MASA
DAN PERMASALAHNNYA
Drs. H. Sumardi, MA
A.
Lingkungan Hidup dan Problematika
1.
Pengertian Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup terdiri dari dua kata yaitu :
lingkungan dan hidup. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), kata lingkung berarti memberi batas (pagar)
sekeliling, sedangkan lingkungan adalah daerah (kawasan dan sebagainya) yang
termasuk di dalamnya, semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan. Menurut
Dirdjosoemitro, lingkungan secara harfiah berarti sekeliling atau sekitar,
sehingga suatu lingkungan selalu menggambarkan keadaan yang kompleks karena
adanya berbagai faktor, misalnya cahaya, suhu, tanah, air, dan kelembaban
udara. Kata hidup
diartikan sesuatu masih terus ada, bergerak, masih berjalan dan tetap menyala.
Menurut Gunawan Suratmo, lingkungan hidup dapat diartikan
sebagai segala sesuatu di sekitar obyek yang saling mempengaruhi. Sedangkan Undang-undang No. 32 Tahun 2009 pasal 1 (1)
menyatakan bahwa lingkungan
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan dan mahluk hidup,
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain. Ada keterkaitan dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain.
Dari beberapa defenisi di atas dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa lingkungan hidup adalah daerah, semua benda dan daya yang mengelilingi, serta keseluruhan keadaan yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
makhluk hidup. Jadi kalau berbicara tentang lingkungan hidup bumi, maka yang
dimaksud adalah semua yang terdapat di langit dan di bumi, termasuk keadaan di
dalamnya.
2.
Hubungan Manusia dengan Lingkungan
Mencermati hubungan manusia dengan
lingkungan hidup yang telah terjadi selama ini, tidaklah selamanya manusia itu
menjadi penentu keadaan lingkungan. Artinya hubungan itu tidaklah sepenuhnya
berjalan satu arah. Adakalanya lingkungan sangat berpengaruh terhadap manusia.
Seluruh aspek budaya, perilaku bahkan nasib manusia dipengaruhi, ditentukan dan
tunduk kepada lingkungan.
Pada suatu saat alam pernah dianggap mempunyai kekuatan yang menentukan
sehingga menjadi sesembahan. Walaupun sudah modern dan beberapa hal sudah
berubah, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa alam dan lingkungan masih tetap
menjadi faktor penentukan dan membentuk kepribadian, pola-pola hidup dan
organisasi sosial manusia, baik di kota maupun di desa.
Manusia dari alam lingkungan
pertanian akan berbeda dengan manusia yang hidup dan lahir di tengah perkotaan
yang berlingkungan gedung-gedung bertingkat. Determinasi lingkungan
mempengaruhi watak mereka. Lingkungan fisik daerah pertanian didominasi oleh
hukum-hukum alam yang berkaitan dengan sistem biologis. Lingkungan ini memiliki
hukum keteraturan tertentu yang bersifat evolutif dan cenderung jauh dari
intervensi manusia. Keadaan ini tentu akan mempengaruhi
sifat-sifat atau watak manusia-manusianya.
Sebaliknya manusia juga
mempengaruhi dan menentukan keadaan dan bentuk lingkungan sehingga terjadinya
perubahan demi perubahan. Lingkungan hidup dengan proses alaminya mampu merespon
perubahan tersebut dalam bentuk perubahan pula. Apabila perubahan itu
menimbulkan efek negatif terhadap kesejahteraan manusia maka terjadilah apa
yang disebut masalah lingkungan. Saat ini jumlah ekosistem
yang belum dipengaruhi oleh aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak
langsung hanya tinggal sebagian kecil saja dan sebagian besar telah dalam
bentuk masalah.
Negara-negara di dunia
telah sepakat bahwa masalah lingkungan harus segera diselesaikan. Hanya dalam
menentukan siapa yang paling bertanggung jawab timbul pertentangan. Hal ini
terjadi karena terdapat perbedaan antara negara maju yang menikmati kekayaan
alam dan menyebabkan rusaknya lingkungan dengan negara-negara berkembang yang
masih mengaharapkan sumber daya alam sebagai modal pertumbuhan ekonomi negara
masing-masing. Adanya perbedaan kepentingan ini menimbulkan perdebatan yang
hebat dan tidak jarang dalam sebuah pertemuan lingkungan hidup tingkat dunia
hasilnya tanpa kesepakatan semua anggota.
Sebenarnya, dunia
ini tidak akan satu kata ketika berbicara tentang pertahanan keamanan, ekonomi
dan agama, karena masing-masing negara-negara punya tujuan dan kepentingan
sendiri-sendiri. Tidak demikian halnya ketika membicarakan tentang pelestarian
dan perlindungan planet ini, subyek dan tujuannya sama dan kita semua hidup di
planet yang sama. Desakan kuat penyelamatan lingkungan
dari berbagai kalangan dan dari keadaan lingkungan itu sendiri telah
menimbulkan keinginan untuk menciptakan masyarakat global baru yang
bertumpu dari rasa tanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Hal ini telah menyatukan para
pakar, organisasi-organisasi dan aktivis-aktivis lingkungan dari Barat dan Timur Tengah. Ketika berbicara
isu lingkungan hidup dapat menjadi kekuatan pemersatu antara Timur dan Barat.
Ketika seorang Muslim bicara tentang kebutuhan akan energi alternatif yang
berkelanjutan misalnya, seorang Kristen atau Yahudi juga sepakat tentang
kebutuhan yang sama. Kalaupun kemudian
timbul perbedaan antar negara bukan karena persoalan lingkungan itu sendiri,
melainkan lebih kepada kepentingan ekonomi.
Perhatian
dunia dalam bentuk kepedulian kepada lingkungan hidup yang kemudian sampai menjadi agenda pertemuan rutin bagi organisasi dunia
PBB tentang lingkungan hidup, bukanlah suatu hal yang datang tiba-tiba dan
seketika tetapi merupakan akumulasi pengalaman dan pemikiran atau gerakan dalam rentang waktu yang sangat panjang.
B.
Lingkungan Hidup dalam Wacana Internasional
1.
Perkembangan
Masalah Lingkungan Hidup
Sepanjang sejarah masyarakat Bumi manusia
telah
beradaptasi dengan berbagai kondisi lingkungan hidup atau ekosistem di mana
mereka tinggal. Hingga
batas tertentu, semua peradaban dibentuk oleh kualitas elemen-elemen alami
sekitar mereka. Sejarah masyarakat yang berbeda tidak dapat dipisahkan dari
kondisi alam di mana mereka telah hidup. Alam juga mengilhami kebudayaan
manusia, seni, sastra dan sains yang tidak dapat dipahami atau bahkan
dibayangkan tanpa mengakui adanya pengaruh alam dan komponen-komponennya. Dengan demikian, keragaman budaya muncul dari
keaneka-ragaman hayati berbagai makhluk dalam suatu ekosistim.
Menurut Antonio Maroni, sebagaimana dikutip oleh Rachmad K Dwi Susilo
bahwa tahapan-tahapan terpenting dan krusial hubungan manusia dengan lingkungan
dibagi menjadi tiga tahap, yakni masa keseimbangan alam, masa ketidakseimbangan
alam dan masa sekarang. Walau secara umum dapat dibagi dua saja yaitu masa keseimbangan alam, masa
ketidakseimbangan alam.
Masa keseimbangan alam
terdapat dalam masa Paleolitikum (590.000 SM), di mana manusia sangat
tergantung kepada alam. Manusia masih menyandarkan hidupnya sebagai pemburu,
pencari ikan dan pencari buah-buahan di hutan. Kehidupan mereka sangat sederhana dan
bersahaja sehingga kalau mereka berburu ataupun membunuh hanya sekedar untuk
hidup. Tindakan mereka masih dalam batas-batas toleransi kekuatan alam.
Sementara itu, masa
ketidakseimbangan alam mulai terjadinya perubahan lingkungan fisik sejalan
dengan perubahan kebudayaan dan cara hidup manusia. Dua perubahan besar yang
bersifat mendasar bagi kehidupan manusia yakni pertama Revolusi Neolitikum
dimana manusia mulai menyadari bahwa mereka berbeda dari binatang, mulai
membudidayakan dan mulai cenderung untuk hidup menetap ; dan yang kedua
Revolusi Industri. Secara pasti, sejalan dengan kesadaran tersebut manusia mulai
merasa unggul dari lingkungan dan mengusainya. Bahkan pada revolusi industri di masyarakat Barat menghasilkan
perubahan lingkungan fisik lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya karena diperkenalkannya mesin-mesin dan
berdiri industri-industri besar. Hubungan timbal
balik antara manusia dan lingkungan berubah dari harmonis menjadi bentuk
intervensi.Terjadinya perubahan di awali oleh perubahan berpikir secara
revolusi pada abad 17. Hal ini berakar dari cara pandang manusia tentang alam
dan lingkungannya. Cara pandang dikhotomis yang memisahkan manusia dari alam
dan alam sebagai sesuatu yang perlu dikuasai
serta paham bahwa manusia adalah pusat dari sistem dan alam dianggap
sebagai tempat melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Alam dianggap alat pemenuhan kesenangan manusia dan
manusia bebas melakukan apapun tehadap lingkungan hidup.
Ini berarti apapun yang dilakukan terhadap alam tidak lagi
diletakkan sebagai tujuan tindakan sosial manusia, melainkan ia hanya dinilai
sebatas alat kepentingan dalam menggapai kesejahteraan manusia. Akibatnya,
masalah-masalah lingkungan hidup yang tidak memberi keuntungan bagi manusia
akan ditelantarkan, tidak diacuhkan bahkan dikesampingkan. Secara linier, cara
berpikir ini melempangkan jalan bagi manusia untuk terjerumus pada kepongahan,
keangkuhan dan eksploitatif terhadap lingkungan hidup dan melegitimasi kekuasan absolut manusia terhadap lingkungan. Semua hal tersebut
menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan hidup.
