Selasa, 19 Agustus 2014

LINGKUNGAN HIDUP DARI MASA KE MASA DAN PERMASALAHNNYA



LINGKUNGAN HIDUP DARI MASA KE MASA
DAN PERMASALAHNNYA


Drs. H. Sumardi, MA
A.      Lingkungan Hidup dan Problematika
1.      Pengertian Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup terdiri dari dua kata yaitu : lingkungan  dan hidup. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata lingkung berarti memberi batas (pagar) sekeliling, sedangkan lingkungan adalah daerah (kawasan dan sebagainya) yang termasuk di dalamnya, semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan. Menurut Dirdjosoemitro, lingkungan secara harfiah berarti sekeliling atau sekitar, sehingga suatu lingkungan selalu menggambarkan keadaan yang kompleks karena adanya berbagai faktor, misalnya cahaya, suhu, tanah, air, dan kelembaban udara. Kata hidup diartikan sesuatu masih terus ada, bergerak, masih berjalan dan tetap menyala.
Menurut Gunawan Suratmo, lingkungan hidup dapat diartikan sebagai segala sesuatu di sekitar obyek yang saling mempengaruhi. Sedangkan Undang-undang No. 32 Tahun 2009 pasal 1 (1) menyatakan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain. Ada keterkaitan dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain.
Dari beberapa defenisi di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa lingkungan hidup adalah daerah, semua benda dan daya yang mengelilingi, serta keseluruhan keadaan yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan makhluk hidup. Jadi kalau berbicara tentang lingkungan hidup bumi, maka yang dimaksud adalah semua yang terdapat di langit dan di bumi, termasuk keadaan di dalamnya.
2.    Hubungan Manusia dengan Lingkungan
Mencermati hubungan manusia dengan lingkungan hidup yang telah terjadi selama ini, tidaklah selamanya manusia itu menjadi penentu keadaan lingkungan. Artinya hubungan itu tidaklah sepenuhnya berjalan satu arah. Adakalanya lingkungan sangat berpengaruh terhadap manusia. Seluruh aspek budaya, perilaku bahkan nasib manusia dipengaruhi, ditentukan dan tunduk kepada lingkungan.  Pada suatu saat alam pernah dianggap mempunyai kekuatan yang menentukan sehingga menjadi sesembahan. Walaupun sudah modern dan beberapa hal sudah berubah, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa alam dan lingkungan masih tetap menjadi faktor penentukan dan membentuk kepribadian, pola-pola hidup dan organisasi sosial manusia, baik di kota maupun di desa.
Manusia dari alam lingkungan pertanian akan berbeda dengan manusia yang hidup dan lahir di tengah perkotaan yang berlingkungan gedung-gedung bertingkat. Determinasi lingkungan mempengaruhi watak mereka. Lingkungan fisik daerah pertanian didominasi oleh hukum-hukum alam yang berkaitan dengan sistem biologis. Lingkungan ini memiliki hukum keteraturan tertentu yang bersifat evolutif dan cenderung jauh dari intervensi manusia. Keadaan ini tentu akan mempengaruhi sifat-sifat atau watak manusia-manusianya.
Sebaliknya manusia juga mempengaruhi dan menentukan keadaan dan bentuk lingkungan sehingga terjadinya perubahan demi perubahan. Lingkungan hidup dengan proses alaminya mampu merespon perubahan tersebut dalam bentuk perubahan pula. Apabila perubahan itu menimbulkan efek negatif terhadap kesejahteraan manusia maka terjadilah apa yang disebut masalah lingkungan. Saat ini jumlah ekosistem yang belum dipengaruhi oleh aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung hanya tinggal sebagian kecil saja dan sebagian besar telah dalam bentuk masalah.
Negara-negara di dunia telah sepakat bahwa masalah lingkungan harus segera diselesaikan. Hanya dalam menentukan siapa yang paling bertanggung jawab timbul pertentangan. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan antara negara maju yang menikmati kekayaan alam dan menyebabkan rusaknya lingkungan dengan negara-negara berkembang yang masih mengaharapkan sumber daya alam sebagai modal pertumbuhan ekonomi negara masing-masing. Adanya perbedaan kepentingan ini menimbulkan perdebatan yang hebat dan tidak jarang dalam sebuah pertemuan lingkungan hidup tingkat dunia hasilnya tanpa kesepakatan semua anggota.
Sebenarnya, dunia ini tidak akan satu kata ketika berbicara tentang pertahanan keamanan, ekonomi dan agama, karena masing-masing negara-negara punya tujuan dan kepentingan sendiri-sendiri. Tidak demikian halnya ketika membicarakan tentang pelestarian dan perlindungan planet ini, subyek dan tujuannya sama dan kita semua hidup di planet yang sama. Desakan kuat penyelamatan lingkungan dari berbagai kalangan dan dari keadaan lingkungan itu sendiri telah menimbulkan keinginan untuk menciptakan masyarakat global baru yang bertumpu dari rasa tanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Hal ini telah menyatukan para pakar, organisasi-organisasi dan aktivis-aktivis lingkungan dari Barat dan Timur Tengah. Ketika berbicara isu lingkungan hidup dapat menjadi kekuatan pemersatu antara Timur dan Barat. Ketika seorang Muslim bicara tentang kebutuhan akan energi alternatif yang berkelanjutan misalnya, seorang Kristen atau Yahudi juga sepakat tentang kebutuhan yang sama.  Kalaupun kemudian timbul perbedaan antar negara bukan karena persoalan lingkungan itu sendiri, melainkan lebih kepada kepentingan ekonomi.