Menurut
Lynn White, pandangan antroposentris (manusia sebagai pusat kekuasaan dan
manusia bukan bagian dari alam) berakar dari pandangan Kristen terhadap alam,
bahwa kitab Kej 1 : 28 - yang memberi izin kepada Adam dan Hawa
untuk berbuat semaunya dengan bumi, dan kitab Kej 3 : 19 yang akhirnya mendorong
mekanisasi dan polusi. White
menuduh agama monoteis punya andil besar dalam kerusakan lingkungan dan oleh
karenanya ia menganjurkan untuk kembali ke agama panteisme. Walaupun kemudian
ada yang membantah pendapat tersebut (tentu ada yang sependapat) dengan
memberikan penafsiran yang berbeda terhadap ayat tersebut dan/atau menggunakan
kitab dan/ayat lain yang berbicara tentang lingkungan sebagai alasannya. Namun
pandangan White tersebut dapat juga dibenarkan, karena perubahan cara pandang
itu terjadi ketika zaman Renaissan berkembangan, zaman dimana Eropa
mencoba melepaskan diri kungkungan Gereja. Boleh jadi para pendukung Renaissan
hanya meninggalkan ajaran-ajaran yang hanya menghambat atau menghalangi kemajuan, tetapi tetap mengambil dan memakai
pandangan yang mendukung langkah mereka.
Di
sisi lain, pendapat White dapat dibenarkan karena memang ditemui pula bahwa
agama-agama politeis dan animisme semenjak masa Peradaban Kuno-Pra-Sejarah dan Peradaban
Awal telah mempunyai kepedulian terhadap lingkungan. Jadi tidak mengherankan
kalau orang yang peduli lingkungan di era ini banyak ditemukan di Asia, seperti
para penganut Buddhisme dan Jainisme
Buddha (tahun 600-500 SM). Di antaranya Mahavir
(seorang guru Jainist) menekankan pentingnya vegetarisme dan kasih
sayang untuk semua makhluk, Raja
Asoka (Piyadasi, 256 SM di India,) mengeluarkan Dekrit Tujuh Pilar yang isinya
menyatakan perlidungan terhadap berbagai jenis hewan, Devanampiyatissa
(raja Sri Lanka tahun 247 SM) telah melarang membunuh atau
menyakiti mahluk hidup dan memperuntukkan area luas di sekitar istananya
sebagai tempat perlindungan terhadap semua flora dan fauna yang dinamakan
Mahamevuna Uyana dan diyakini sebagai tempat pertama di dunia. Sampai saat ini kenyataan memang
demikian, kelompok-kelompok masyarakat yang menganggap alam punya kekuatan maka
lingkungan hidupnya terpelihara dengan baik.
Pendapat White dapat juga tidak benar
karena agama monoteis yang dibawa Nabi Muhammad saw. (tahun 570-622) punya
kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan. Menurut sarjana Islam Jasmi Bin
Abdul, "Perawatan dan cinta terhadap satwa liar telah mendapat perhatian,
baik dalam al-Qur'an maupun Sunnah (tradisi Nabi)”. Dalam ayat 54:28 misalnya,
Allah memerintahkan kepada kaum Samud lewat lisan Nabi Shalih agar mau berbagi
air dengan unta betina dan masing-masing mempunyai giliran untuk mempergunakan
sumber airnya. Dalam
Sunnah Nabi Muhammad saw.-pun terdapat banyak contoh yang menunjukkan bahwa
beliau seorang penganjur kebaikan kepada hewan. Salah satu sunnah beliau
menjelaskan, bahwa Allah menghukum seorang wanita karena mengurung kucing
sampai kucing itu mati kelaparan. Sebaliknya, dalam hadis yang lain beliau
menyampaikan Allah mengampuni dosa-dosa seorang pelacur karena dia memberi minum seekor anjing yang kehausan. Ini menunjukkan betapa berbuat baik
terhadap sesama makhluk memiliki nilai sangat tinggi dihadapan Allah. Demikian pula dalam kegiatan ibadah haji terdapat bagian dari pendidikan
lingkungan dengan adanya larangan membunuh hewan dan menebang pohon.
Betapapun perbedaan
pendapat tersebut, baik setuju atau tidak yang jelas sekarang ini kerusakan
lingkungan sudah menjadi kenyataan. Walaupun penanggulangan sudah dilakukan
mengiringi akibat yang ditimbulkannya namun tetap belum memadai.
2.
Pengaruh
Ilmu Pengetahuan danTeknologi
Manusia membutuhkan
lingkungan hidup untuk kebutuhannya. Aktivitas manusia telah merubah lingkungan
hidup. Luas dan cepatnya perubahan itu menjadi kunci bagi revolusi lingkungan
hidup. Jika melihat sejarah manusia beribu-ribu tahun yang lalu telah terjadi
suatu akselerasi perubahan lingkungan hidup, baik dalam keaneka ragaman maupun
dalam kecepatan intervensi yang saling susul menyusul.
Beberapa penemuan baru di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi dianggap keberhasilan besar karena keuntungannya
bagi manusia mendahului kerugiannya. Penemuan baru yang sekaligus bentuk
intervensi dimulai yaitu penggunaan tenaga bukan manusia untuk mempertinggi
kegiatan manusia. Pada mulanya manusia mempergunakan tenaga binatang untuk
melaksanakan tugasnya. Kemudian api memainkan peranan dalam inovasi teknis
paling awal cara pertanian menetap. Teknik pertanian yang paling pokok adalah
tebang dan bakar. Api kemudian juga dipergunakan menciptakan alat-alat baru dari logam baik
untuk keperluan berburu dan bertani ataupun alat-alat peperangan. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi seakan-akan berpacu antara satu dengan yang lain,
tetapi dalam bentuk saling mendukung yang makin mengokohkan intervensi manusia
terhadap lingkungan.
Pada
era Industrial
Revolution tahun 1810-1890
ilmu
pengetahuan dan teknologi makin berkembang dengan cepat yang menimbulkan
terjadinya pemakaian sumber daya alam meningkat secara
tajam dari era sebelumnya. Sekaligus terjadi pula peningkatan kerusakan
lingkungan hidup. Penemuan-penemuan besar, seperti mesin uap oleh James Watt
(insinyur berkebangsaan Skotlandia) pada tahun 1763, telah berimplikasi kepada
meningkatnya kebutuhan bahan bakar dan bahan baku alam berarti menambah rusak
lingkungan.
Disamping itu, penderitaan dan kerugian juga dirasakan
secara langsung sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
tersebut, baik yang memang sengaja diciptakan atau tidak. Kecelakaan dalam
dunia industri bisa menyebabkan masalah serius bagi lingkungan hidupnya,
seperti terjadi di Bhopal yakni meledaknya Union Carbide Co (pabrik pupuk
kimia) yang mengkibatkan 2000 orang mengalami kematian, dan kerugian
lainnya. Meledaknya Reaktor
nuklir Chernobyl menyebabkan sekitar 4.200 orang meninggal dunia baik yang
seketika maupun dalam jangka menegah. Kecelakaan ini jauh lebih ganas dari senjata
pemusnah masal, karena efeknya tidak termasuk dalam hitungan produksi dan di
luar perkiraan perancangnya.
Hasil ilmu dan
teknologi (industri) berbentuk peralatan perang juga telah menjadi pembunuh
manusia dan penghancur lingkungan yang sangat ampuh. Dalam perang zaman modern
sangat mengutamakan kecanggihan peralatan (senjata dengan daya bunuh yang berlipat ganda). Perang Dunia II telah menjadi saksi keganasan
senjata pembunuh masal tersebut, jauh lebih menggerikan dari yang diperkirakan.
Bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat pada 6 dan 9 Agustus 1945 di atas dua kota di Jepang yaitu Hiroshima
dan Nagasaki telah meluluh-lantak kota-kota tersebut. Akibat radiasi zat radio
aktif tidak hanya berakibat jangka
pendek, tetapi juga mempunyai efek berjangka panjang baik dalam bentuk kematian
yang tertunda, cacat permanen dan kanker. Demikian pula dengan perang-perang di
zaman sekarang juga berdampak luas bagi lingkungan hidup.
Belakangan, hal yang sangat
mengkhawatir para ahli lingkungan adalah Global Warming atau pemanasan global. Global
Warming adalah peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi. Konstributor terbesar dari efek rumah adalah Karbon Dioksida (CO2)
karena konsentrasinya di atmosfir sangat tinggi dan selalu jumlah meningkat. Semakin
tingginya kadar CO2 di atmosfir karena adanya peningkatan pemakaian
BMM setiap hari, kebakaran/pembakaran hutan di satu sisi, dan berkurangnya
jumlah pepohonan yang akan menyimpannya pada sisi lain.
Selanjutnya, berbagai dampak negatif
muncul akibat adanya pemanasan global tersebut, yakni : pertama
terjadinya ketidakseimbangan alam dan perubahan iklim secara ekstrim. Kedua,
mencairnya es di kutub Utara dan Selatan berjalan jauh lebih cepat dari yang
telah diprediksi para ahli sebelumnya. Mencairnya es di kutub pasti diikuti
meningkatnya level permukaan air laut. Ketiga, semakin seringnya gelombang panas
terjadi yang menyebab kematian manusia dan ikan air tawar di daerah yang
dilaluinya, serta merusak hasil pertanian dan memicu terjadinya kebakaran
hutan. Keempat, mencairnya gletser abadi di berbagai pegunungan dunia. Pada
saat ini hal tersebut tidak dapat dicegah lagi karena semuanya telah terlanjur
dilakukan oleh manusia.
Cara pandang terhadap lingkungan
hidup yang disertai dengan kemampuan berpikir dan didukung ilmu pengetahuan dan
teknologi membuat manusia mampu membuka dan mendobrak lahan baru serta
melakukan sesuatu tindakan melebihi makhluk lain sehingga merusak dan merubah
lingkungan hidup dengan ekosistem. Sehubungan dengan hal itu, manusia dikenal
dengan berbagai istilah, yaitu :
a. Manusia makhluk dominan secara ekologik, manusia
memiliki kemampuan berkompetisi paling tinggi dan memberikan pengaruh yang
besar terhadap lingkungan tempat hidupnya atau terhadap organisme lain.
b. Manusia pembuat alat. Untuk mempemudah,
memperingan dan mempercepat pekerjaannya manusia menciptakan berbagai alat
mulai dari yang sederhana sampai yang rumit.
c. Manusia sebagai pembudidaya. Untuk
memperbanyak yang diinginkan manusia melakukan budidayakan terhadap hewan dan
tumbuhan serta menciptakan habitat baru.
d. Manusia makhluk perampok. Eksploitasi
manusia terhadap ekosistem sering tanpa mempertimbangkan hak-hak
makhluk-makhluk lainnya termasuk hak hidupnya, sehingga manusia dikenal dengan
makhluk perampok.
f. Manusia sebagai pengotor. Manusia dalam
aktivitas hampir selalu meninggalkan berbagai bahan pengotor/ zat limbah baik
berbentuk padat, cair maupun gas yang tidak mampu atau tidak bisa diterima oleh lingkung, sehingga makin menumpuk jumlahnya.
3.
Perkembangan Kepedulian terhadap Lingkungan Hidup
Sesungguhnya sepanjang manusia berinteraksi dengan
lingkungan hidup yang kemudian menimbulkan masalah-masalah atau dampak yang
tidak menguntung, telah memberi pengalaman dan pengajaran kepada manusia bahwa banyak
dari perbuatan mereka berakibat buruk kepada lingkungan hidup. Secara bertahap
kemudian muncul orang-orang, kelompok orang, negara-negara dan persatuan
negara-negara yang peduli terhadap lingkungan dan Environmental History
Timeline telah mencatatnya dari zaman pra sejarah sampai zaman
sekarang.
Bentuk-bentuk kepedulian tersebut bermacam-macam. Ada
dalam peraturan-peraturan, aksi-aksi dan ada pula dalam bentuk pemikiran. Pada tahun 1150 Raja Nissanka
Malla dari Sri Lanka dengan sebuah dekrit terukir di batu yang menyatakan bahwa
tidak boleh ada hewan yang dibunuh dalam daerah tertentu. Dalam
bentuk pemikiran seperti yang
dikemukakan oleh Prof. Agustinus Mouchot pada tahun 1860 dari Lycee de Tours Perancis
mengusulkan dan mencontohkan tentang penggunaan energi surya sebagai
sumber energi alternatif. Mohandas K. Ghandi
yang lahir 2 Oktober 1869 (India) berjuang tanpa kekerasan. Idenya tercermin
dalam satu unggapannya yang terkenal "Hiduplah dengan sederhana sehingga
orang lain juga dapat hidup”. Manusia juga harus mencintai alam, tempat dimana ia hidup. Alam dapat
menjadi lestari berkat adanya rasa sayang timbal balik. Kemudian
dalam bentuk gerakan, timbul protes masyarakat atas kehadiran industri yang
menggangu lingkungan, seperti yang dilakukan Benjamin Franklin bersama
tetangganya dan Ellen Swallow Richards pada tahun 1869, seorang wanita pelopor
dari Massachusetts percaya bahwa lingkungan merupakan faktor utama dalam
menentukan kualitas hidup manusia.
Dari persatuan
negara-negara muncul pula kesepakatan. Sejalan dengan laju perkembangan pembangunan di berbagai
bidang; meningkat ekonomi ; dunia industri, kesadaran terhadap lingkungan juga
semakin meningkat. Kesadaran dan kepedulian ini telah mendorong negara-negara
dunia untuk duduk bersama membicarakan masalah-masalah lingkungan hidup dan
pemecahannya. Hal ini terjadi tentu tidak terlepas dari kehadiran PBB sebagai
forum negara-negara di dunia serta semakin lancar dan mudahnya komunikasi.
Pada 5 Juni 1972 diselenggarakanlah
Konferensi PBB pertama tentang Lingkungan Hidup Sedunia di Stockholm, Swedia.
Konferensi dapat dianggap sebagai pengejawantahan kesadaran masyarakat
internasional akan pentingnya kerja sama dalam penanganan masalah lingkungan
hidup dan sekaligus menjadi titik awal pertemuan-pertemuan berikutnya yang
membicarakan masalah pembangunan dan lingkungan hidup. Konferensi Stockholm
dengan motto “Hanya Satu Bumi” itu menghasilkan deklarasi dan rekomendasi yang
dapat dikelompokkan menjadi lima bidang utama yaitu permukiman, pengelolaan
sumber daya alam, pencemaran, pendidikan dan pembangunanSepanjang sejarah konferensi
dunia tentang lingkung hidup tidak selama berjalan mulus. KTT Perubahan Iklim tahun 1997 di Kyoto, ditetapkannya
Protokol Kyoto mengenai Perubahan Iklim setelah negosiasi yang intensif dan
alot. Sebagian besar negara-negara industri dan sebagian Eropa ( negara
transisi ekonomi) sepakat untuk mengikat secara hukum pengurangan emisi gas
rumah kaca rata-rata 6% sampai 8% antara tahun 2008-2012, tetapi
Amerika keberatan dan kemudian Presiden George W. Bush meminta kepada
Senat Amerika untuk tidak meratifikasi Protokol Kyoto ini, dengan alasan industrinya akan mengalami bencana.
Kemudian pada bulan Agustus-September 2002
diadakan World Summit on Sustainable Development, di Johannesburg,
Afrika Selatan juga menghasilkan ketidakpuasan bagi peserta. Timbul
tudingan bahwa para pemimpin dunia sudah terjual kepada organisasi perdagangan dunia
dan bisnis besar. Tudingan tidak bisa dibaikan, Amerika misalnya sering
kali tidak mau menanda tangani kesepakatan-kesepakatan internasional
pengurangan emisi gas karbon untuk melindungi dunia industri mereka.
Demikian juga dengan KTT Perubahan Iklim ke-15 yang
digelar di Kopenhagen Denmark pada Desember 2009, menghasilkan
Kesepakatan Kopenhagen (”Copenhagen Accord”) yang dihasilkan lewat
mediasi Presiden Amerika Serikat Barack Obama dengan China dan beberapa negara
besar lainnya tidak memuaskan banyak peserta. Kesepakatan tersebut dicela oleh
negara-negara berkembang karena kesepakatan itu tidak mengikat dan tidak
menetapkan batas waktu tertentu untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Fenomena lain
yang terlihat dalam alotnya KTT di Kopenhagen ini. Dalam dua tahun terakhir,
laporan mengenai top 10 risiko bisnis global yang dibuat Ernest Young
menyebutkan bahwa risiko besar bisnis tahun 2009 adalah yang disebut radical
greening. Ini merujuk kepada tekanan internasional untuk menjalankan bisnis
secara hijau. Meski gagasan hijau tersebut patut didukung, namun terlihat bahwa
sikap bisnis internasional terhadap gerakan lingkungan hidup global semakin
mengeras. Ini muncul karena bisnis raksasa mulai melihat gerakan hijau tersebut
bukan lagi sebagai kesempatan, tetapi lebih banyak sebagai risiko atau ancaman.
Tampak perhatian negara besar tidak lagi kepada lingkungan hidup, namun kepada
daya saing industri mereka.
Bagaimanapun, berbagai
pertemuan tingkat tersebut telah menghasil berbagai kesepakatan dan
rekomendasi. Hanya saja tidak mudah
untuk mengimplementasikan hasil
tersebut, dengan berbagai alasan seperti masalah ekonomi, kesadaran itu hanya
sebatas lembaga pemerintah sedangkan rakyatnya belum serta demi kesejahteraan
rakyat.
Akibatnya kerusakan lingkungan hidup tetap lebih di depan dari pada
penanggulangannya
C.
Lingkungan Hidup Dalam Wacana Nasional
1.
Sejarah Lingkungan Hidup Indonesia
Gerakan lingkungan hidup di Indonesia telah dimulai
semenjak tahun 1960-an. Kegiatan lingkungan yang dipakai sebagai tonggak
sejarahnya di Indonesia adalah ketika Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara
(PAN) mengadakan rapat mengenai pengelolaan lingkungan hidup dan pencegahan
pencemaran pada tahun 1972. Berikut, adalah
berdirinya Lembaga Ekologi pada tanggal 23 September 1972 oleh
Universitas Padjadjaran Bandung dan dilaksanakannya seminar tentang
“Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional” pada tanggal 15-18 Mei
1972 di Bandung. Seminar itu membahas “Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan
Manusia : Beberapa Pikiran dan Saran”, sebagai persiapan Indonesia dalam
konferensi lingkungan hidup di Stockholm. Berikut
yang patut dicatat juga adalah diangkatnya seorang Menteri Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) pada kabinet pembangunan III
(1978-1983). Semenjak itu, ada departemen khusus yang
mengawasi pembangunan dan lingkungan hidup di Indonesia.
Apabila melihat sejarah lingkungan hidup Indonesia, maka
semenjak pemerintahan Belanda telah punya perhatian yang cukup besar terhadap
lingkungan dengan telah diterbitkannya Visscheri Jordonnantie (Stbl 1920
No 396) yang merupakan Ketetapan Gubernur Jenderal No. 86 tertanggal 26 Mei
1920 tentang perikanan. Ketetapan ini untuk melindungi keadaan ikan dan adapun
yang dimaksud dengan ikan meliputi pula telur ikan, benih ikan dan segala macam
kerang-kerangan. Di masa ini sudah diterbitkan pula aturan untuk perlindungan
satwa dan terakhir pada tahun 1940-an telah diterbitkan aturan tentang cagar
alam suaka margsatwa.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Indonesia
ikut mempersiapkan bahan konferensi lingkungan hidup di Stockholm pada tahun
1972. Indonesia
hadir sebagai peserta konferensi tersebut dan turut menandatangani kesepakatan
untuk memperhatikan segi-segi lingkungan dalam pembangunan, walaupun persoalan lingkungan hidup
di Indonesia sendiri masih sekedar wacana.
Sebagai tindak lanjut hasil konferensi Stockholm,
pemerintah membentuk panitia interdepartemental yang disebut dengan Panitia
Perumus dan Rencana Kerja Bagi Pemerintah di Bidang Lingkungan Hidup guna
merumuskan dan mengembangkan rencana kerja di bidang lingkungan hidup. Panitia
yang diketuai oleh Prof. Dr. Emil Salim tersebut berhasil merumuskan program
kebijaksanaan lingkungan hidup sebagaimana tertuang dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara Bab III, huruf ayat 10 bahwa dalam pelaksanaan pembangunan,
sumber-sumber alam Indonesia harus digunakan secara rasional. Penggalian
kekayaan alam tersebut harus diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan
hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijakan yang menyeluruh dan dengan
memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang.
Tiga tahun kemudian, Presiden mengeluarkan Keppres
No. 27 Tahun 1975 yang menjadi dasar pembentukan Panitia Inventarisasi dan
Evaluasi Kekayaan Alam dengan tugas pokoknya menelaah secara nasional pola-pola
permintaan dan persediaan serta perkembangan teknologi, baik di masa kini
maupun di masa mendatang berikut implikasi sosial, ekonomi, ekologi dan politis
dari pola-pola tersebut. Hal ini akan dijadikan dasar penentuan kebijakan
pemanfaatan serta pengamanan sumber daya alam sebagai salah satu sumber daya
pembangunan nasional, walau ternyata kemudian sumber daya alamnya habis tujuan pembangunan
tidak tercapai.