Perhatian dunia dalam bentuk kepedulian kepada lingkungan hidup yang kemudian sampai menjadi agenda pertemuan rutin bagi organisasi dunia PBB tentang lingkungan hidup, bukanlah suatu hal yang datang tiba-tiba dan seketika tetapi merupakan akumulasi pengalaman dan pemikiran atau gerakan  dalam rentang waktu yang sangat panjang. 


B.      Lingkungan Hidup dalam Wacana Internasional
1.         Perkembangan Masalah Lingkungan Hidup
Sepanjang sejarah masyarakat Bumi manusia telah beradaptasi dengan berbagai kondisi lingkungan hidup atau ekosistem di mana mereka tinggal. Hingga batas tertentu, semua peradaban dibentuk oleh kualitas elemen-elemen alami sekitar mereka. Sejarah masyarakat yang berbeda tidak dapat dipisahkan dari kondisi alam di mana mereka telah hidup. Alam juga mengilhami kebudayaan manusia, seni, sastra dan sains yang tidak dapat dipahami atau bahkan dibayangkan tanpa mengakui adanya pengaruh alam dan komponen-komponennya. Dengan demikian, keragaman budaya muncul dari keaneka-ragaman hayati berbagai makhluk dalam suatu ekosistim.
Menurut Antonio Maroni,  sebagaimana dikutip oleh Rachmad K Dwi Susilo bahwa tahapan-tahapan terpenting dan krusial hubungan manusia dengan lingkungan dibagi menjadi tiga tahap, yakni masa keseimbangan alam, masa ketidakseimbangan alam dan masa sekarang. Walau secara umum dapat dibagi dua saja yaitu  masa keseimbangan alam, masa ketidakseimbangan alam.
Masa keseimbangan alam terdapat dalam masa Paleolitikum (590.000 SM), di mana manusia sangat tergantung kepada alam. Manusia masih menyandarkan hidupnya sebagai pemburu, pencari ikan dan pencari buah-buahan di hutan.  Kehidupan mereka sangat sederhana dan bersahaja sehingga kalau mereka berburu ataupun membunuh hanya sekedar untuk hidup. Tindakan mereka masih dalam batas-batas toleransi kekuatan alam.
Sementara itu, masa ketidakseimbangan alam mulai terjadinya perubahan lingkungan fisik sejalan dengan perubahan kebudayaan dan cara hidup manusia. Dua perubahan besar yang bersifat mendasar bagi kehidupan manusia yakni pertama Revolusi Neolitikum dimana manusia mulai menyadari bahwa mereka berbeda dari binatang, mulai membudidayakan dan mulai cenderung untuk hidup menetap ; dan yang kedua Revolusi Industri. Secara pasti, sejalan dengan kesadaran tersebut manusia mulai merasa unggul dari lingkungan dan mengusainya. Bahkan pada revolusi industri di masyarakat Barat menghasilkan perubahan lingkungan fisik lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya  karena diperkenalkannya mesin-mesin dan berdiri industri-industri besar. Hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan berubah dari harmonis menjadi bentuk intervensi.Terjadinya perubahan di awali oleh perubahan berpikir secara revolusi pada abad 17. Hal ini berakar dari cara pandang manusia tentang alam dan lingkungannya. Cara pandang dikhotomis yang memisahkan manusia dari alam dan alam sebagai sesuatu yang perlu dikuasai  serta paham bahwa manusia adalah pusat dari sistem dan alam dianggap sebagai tempat melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Alam dianggap alat pemenuhan kesenangan manusia dan manusia bebas melakukan apapun tehadap lingkungan hidup.