Salah satu produk negara di
bidang hukum terkait lingkungan adalah ditetapkannya Peraturan Pemerintah No.
29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang
merupakan pedoman pelaksanaan suatu proyek pembangunan. Setiap proyek yang
diperkirakan memiliki dampak, diharuskan melakukan studi analsis mengenai
dampak lingkungan. Apabila pemilik atau pemrakarsa proyek melanggar besar
kemungkinan proyek tersebut tidak mendapat izin atau akan menghadapi pengadilan
yang dapat memberikan sanksi. Hal ini merupakan
cara efektif memaksa para pemilik proyek yang tidak memperhatikan kualitas
lingkungan dan hanya mementingkan keuntungan besar yang diperoleh tanpa
memperhitungkan dampak perbuatannya.
Berdasarkan Keppres No. 23
Tahun 1990 dibentuk Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) yang bertugas
melaksanakan pemantauan dan pengendalian kegiatan-kegiatan pembangunan yang
berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Dengan adanya Amdal dan Bapedal
ini diharapkan lingkungan hidup di Indonesia umurnya lebih panjang.
Dasar filosofi dilakukannya
Amdal adalah si penyebab timbulnya pencemaran yang harus membayar. Dengan dasar
itu pemilik proyek haruslah membiayai atau menyelenggarakan Amdal. Ini terkait dengan
pengendalian dampak yang harus sampai pada batas-batas yang dibolehkan,
pemulihannya dan kompensasi terhadap masyarakat yang menderita akibat dampak
yang ditimbulkan.
Melihat kenyataan yang ada, menunjukkan
seolah-olah Amdal dan Bapedal tidak dilaksanakan sebaik-baiknya. Hanya dalam
jangka waktu 25 tahun kota-kota besar sebagai tempat proyek-proyek besar
berada, keadaan lingkungan hidupnya sudah sangat memperihatinkan. Tidak ada
lagi sungai yang airnya jernih dan bersih, air tanah sudah sangat berkurang
atau hilang dan udaranya mengandung polutan yang sangat tinggi.
Disisi lain, konsumenlah yang harus menanggung
biaya terbesar. Bahkan dampak tidak langsung dari sebuah proyek khususnya
industri jauh lebih mengerikan, tetapi industri modern tetap tidak memasukkan
tersebut hal ke dalam sistem pembiayaan. Artinya segala disekonomi produksi dan
distribusi yang dihasilkan seperti timbunan sampah padat, muntahan kotoran ke
udara atau penarikan barang bekas tidak ditanggung oleh pihak industri, tetapi
masyarakatlah atau konsumenlah yang kian bertambah bebannya.
Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) terdiri dari 17
Bab dan 127 pasal, betujuan untuk melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup ; menjamin
keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; menjamin kelangsungan kehidupan
makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; menjaga kelestarian fungsi lingkungan
hidup; mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan
hidup; menjamin terpenuhinya keadilan
generasi masa kini dan generasi masa depan; menjamin pemenuhan dan perlindungan
hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; mengendalikan
pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; mewujudkan pembangunan
berkelanjutan; dan mengantisipasi isu lingkungan global.
Dengan telah dikeluarkannya UU tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka bangsa Indonesia telah
mengakui bahwa pemenuhan dan
perlindungan hak atas lingkungan hidup merupakan bagian dari hak asasi manusia,
kemudian juga mengakui
keberadaan kearifan lokal sebagai nilai-nilai budaya bangsa yang mampu melindungi
dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Undang-undang ini juga sebagai
pernyataan bahwa bangsa Indonesia merupakan salah satu negara
di dunia yang ikut ambil bagian dalam rangka pelestarian lingkungan hidup demi
masa depan dunia.
2.
Keterlibatan Masyarakat dengan Lingkungan
Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan diakomodasi Undang-Undang No 32 tahun 2009 melalui pasal 65 bahwa “Setiap orang
berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sesuai dengan peraturan perundang-undangan” dan pasal 67 menyatakan bahwa
“Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”, serta pada Bab XI pasal 70 (1) manyatakan bahwa “masyarakat
memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.” Rupa sudah menjadi
kebiasaan di Indonesia, setiap menteri baru muncul undang-undang atau peraturan
yang baru, tetapi sayang dalam banyak kasus peraturan perundang-undangan
tersebut hanya sebatas di atas kertas. Implementasinya masih jauh dari
kenyataan, karena sosialisasinya tidak dilakukan dengan baik kepada masyarakat,
termasuk Undang-Undang No
32 tahun 2009 tersebut.
Walaupun begitu, jauh sebelumnya yakni pada tanggal 15 Oktober 1980
telah didirikan forum yang dinamakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
yaitu forum komunikasi lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang berminat dan
bergerak di bidang lingkungan hidup yang tidak berafiliasi politik dan tidak
mencari keuntungan (nirlaba). Lembaga ini dapat membantu menyelesaikan pelbagai
persoalan lingkungan melalui pertukaran informasi dengan menyampaikan program-programnya
kepada masyarakat dan menerima masukan dari masyarakat yang tidak bisa
menyampaikan kepada pemerintah, karena kedua kelompok ini
dianggap mempunyai kedekatan dengan masyarakat.
Organisasi lain yang berkiprah di
bidang lingkungan adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pemerhati Lingkungan
Kita (PELITA). PELITA merupakan suatu wadah bagi masyarakat yang lahir dari
kesamaan konsep, visi, misi dan tujuan sama serta memiliki keperdulian sosial
tinggi terhadap lingkungan dan berjiwa sosial untuk selalu menanamkan rasa
keperdulian terhadap lingkungan sebagai suatu persediaan alamiah yang harus di
jaga, dirawat dan disayangi agar dapat memberikan manfaat bagi kehidupan
manusia di muka bumi ini.
Dari perguruan
tinggi juga terdapat lembaga-lembaga pemerhati lingkungan, baik dari kalangan
mahasiswa biasa disebut dengan Mahasiswa Pencinta Alam (MAPALA) maupun dari
kalangan dosen dan peneliti disebut Pusat Studi Lingkungan.
Secara
perseorang juga sudah banyak orang peduli lingkungan dan diapresiasi oleh
pemerintah dengan pemeberian penghargaan Kalpataru. Sejak tahun 1980 hingga
2006, jumlah penerima penghargaan Kalpataru sebanyak 228 orang/kelompok, yang
terdiri dari kategori Perintis Lingkungan sebanyak 64 orang, Pengabdi
Lingkungan sebanyak 58 orang, Penyelamat Lingkungan sebanyak 73 kelompok
masyarakat, dan Pembina Lingkungan sebanyak 33 orang.
Dari data ini dapat dilihat bahwa keterlibatan person
dalam lingkungan jauh lebih tinggi dari bentuk kelompok, namun bila
dibandingkan dengan luas wialyah tanah air maka jumlah masih amat sedikit.
3.
Undang-Undang yang Relevan dengan Lingkungan Hidup
Peraturan perundang-undangan Indonesia yang
terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan sangat banyak
bersifat terperinci dan luas. Yang berkaitan dengan Amdal misalnya terdapat
banyak sekali aturannya mulai dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah, terus
ke bawah sampai kepada Keputusan Kepala Bapedal, sehingga jangankan masyarakat
umum, mungkin orang-orang yang terkait langsung dengan lingkungan belum tentu
mengetahui semua isi dari aturan yang mereka buat. Apalagi sosialisasi dari aturan-aturan
yang ada sangat kurang dan tidak memadai sama sekali.
Peraturan perndang-undangan yang membicarakan
lingkungan hidup antara lain adalah (1) Undang-Undang Dasar 1945 - pada 2002 UUD 1945 ; (2) Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan; (3) Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan;
(4)Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ; (5) Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan;
(6) Undang-Undang
No 30 Tahun 2007 tentang Energi. (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. (8)
Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, dan
masih banyak peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan
hidup. Melihat banyaknya peraturan perundang-undangan tersebut mestinya
lingkungan hidup Indonesia sudah cukup terpelihara, namun kenyataannya tidak.
Hal tersebut juga membuktikan bahwa peraturan perundang-undangan masih berbunyi
di atas kertas, belum dalam implementasi.
Disamping itu sejumlah kesepakatan Internasional juga
telah diratifikasi Indonesia sebagai
salah satu negara berkembang didunia memiliki kepentingan langsung dengan masalah-masalah
lingkungan hidup secara global. Indonesia
berusaha untuk ikut berpartisipasi dalam pemecahan-pemecahan masalah lingkungan
hidup di dunia internasional. Sejauh ini sudah cukup banyak hasil-hasil
konvensi internasional yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia seperti Convention
on Biological Biodiversity (CBD), Climate Change Convention and the Kyoto Protocol (Greenhouse gas
emission reductions), Vienna
Convention for the Protection of the Ozone Layer, dan sebagainya. Artinya dengan meratifikasi hasil-hasil
kovensi tersebut Pemerintah Indonesia menyetujuinya dan bertanggung jawab untuk
melaksanakannya. Ratifikasi juga dapat dianggap sebagai penyampaian pernyataan
formal dari Negara Indonesia untuk terikat terhadap hasil-hasil konvesi tersebut.
Kalau melihat begitu banyaknya peraturan perundang-undangan yang diterbitkan
mestinya terjadi perbaikan yang signifikan terhadap lingkungan, namun semuanya
masih minim aksi.
4.
Persoalan Lingkungan Hidup di
Indonesia
Indonesia adalah adalah salah satu negara tropis
yang kaya akan sumber daya alam. Melimpah ruahnya sumber daya alam Indonesia
sudah sangat terkenal sejak zaman dulu. Penjajahan yang terjadi di tanah air
tercinta ini pun awalnya adalah karena ingin menguasai potensi sumber daya alam
tersebut.
Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara
subur dengan kondisi alam yang sangat mendukung ditambah dengan potensi sumber
daya mineral yang juga sangat melimpah ruah, baru bisa digolongkan sebagai
negara berkembang dengan sebagian besar masyarakat belum sejahtera dan makmur.
Sementara itu potensi sumber daya alamnya sudah mulai menipis, dan bahkan habis
serta meninggalkan lingkungan hidup yang rusak. Melihat kenyataan ini,
terdapat sesuatu yang tidak tepat dalam pengelolaan, khususnya dalam
memanfaatkan sumber daya alam. Aturuan-aturan yang ada belum mampu menjadi
pengendali baik dalam prosesnya mencapai tujuan sehingga tujuannya belum
tercapai tetapi telah menimbulkan berbagai masalah dalam lingkungan.
a.
Kerusakan Hutan
Hutan merupakan salah satu sumber daya yang penting,
tidak hanya dalam menunjang perekonomian nasional tetapi juga dalam menjaga
daya dukung lingkungan terhadap keseimbangan ekosistem dunia. Pembukaan lahan terjadi
melalui penebangan, pembakaran dan pertambangan. Bekas lahan pertambangan batu bara, timah, minyak
bumi dan emas, hampir semuanya menjadi
areal yang rusak dan tercemar yang sulit ditanggulangi.
Menurut WALHI kerusakan hutan Indonesia mencapai
2,7 juta hektar pertahun dan jumlah itu menurut World Reserach Institut 72 persen hutan telah hilang dari jumlah 130
juta hektar hutan Indonesia. Hal ini tidak hanya
mendatang banjir di mana-mana, tetapi juga ikut mempercepat pemanasan global
yang berakhir dengan kehancuran alam. Indonesia menjadi negara dengan laju deforestasi tercepat di seluruh
dunia. Laju deforestasi yang pada periode
1985-1997 adalah 1,6 juta hektar per tahun meningkat menjadi 2,1 juta hektar
per tahun pada periode 1997-2001. Setiap menit area hutan setara dengan
luas lima lapangan sepak bola dihancurkan, sebagian besar untuk dijadikan
perkebunan kelapa sawit dan pulp and paper. Kehancuran hutan tersebut
tidak hanya merugikan Indonesia dalam jangka panjang akan tetapi juga memberikan
sumbangan yang signifikan atas ketidakstabilan iklim dunia.
Sudah menjadi hukum alam, bila salah satu komponen
dari suatu komunitas atau suatu ekosistim dirusak, maka secara berantai
komponen-komponen yang lainnya ikut rusak. Padahal keberadaan hutan
sangat berguna bagi keseimbangan hidrologik dan klimatologik,
termasuk sebagai tempat hidup dan berlindungannya binatang serta tempat
terjadinya siklus kehidupan berbagai makhluk. Tanpa hutan, semuanya yang ada
disana menjadi terhenti.
Selain hutan, juga terjadi penurunan tingkat
kesuburan tanahnya yang disebabkan pemakaian teknologi kimiawi yang over
dosis. Awalnya manusia ingin
memperoleh hasil yang banyak dengan pemakaian pupuk buatan tersebut, tetapi
dalam jangka waktu tertentu bahan tersebut merubah tekstur tanah. Bahkan
pemakaian pupuk kimiawi secara terus menerus ikut merusak ekosistem pertanian,
diantaranya semakin resistensi dan resurjensinya hama dan penyakit tanaman. Hal
tersebut semakin menegaskan bahwa kembali alam menjadi semakin urgen, khususnya
pemakaian bahan-bahan organik dalam pertanian.
b.
Sampah
Salah satu alasan diterbitkannya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah karena sampah
telah menjadi permasalahan Nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan
secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat
secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat
mengubah perilaku masyarakat. Artinya pemerintah menyadari
bahwa pengelolaan sampah selama ini belum secara komprehensif dan terpadu serta
perilaku masyarakat yang kurang terpuji sehingga menyebabkan terganggunya
kesehatan, dan ketidakamanan bagi lingkungan. Menurut UU ini, pengertian sampah
adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk
padat.
Melihat persoalan sampah yang ada di kota-kota besar memberikan tanda
bahwa Undang-undang ini belum memberi pengaruh yang berarti. Volume sampah di Jakarta terus meningkat yang setiap
tahun jumlah sampah yang dihasilkan naik
sebesar 5 persen atau 337 ton per tahun. Kini produksi sampah warga Ibu Kota, Jakarta
mencapai 6.663 ton per hari atau 27.996 meter kubik. "Setiap dua hari
sampah Jakarta setara dengan candi Borobudur," kata ahli teknik lingkungan
Universitas Indonesia, Firdaus Ali dalam
sebuah diskusi. Sayang pertambahan jumlah sampah ini tidak diimbangi dengan
kemampuan pengelolaan sampah yang baik, sehingga tempat pembuangan akhir yang
menjadi andalan Jakarta di Bantargebang seluas 108 hektare akan penuh dalam
jangka waktu delapan tahun lagi. "Harus ada solusi. Tidak ada kota yang
bangkrut gara-gara berinvestasi mengelola sampah," katanya. Senada dengan
itu, aktivis lingkungan Maryanto, mengatakan sampah yang dihasilkan di Jakarta
menimbun bencana yang dahsyat. "Bagai bom waktu, kejadian meledaknya
tempat pembuangan sampah seperti di Leuwigajah (Bandung) bisa saja terjadi,"
katanya. Kondisi makin diperparah oleh sikap konsumtif dan kurangnya kesadaran
masyarakat, misalnya pemakaian kantong plastik dan tissu yang suka berlebihan.
c.
Polusi Udara
Pencemaran udara adalah
kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer
dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan, serta
mengganggu estetika dan kenyamanan, atau merusak properti. Pencemaran udara
dapat ditimbulkan oleh sumber-sumber alami maupun kegiatan manusia. Jenis zat pencemar
menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 41 tahun 1999, meliputi Sulfur Dioksida (SO2),
Karbon Monoksida (CO), Nitrogen Dioksida (NO2), Ozon (O3),
Hidro Karbon (HC), PM 10, partikel debu ( PM 2,5 ), TSP (debu), dan Pb (Timah
Hitam), ditambah dengan mikro organisme seperti virus dan bakhteri. Kehadiran partikel-partikel ini memang tidak bisa dihindari karena
akibat aktivitas manusia sehari-hari, apalagi ruang hutan sudah semakin hilang.
Polusi udara di Jakarta adalah yang terparah di seluruh
Indonesia. Dalam skala global, Jakarta adalah kota dengan tingkat polusi
terburuk nomor 3 di dunia (setelah kota di Meksiko dan Bangkok, Thailand) dengan kadar
partikel debu (particulate matter) yang terkandung dalam udara Jakarta
adalah yang tertinggi nomor 9 dari 111
kota dunia yang disurvei oleh Bank Dunia pada tahun 2004.
Penyebab utama dari polusi udara di Jakarta adalah emisi
kendaraan bermotor yang menyumbang
polutan ± 70 persen. Kenyataan ini tidak mengherankan karena berdasarkan
data Komisi Kepolisian Indonesia, jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di
DKI Jakarta (tidak termasuk kendaraan milik TNI dan Polri) pada bulan Juni 2009
adalah 9.993.867 kendaraan dengan peningkatan jumlah mencapai 10,9 persen per
tahun. Jumlah ini melebihi penduduk DKI Jakarta yang pada bulan Maret 2009
tercatat 8.513.385 jiwa.
Peningkatan laju polusi udara di
Jakarta disebabkan juga oleh kurangnya ruang terbuka hijau kota. Ruang hijau
kota di samping kenyamanan, perlindungan, peneduh, keindahan dan penyerap air
hujan juga sebagai tempat sirkulasi udara yaitu dengan menyerap karbon dioksida
(CO2) dan menghasil oksigen.
d.
Masalah Air
Pencemaran air
dapat diartikan sebagai suatu perubahan keadaan di suatu tempat penampungan air
seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas manusia. Perubahan ini mengakibatkan menurunnya
kualitas air sampai ke tingkat yang membahayakan sehingga air tidak bisa
digunakan sesuai peruntukannya. Pencemaran air di Indonesia saat ini semakin
memprihatinkan, terutama di kota-kota baik besar maupun kecil.
Pencemaran
air di Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh aktifitas manusia, berasal
dari limbah pemukiman seperti berupa sampah organik dan sampah ; limbah pertanian; dan limbah industri
termasuk pertambangan adalah bahan berbahaya dan beracun (B3). Sungai-sungai dan kali-kali menjadi sasaran pembuangan
dari limbah-limbah tersebut sehingga airnya bukan saja tidak jernih karena ditimbuni
oleh berbagai sampah dan kotoran tetapi sumber timbulnya berbagai bibit
penyakit. Kalau kondisi ini terus berlanjut, maka air tanah sebagai sumber air
bagi masyarakat juga akan ikut tercemar dan tidak layak pakai.
Persoalan air tidak hanya datang dari pencemaran,
tetapi juga kesulitan dalam memperoleh air bersih. Mendapatkan air bersih yang tidak tercemar bukan
hal yang mudah lagi, bahkan pada sungai-sungai di desa sekalipun. Di Jakarta permukaan air
tanah rata-rata turun antara 0,5-3 m pertahun disebabkan penyedotan yang
dilakukan rumah tangga-rumah tangga dan industri-industri. Di sisi lain sebenar
curah hujan cukup tinggi 1700 mm/tahun ditambah aliran dari daerah Puncak (3000
mm/tahun), mestinya membuat Jakarta berlimpah air tanah karena dari dua sumber
tersebut akan masuk ke dalam tanah,
tetapi ternyata tidak. Berarti ada yang urus dan salah kelola khususnya
pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan hilangnya tandon-tandon air.
D.
Kearifan Lokal Tentang Lingkungan
Hidup
1.
Kearifan Lokal (Local Wisdom) Beberapa Daerah di
Indonesia
Pada bagian sebelum telah dikemukankan bahwa kehancuran
lingkungan hidup berawal dari cara pandang yang memisahkan manusia dengan
lingkungan. Sebenarnya ada cara pandang lain, yaitu manusia sebagai bagian
integral dari alam, serta berperilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat
dan peduli terhadap kelangsungan hidup
semua makhluk yang kemudian dikenal dengan kearifan lokal, kearifan adat atau
kearifan tradisional.
Sebelum melihat lebih jauh tentang kearifan lokal di
Indonesia ada baiknya diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud kearifan
lokal dalam lingkungan hidup. Kearifan
lokal terdiri dari dua kata yakni kearifan dan lokal. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, arti kata kearifan adalah kebijaksanaan, kecendekiaan sedangkan lokal
berarti terjadi (berlaku dan ada) disatu tempat saja. Menurut
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH) pasal 1, kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan
mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Menurut I Ketut Gobyah, bahwa kearifan lokal (local
genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg yang
berlaku dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara
nilai-nilai suci firman Tuhan dengan berbagai nilai yang hidup di tengah
masyarakat. Sedangkan S. Swarsi Geriya mengatakan bahwa secara konseptual,
kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang
bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang
melembaga secara tradisional. Istilah lain dari kearif lokal
adalah kearifan tradisional yaitu semua bentuk pengetahuan dan keyakinan,
pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku
manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.
Senada dengan kearifan lokal dalam disiplin antropologi
dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang
mula pertama diperkenalkan oleh Quaritch Wales. Menurut Haryati Soebadio sebagaimana dikutip Ayatrohaedi
mengatakan bahwa local genius adalah cultural identity,
identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu
menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri. Sementara itu Moendardjito mengatakan, bahwa unsur budaya daerah
potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk
bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:
1) mampu bertahan
terhadap budaya luar;
2) memiliki
kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar;
3) mempunyai
kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli;
4) mempunyai
kemampuan mengendalikan;
5) mampu memberi
arah pada perkembangan budaya.
Istilah lain, adalah kearifan adat yang dipahami sebagai
segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik
oleh ketentuan agama. Adat kebiasaan pada dasarnya telah teruji secara alamiah
dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial
yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh
masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus.
Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau
mengandung kebaikan.
Hanya saja kearifan lokal yang ada di Indonesia sangat
dekat animisme atau sinkretisme yang sangat bertentangan ketauhidan Islam.
Dengan demikian secara umum maka kearifan lokal (local wisdom) dapat
dipahami sebagai nilai-nilai setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik dan tidak bertentangan dengan nilai ketauhidan (bagi masyarakat
Islam) yang disepakati bersama, tertanam, dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya yang mengelola dan melindungi lingkungan hidup secara lestari.
Di berbagai
daerah di Indonesia, masih terdapat banyak masyarakat tradisional. Alam
dipahami oleh semua masyarakat tradional sebagai sakral, sebagai kudus.
Spritualitas merupakan kesadaran yang paling tinggi, sekaligus menjiwai dan
mewarnai seluruh relasi dari semua di alam semesta, termasuk relasi manusia
dengan manusia dan manusia dengan alam. Dengan pemahaman demikian, ternyata menunjukkan
kemampuannya untuk menyeimbangkan antara aktivitas manusia dengan pelestarian
lingkungan secara berkelanjutan. Hubungan manusia dengan alam adalah hubungan
yang didasarkan pada kekerabatan, sikap hormat dan cinta.
Masyarakat
tradisonal dengan segala keterbatasan ternyata telah membuktikan kemampuan
untuk hidup berdamping dengan alam/lingkungan secara serasi dan seimbang. Kemampuan yang mereka miliki tidak diperoleh
melalui pendidikan formal (sehingga memperoleh gelar pakar di bidang
lingkungan) tetapi mereka dididik dan diajar oleh alam melalui pengalaman secara
turun temurun. Apapun bentuk ilmu dan bagaimanapun cara memperolehnya tidaklah
menjadi penting, tetapi yang pasti mereka memegang teguh apa yang mereka yakini
dan mengmalkannya.
Indonesia kaya
akan budaya kearifan lokal terhadap lingkungan hidup. Pada dasarnya, budaya
asli Indonesia terbukti memiliki falsafah yang pro lingkungan hidup, seperti di
Jawa terkenal dengan falsafah Hamemayu Hayunig Bawana, Tri Hita
Karana di Bali dan Alam Terkembang Jadi Guru di Tanah Minang. Kemudian ada
juga berbagai kearifan tradisi, seperti Sasi di Maluku, Awig-Awig
di Nusa Tenggara, Bersih Desa di Jawa, Nyabuk Gunung di Sunda yang
menambah kekayaan budaya Indonesia yang pro lingkungan hidup, demikian ungkap
Rahmat Witoelar mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Indonesia. Masing-masing
kearifan lokal tersebut telah terbukti mampu mempertahankan lingkungan hidup di
daerahnya masing-masing.
Kearifan
lokal-kearifan lokal yang telah menjadi pegangan masyarakat Indonesia tersebut
terancam tereliminasi. Norma dan etika terhadap lingkungan hidup yang
diwariskan dari nenek moyang itu terancam oleh gaya hidup materialis-hedonis
yang konsumtif dan mengejar kesenangan semata. Fenomena ini sangat terlihat di
perkotaan, dengan adanya para profesional yang berorientasi bisnis dan kurang
peduli lingkungan. Ditambah lagi pada zaman tanpa batas ini, kebudayaan asing
akan semakin gencar memporakporandakan budaya lokal Indonesia, termasuk dalam
mempertahan keasrian lingkungan.
1)
Kearifan lokal mengenai lingkungan dari
Bali
Masyarakat Bali
memiliki cara atau pengetahuan yang khas
dalam memperlakukan lingkungan, baik yang asli (hutan, gunung, dan sungai)
maupun alam binaan (pemulinan/desa, area pertanian/subak). Misalnya
hutan Sangeh dengan ratusan keranya (berada di tengah-tengah pemukiman, namun
tetap lestari), Goa Lawah dengan ribuan kelelawarnya dan subak (sistem
irigasi untuk pertanian). Semuanya adalah warisan lama yang masih eksis sampai
saat ini.
Di masyarakat
Bali ada suatu kepercayaan yang disebut tenget, suatu fenomena lingkungan berlatar budaya.
Pada segala sesuatu, area, benda, kegiatan, kelembagaan, norma dan nilai,
dimana diyakini oleh masyarakatnya sebagai wujud suci, keramat atau sakral maka
lingkungan atau komponen lingkungannya dapat berfungsi dengan lebih lestari. Tenget
muncul dari cara orang Bali memahami lingkungan. Tenget mengisyarakat
tentang boleh atau tidaknya untuk memanfaatkan lingkungan. Tenget adalah
`simbol' dari 'etika lingkungan' yang tumbuh dari sistem religi masyarakat;
berkembang dalam sistem nilai budaya setempat dan diekspresikan sebagai sikap
mental; dan akhimya berfungsi sebagai kendali individu dan kontrol sosial dalam
memperlakukan lingkungan.
Karena fungsinya
sebagai sistem kontrol dalam menjaga harmoni kesetaraan hubungan yang
fungsionil-holistik antara manusia dengan lingkungan binaan, lingkungan sosial
maupun lingkungan alamnya, sehingga tenget
dapat juga sebagai sistem kontrol dalam
sosial-budaya dan religi bahkan ekonomi. Keadaan tersebut dapat menjadi benteng
terhadap pengaruh budaya luar yang keberadaannya semakin mendesak lokal.
Bagi
masyarakat adat Bali, sumber-sumber mata air dianggap salah satu tempat yang
sakral. Misalnya, tempat pertemuan dua sungai atau anak sungai yang disebut campuhan
dan tempat bertemunya sungai dengan laut yang dikenal dengan sebutan loloan.
Sumber-sumber air itu dipercaya memunyai kekuatan menyucikan. Oleh sebab itu,
pada saat-saat tertentu, misalnya Hari Raya Nyepi, masyarakat adat Bali
melakukan upacara Melasti ke sumber-sumber air, seperti danau, campuhan,
atau loloan. Kepercayaan tersebut
membuat mereka mau tidak mau harus memelihara sumber-sumber air yang secara
langsung atau tidak telah melestarikan air sebagai sumber kehidupan manusia.
Tempat
lain di Bali, masyarakat Tenganan Pegringsingan juga memiliki aturan yang
disepakati bersama untuk tidak menebang pohon sembarangan, termasuk pohon milik
pribadi yang tumbuh di pelataran rumah. Jika pakem itu dilanggar, warga akan
mendapat sanksi berupa teguran bahkan dikeluarkan dari desa. Hal dapat berjalan
dalam masa yang panjang karena ketaatan masyarakat terhadap hukum. Artinya yang
menjadi pengawas berjalannya hukum adalah masyarakat.
Kepercayaan
yang mampu mendidik penganut berprilaku sesuai dengan keyakinannya. Mereka
mengakui adanya kawasan suci yang harus dihormati. Mereka menjaga lingkungan
dengan cara memberikan penghormatan pada hari-hari tertentu sebagai ungkapan
rasa syukur yang secara tidak langung kegiatan dan kepercayaan tersebut telah
melestarikan lingkungan mereka. Bagi pelanggar akan dikenai sanksi yang
diwujudkan oleh masyarakat dalam berbagai bentuk.
2)
Kearifan Lokal
Dayak dapat Selamatkan Hutan
Menjaga
kelestarian alam merupakan hal penting bagi warga Dayak Bahau, Kutai Barat,
Kalimantan Timur demi kelansungan hidup. Sama dengan Bali, hubungan keserasian
timbal balik manusia dengan lingkungan berkaitan dengan keyakinan mereka.
Penghormatan mereka kepada alam melalui upacara adat Dangai mampu
memberi pemahaman pentingnya keselarasan kehidupan antara manusia, alam dan
pencipta. Walaupun kearifan lokal Dayak ini tidak mengenal istilah
konservasi, namun sejak turun-temurun ternyata sudah mempraktekkan aksi
pelestarian terhadap tumbuhan dan hewan secara mengagumkan. Misalnya masyarakat
menentukan suatu kawasan atau situs yang dikeramatkan secara bersama-sama. Bagi
mereka yang melanggar ketentuan tersebut akan dikenai denda yang besarnya
ditetapkan oleh Kepala Adat setempat. Kearifan lokal seperti ini terbukti telah
mampu menghambat lajunya kerusakan alam akibat pembalakan liar.
Seiring dengan
perjalanan waktu dan perkembangan zaman telah terjadi pergeseran nilai yang
berakibat menipisnya hutan di Kalimantan. Pemerintahan Daerah Sanggau misalnya,
merasa gerah melihat kegiatan illegal logging yang merusak dan mengancam
keutuhan hutan. Setiap tahun jumlah hutan yang gundul meningkat akibat
pembalakan liar yang terus berlangsung.
Kearifan lokal suku Dayak yang telah dapat menangkal berbagai persoalah
kehutanan membuat Pemerintah setempat sempat mewacanakan diusulkan menjadi
Peraturan Daerah (Perda), bahkan kalau perlu dibuatkan Rancangan Undang-Undang
(RUU)-nya, namun tidak mudah karena terdapat ketidakseragaman bentuk di setiap
sub suku yang ada.
Tempat lain di
pulau Kalimantan, terdapat pada komunitas lokal yang tinggal di Hulu Sungai
Kapuas. Mereka mempunyai aturan-aturan tradisional yang mengatur tingkah laku
mereka terhadap lingkungan. Aturan-aturan tersebut dikendalikan oleh lembaga
yang disebut Rukun Nelayan. Fungsi Rukun Nelayan bertanggung atas berlangsungnya
seluruh aktivitas penangkapan ikan. Ada larangan untuk menangkap ikan dengan
menggunakan pukat untuk segara ukuran mata jaring. Dalam pengelolaan Hutan Nung
juga ada aturan-atruan diantaranya ada larangan menebang pohon, kecuali untuk
keperluan terbatas seperti bahan bangunan dan alat-alat kebutuhan nelayan.
3)
Kearifan Lokal
dari Suku Baduy
Suku Baduy menempati 59 kampung di Desa Kanekes Kecamatan
Leuwidamar Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Komunitas Baduy terdiri atas 3 kampung Baduy Dalam dan 56 kampung di
Baduy Luar. Suku Baduy bukanlah suku terasing, tetapi suku yang mengasingkan
dirinya dari kehidupan luar, menetap dan menutup dirinya dari pengaruh kultur
luar yang dianggap negatif.
Baduy Dalam betul-betul menutup diri dari pengaruh luar,
sedangkan Baduy Luar seolah-olah benteng untuk Baduy Dalam sekaligus sebagai
tempat adaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan kebaduyannya. Secara
garis besar, adat yang dipegang Baduy Dalam dan Baduy Luar sama. Pimpinan
tradisional tertinggi pemerintahan masyarakat Baduy disebut Puun. Salah
satu fungsi dan tugas dari Puun adalah mengurus segala urusan amanat
secara batiniah untuk mendoakan keselamatan alam, lingkungan dan kehidupan
seluruh umat manusia. Amanat sebagai diberikan masyarakat kepada Puun dijalankan dengan baik sehingga keselamatan
alam, dan lingkungan masyarakat Baduy masih terpelihara ditengah arus zaman
globalisasi ini.
Sekilas, suku Baduy memang tampak sebagai suku yang
primitif, miskin dan konservatif. Baju
tak pernah ganti, kemana-mana selalu jalan kaki. Tetapi inti dari kearifan
lokal masyarakat Baduy adalah energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif
untuk hidup di atas nilai-nilai yang membawa kelangsungan hidup yang
berkeadaban. Hidup damai, rukun dan bermoral. Hidup saling asih, asah, dan
asuh. Hidup toleran dan jembar hati.
Hidup harmoni dengan lingkungan. Hidup dengan orientasi nilai-nilai yang
membawa pada pencerahan. Hidup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
berdasarkan nalar kolektif sendiri. Kearifan seperti itu tumbuh dari dalam
lubuk hati masyarakat Baduy. Ikatan atas dasar kasih sayang dan ketulusan
membuat masyarakat Baduy menjadi kuat. Mereka saling menjaga antara satu dengan
yang lainnya.
Masyarakat
Baduy adalah masyarakat yang hidupnya sangat tergantung pada keberadaan hutan
dan lingkungannya. Lingkungan hidup mereka adalah hutan yang pengelolaannya
diatur secara bijaksana untuk melindungi lingkungan sekaligus penyedia
kebutuhan pangan dan ekonomi mereka. Kelangsungan hidup mereka sangat
tergantung kepada bagaimana mereka memanfaatkan hutannya. Sepertinya masyarakat
Baduy sangat faham, bahwa merusak alam berarti merusak hidup mereka sendiri.
Kesadaran masyarakat Baduy terhadap lingkungan hidup,
khususnya dalam menjaga kelestarian hutan dan air sungguh luar biasa. Ada
pikukuh masyarakat adat Baduy yang sampai kini masih di pegang teguh: “Gunung
ulah dilebur, lebak ulah dirusak” (Gunung jangan dihancurkan, sawah jangan
di rusak).
Tanah di Baduy dibagi menjadi tiga peruntukan, yaitu
sebagai lahan perladangan, permukiman, serta hutan lindung. Suku Baduy
mempunyai areal yang dijadikan hutan lindung. Hutan lindung berfungsi sebagai
areal resapan air. Pepohonan di areal ini tidak boleh ditebang untuk dijadikan
apa pun, termasuk untuk ladang. Hutan ini juga membantu menjaga keseimbangan
air dan kejernihan air di Baduy, terlebih di Baduy Dalam, sebab kawasan hutan
di wilayah Baduy memang tergolong hutan larangan yang tetap dijaga
kemurniannya.
Lewat sistem kepercayaan, adat, serta niat untuk menjaga
keseimbangan alam, suku Baduy terbukti mampu menghidupi diri mereka sekaligus
melestarikan alam. Bagi orang-orang Baduy, secuilpun tak akan berani mengganggu
keutuhan dan kelestarian hutan-hutan titipan. Karena derajat kedosaannya bila
mengganggu hutan jauh lebih tinggi dari dosa membunuh sesama manusia. Apalagi
bagi orang Baduy yang beragama Sunda Wiwitan, menjaga alam merupakan kewajiban
dan tiang dasar agamanya, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan dengan penuh
kepasrahan. Kewajiban tersebut tersirat dalam pegangannya: Lonjor teu
meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (panjang tak boleh dipotong,
pendek tak boleh disambung). Kedudukan masyarakat adatnya amatlah kuat,
dipatuhi oleh masyarakatnya dan ditambah lagi hak-hak masyarakat adat Baduy
dilindungi oleh regulasi khusus yang dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda)
Banten. Aturan hidup bersama yang dipadukan dengan kebudayaan (adat) dan
dipayungi oleh agama membuat aturan tersebut hidup bersama masyarakatnya.
4)
Kearifan Lokal
Pangkalan Indarung Riau
Masyarakat
di sekitar aliran sungai Pangkalan Indarung Kabupaten Kuantan Singingi sejak
tahun 1982 melalui keputusan adat Ninik Mamak dan pada tahun 2007 telah
dikukuhkan dalam Surat Keputusan Ninik Mamak menetapkan sebagian wilayah aliran
sungai Pangkalan Indarung sebagai wilayah yang terlarang untuk diambil ikannya
selama jangka waktu tertentu atau dikenal dengan istilah Lubuk Larangan. Akan tetapi masyarakat
masih dapat mengambil ikan di wilayah yang tidak ditetapkan sebagai Lubuk
Larangan. Kawasan lubuk larangan Indarung berada di sekitar aliran sungai
Pangkalan Indarung dengan panjang 1.500 meter dan lebar 35 meter dengan
kedalaman sungai sekitar 3 sampai 5 meter.
Batas wilayah lubuk larangan dan bukan lubuk larangan ditandai oleh
perbedaan kecepatan aliran sungai. Wilayah sungai yang relatif tenang alirannya
ditetapkan sebagai wilayah lubuk larangan, sementara yang lebih cepat alirannya
tidak ditetapkan sebagai wilayah lubuk larangan. Pengetahuan modern
yang dipadukan kearif lama dapat menghasil suatu yang produktif.
Dalam penentuan
batas wilayah tersebut menunjukan bahwa
masyarakat setempat mengetahui bahwa sebagian besar ikan menyukai wilayah
perairan yang relatif tenang karena sumber makanan di daerah tersebut lebih
banyak dari yang tidak tenang. Untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi
berkembang biaknya aneka ragam ikan di wilayah lubuk larangan, masyarakat
dilarang menebang pohon di sekitar dan sepanjang lubuk larangan tersebut.
Sebagai dasar
pertimbangan dalam Keputusan Adat tersebut adalah untuk menjaga kelestarian
sumber daya ikan di sungai Singingi dalam wilayah Desa Pangkalan Indarung.
Pelanggar aturan adat yang telah ditetapkan tersebut akan dikenakan sanksi
berupa denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sanksi ini mempunyai efek
psikologis yang tinggi karena yang menghukum mereka adalah adat atau
masyarakat. Pengelolaan lubuk larangan
sungai Indarung selama ini dilakukan oleh Lembaga Adat Ninik Mamak Pangkalan
Indarung. Lembaga adat tersebut dipimpin oleh dua orang Datuk, yaitu Datuk Bandaro
dan Datuk Sutan Penghulu, serta dibantu oleh lima orang penghulu. Artinya
mereka yang membuat hukum dan mereka yang memiliki, sehingga dengan senang hati
menjalankannya.
Secara ekologi
lubuk larangan telah berdampak positif yaitu dapat mencegah kerusakan
lingkungan sungai, menanggulangi kerusakan sungai dan memulihkan kerusakan
lingkungan. Secara sosial dan ekonomi
penerapan lubuk larangan Indarung memberikan dampak yang positif
terhadap masyarakatnya antara lain adalah meningkatkan rasa cinta dan kepedulian
terhadap pelestarian sumber daya hayati perikanan; terbinanya kerukunan dan
rasa kesetiakawanan sosial di lingkungan masyarakat setempat ;
terpeliharanya sumber protein bagi masyarakat desa Indarung, dan sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari
bagi masyarakat sekitar.
Berbeda dengan
daerah-daerah yang lain, kearifan lokal yang satu ini dibentuk pada zaman
modern, walau masih mempergunakan perangkat budaya lama (adat) sebagai pengikat
dan pelaksananya tetapi tidak berhubungan kepercayaan masyarakat setempat.
2.
Pelajaran yang
Dapat Diambil dari Kearifan Lokal
Kearifan lokal terbentuk dari keunggulan budaya
masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal
yang selama ini dianggap merupakan aturan-aturan produk budaya masa lalu yang secara
terus-menerus dijaga dan dijadikan pegangan hidup oleh masyarakat tertentu
hingga kini ternyata bisa hidup survive (tentu dengan ukuran mereka) berdampingan
lingkungan hidup tanpa merusak.
Setiap aturan yang ditetapkan masyarakat tradisional
tentang apa yang disebut oleh masyarakat modern dengan kearifan lokal selalu
diketahui dan dipahami seluruh warganya secara baik, kemudian dipatuhi dengan
baik pula. Setiap warga menjadi pengawas terhadap pelaksanaan aturan dan kalau
ada pelanggaran maka masyarakat di bawah pimpinan Ketua Adatnya memberi hukuman
sesuai dengan aturan. Tidak ada penipuan, sogokan karena biasanya dilakukan di
depan orang banyak dan sanksi sangat berat karena memberikan rasa malu.
Di beberapa daerah karifan lokal berkaitan erat dengan
sistem kepercayaan yang dianut. Mereka mempraktekkan hidup bersama lingkungan
sesuai dengan keyakinan yang mereka miliki.
Sanksi atas pelanggaran-pelanggaran (“dosa”) yang dijatuhkan oleh Ketua Adat
yang membidangi hal tersebut, sebagaimana telah disepakati bersama.
Masyarakat Indonesia
adalah masyarakat beragama sesuai falsafah hidup bangsa yaitu sila pertama dari
Pancasila- Ketuhan Yang Maha Esa. Agama-agama yang
dipeluk oleh masyarakat Indonesia seperti Islam, Hindu, Kristen, dan Budha,
sebenarnya mengajarkan para pemeluknya untuk senantiasa menjaga dan memelihara
alam sekitarnya. Namun ajarannya belum menampak aksi yang signifikan dari para
penganut sebagai pengamalan nilai-nilai agama tersebut.
Kearifan lokal masyarakat tradisional dapat dijadikan
contoh. Masyarakat umum dapat belajar dari keteguhan masyarakat tradisional
dalam mengamal apa yang mereka yakini dan masyarakat pula yang menjadi pengawas
dalam pelaksanaannya. Demikian pula bagi para pengambil kebijakan di negeri ini
khususnya yang menyusun peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup. Perlu diingat, dalam penyusunannya perlu ditunjang oleh kearifan-kearifan
institusi dan konstitusi yang membumi selaras dengan sosial budaya masyarakat.
Artinya institusi yang dibentuk seyogyanya dapat mewakili idealisme dan praktik
kearifan di masyarakat dan konstitusinya dapat mengakomodir falsafah, norma dan
etika yang berlaku di masyarakat.
Dalam rangka
mensinergikan kebudayaan dan lingkungan hidup, perlu juga kiranya diselenggarakan
program-progam yang bertujuan membangun budaya lingkungan dengan pendekatan
agama, adat istiadat, maupun kearifan-kearifan yang ada di masyarakat. Usaha
ini diyakininya dapat merubah cara berpikir dan perilaku masyarakat sehingga
lingkungan hidup. “Alam harus
dipandang sebagai subyek yang berdampingan dengan manusia.” Alam adalah
tetangga kita, perilaku yang tidak bijak kepada tetangga, akhirnya akan
berdampak balik dan merugikan diri sendiri juga.
Bercermin
dari kearifan lokal masyarakat tradisional sebenarnya bisa saja diciptakan
kearifan lokal-kearifan lokal baru zaman modern sebagaimana masyarakat Pangkalan
Indarung Kabupaten Kuantan Singingi dengan Lubuk Larangan dan beberapa daerah
lain dengan berbagai pendekatan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan
daerahnya. Sebagai kekuatan sosial, kearifan lingkungan tersebut dapat menjadi
kekuatan utama dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Mujiyono. Agama
Ramah Lingkungan Perspektif Al-Quran (Jakarta : Paramadina, 2001).
Ayatrohaedi, Kepribadian
Budaya Bangsa : Local Genius (Jakarta,
Pustaka Jaya, 1986)
Darmojo, Hendro dan Kaligis,Yeni. Ilmu Alamiah Dasar : Modul 4-6, (Jakarta : Universitas Terbuka, 1985).
Gusti S. Anshari, et al., Aturan-Aturan
Tradisional : Basis Pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum (Banten
: Wana Aksara, 2005.
Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata
Lingkungan (Yogyakarta : Gajah Mada University Prees, 1986).
Hendro Marjono dan Yeni Kaligis, Ilmu Alamiah Dasar (Jakarta
: Karunika, 2008)
Hudyana,I Dewa Gede Raka.
Tenget Dalam Pembangunan Berkelanjutan Studi Kasus:
Revitalisasi Kearifan Lokal Mengenai Lingkungan Di Desa Adat Penglipuran,
Bangli, Bali (Semarang, Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2002).
Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan (Jakarta : Kompas, 2010)
Kurnia, Asep dan Sihabudin, Ahmad. Saatnya Baduy
Bicara, (Jakarta, Bumi Aksara, 2010).
Mugasejati, Nanang
Pamuji. Negara
Maju: Lain di Mulut, Lain di Tingkah Laku, (Jogjakarta : Fisipol-UGM, 2010 ),
hlm. 2
Pinem, Winda Wati. Kebijakan Luar
Negeri Indonesia Terhadap Isu Global Penipisan Lapisan Ozon (Medan : USU 2009).
R,
Agus dan S,
Rudy. Global Waming : Mengancam Keselamatan Bumi, Edisi Pertama April 2008.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah
3 (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2008).
Soemarwoto, Otto. Atur Diri Sendiri :
Paradigma Baru Pengelolaan lingkungan Hidup (Yogyakarta, Gajah Mada University Press,
2004), hlm. 6.
Sumarwoto, Otto. Kata Pengantar
dalam buku Hanya Satu Bumi karangan Barbara
Ward dan Rene Dubos (Bandung, Yayasan Obor, 1974).
Suratmo, F.
Gunarwan. Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (Yogyakarta, Gadjah Mada University,
2007).
Suratmo, F. Gunarwan. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Yogyakarta : Gajah Mada University Press,
2007).
Suratno. Manusia Bijak dari Timur : Mahatma Gandhi
(1869-1948) dan Konsepnya
Susilo, Rachmad K. Dwi. Sosiologi Lingkungan
Hidup (Jakarta ; RajaGrafindo Persada, 2008).
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai
Pustaka, 1998).
Tucker, Mary Evelyn dan John A. Grim. Agama, Filsafat dan
Lingkungan Hidup (Yogyakarta, Kanisius, 2007).
Ward,
Barbara dan Dubos, Rene. Hanya Satu Bumi (Bandung : Yayasan Obor, 1974).
Zaini, Ismail. et al.. Panas Bumi : Energi
Kini dan Masa Depan (Jakarta : Asosiasi Panas Bumi Indonesia,
2004)
Perundangan tentang Lingkungan Hidup
(Jakarta : Pustaka Yustisia, 2010)
Undang-Undang No 30 Tahun 2007 tentang
Energi
Undang-Undang No 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan
Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang
Perikanan
Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004
Tentang Perkebunan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008
Tentang Pengelolaan Sampah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah
Media Indonesia,
Sabtu 20 November 2010, hlm. 15
Sartini, Menggali Kearifan Lokal
Sartini, Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, No. 2
Tabloid
Republika, Aksi Umat Islam Alam Indonesia, Jumat, 5 Februari 2010.
Tentang
Manusia Ideal, Jurnal
Universitas Paramadina, Vol. 5, No. 2, Juli 2007 (Jakarta: Universitas Paramadina, 2007).
Abdul
Rahman Putra, Pupuk Organik Sebagai Jawaban Kesuburan Tanah Indonesia Untuk
Menjamin Kualitas dan Kesehatan Pangan, IPB, http://www.ipb.ac.id., 25 Apr 2010
Belajar dari Kearifan
Lokal : Air Minum dan Penyehatan
Lingkungan, Jejaring
Perpustakaan online/
http://digilib-ampl.net/05 Juni 2009
Berpijak
pada Kearifan Lokal, http://www. balipos.co.id, 17-9-2003.
Environmental History Timeline,
http://Global Environmental Concerns/environmental concern history-1.htm.
tanggal 5-Oktober 2010.
Environmental History Timeline,
http://Global Environmental Concerns/environmental concern history-8.htm, tanggal
5-Oktober 2010
I Ketut Gobyah, Berpijak
pada Kearifan Lokal, http://www. balipos.co.id, 17-9-2010,
Jaringan Advokasi Tambang,
http://www.jatam.org/20 Agustus 2009
Joseph
Mayton, Isu Lingkungan Hidup Jembatani Dunia, Kantor Berita Common
Ground, http://www.commongroundnews.org/ tanggal, 21
Mei 2010
Kearifan Lokal Dayak Dapat
Selamatkan Hutan, Pontianak Post, http://www. Wacana-nusantara.org/27 February 2009
KTT Perubahan Iklim PBB 2009, Kopenhagen, Denmark: Indonesia Perlu Lebih Serius, http://kebun93.blogspot.com/, Senin, 21 Desember 2009
Masyarakat
Baduy, Hutan, dan Lingkungan, http://top.hokya.com/single/ Masyarakat Baduy, Hutan, dan Lingkungan/30
Agustus 2010
Masyarakat
Baduy, Hutan, dan Lingkungan, http://top.hokya.com/single/
Pemerhati
Lingkungan Kita (Pelita), Website:
www.lsm-pelita.blogspot.com, Kamis, 15
Juli 2010
Pencemaran
Air di Indonesia, http://alamendah.wordpress.com,
/23-09-2009
Perbaikan Pengelolaan Sumber
Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup/ www.bappenas.go.id./22-Juni-2010
Realita Kualitas
Lingkungan Hidup di Indonesia, Kompasiana : http://sosbud. kompasiana. com/, 04-Juni-2010
Revolusi Industri,
http://hasheem.wordpress.com//revolusi-industri, tanggal, 21-02- 2010
S. Swarsi Geriya, Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali,
http://www.balipos.co.id, 17-9-2010
Sampah Jakarta Setara Borobudur, Koran Tempo - 30 September 2009, http://digilib-ampl.net/detail/detail.
Sejarah
dan Latar Belakang
Lingkungan Hidup, Kementrian Lingkungan Republik Indonesia, http://www. menlh.go.id/,
tanggal 5 November 2010
Suhana, Pengakuan Keberadaan Kearifan Lokal Lubuk
Larangan Indarung, Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau Dalam Pengelolaan
Dan Perlindungan Lingkungan Hidup, http://www.wa/2-7-2009
Troeno
Marayoga,
Polusi Udara di Jakarta, http://www.kabarindonesia.com,
04-Mar-2010
WALHI: Arus Utama Gerakan Lingkungan,
http://www.walhi.or.id/tentang-kami/sejarah, 27 Oktober 2010
Witoelar,
Kearifan Lokal Terhadap Lingkungan Terancam Tereliminasi,
http://www. beritabumi.or.id, 11 Jun 2008