Ini berarti apapun yang dilakukan terhadap alam tidak lagi diletakkan sebagai tujuan tindakan sosial manusia, melainkan ia hanya dinilai sebatas alat kepentingan dalam menggapai kesejahteraan manusia. Akibatnya, masalah-masalah lingkungan hidup yang tidak memberi keuntungan bagi manusia akan ditelantarkan, tidak diacuhkan bahkan dikesampingkan. Secara linier, cara berpikir ini melempangkan jalan bagi manusia untuk terjerumus pada kepongahan, keangkuhan dan eksploitatif terhadap lingkungan hidup dan  melegitimasi kekuasan absolut  manusia terhadap lingkungan.  Semua hal tersebut menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan hidup.
Menurut Lynn White, pandangan antroposentris (manusia sebagai pusat kekuasaan dan manusia bukan bagian dari alam) berakar dari pandangan Kristen terhadap alam, bahwa kitab Kej 1 : 28 - yang memberi izin kepada Adam dan Hawa untuk berbuat semaunya dengan bumi, dan   kitab Kej 3 : 19 yang akhirnya mendorong mekanisasi dan polusi.  White menuduh agama monoteis punya andil besar dalam kerusakan lingkungan dan oleh karenanya ia menganjurkan untuk kembali ke agama panteisme. Walaupun kemudian ada yang membantah pendapat tersebut (tentu ada yang sependapat) dengan memberikan penafsiran yang berbeda terhadap ayat tersebut dan/atau menggunakan kitab dan/ayat lain yang berbicara tentang lingkungan sebagai alasannya. Namun pandangan White tersebut dapat juga dibenarkan, karena perubahan cara pandang itu terjadi ketika zaman Renaissan berkembangan, zaman dimana Eropa mencoba melepaskan diri kungkungan Gereja. Boleh jadi para pendukung Renaissan hanya meninggalkan ajaran-ajaran yang hanya menghambat atau menghalangi  kemajuan, tetapi tetap mengambil dan memakai pandangan yang mendukung langkah mereka.
Di sisi lain, pendapat White dapat dibenarkan karena memang ditemui pula bahwa agama-agama politeis dan animisme semenjak masa Peradaban Kuno-Pra-Sejarah dan Peradaban Awal telah mempunyai kepedulian terhadap lingkungan. Jadi tidak mengherankan kalau orang yang peduli lingkungan di era ini banyak ditemukan di Asia, seperti  para penganut Buddhisme dan Jainisme Buddha (tahun 600-500 SM). Di antaranya Mahavir (seorang guru Jainist) menekankan pentingnya vegetarisme dan kasih sayang untuk semua makhluk,  Raja Asoka (Piyadasi, 256 SM di India,) mengeluarkan Dekrit Tujuh Pilar yang isinya menyatakan perlidungan terhadap berbagai jenis hewan, Devanampiyatissa (raja Sri Lanka tahun 247 SM) telah melarang membunuh atau menyakiti mahluk hidup dan memperuntukkan area luas di sekitar istananya sebagai tempat perlindungan terhadap semua flora dan fauna yang dinamakan Mahamevuna Uyana dan diyakini sebagai tempat pertama di dunia.  Sampai saat ini kenyataan memang demikian, kelompok-kelompok masyarakat yang menganggap alam punya kekuatan maka lingkungan hidupnya terpelihara dengan baik.
Pendapat White dapat juga tidak benar karena agama monoteis yang dibawa Nabi Muhammad saw. (tahun 570-622) punya kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan. Menurut sarjana Islam Jasmi Bin Abdul, "Perawatan dan cinta terhadap satwa liar telah mendapat perhatian, baik dalam al-Qur'an maupun Sunnah (tradisi Nabi)”. Dalam ayat 54:28 misalnya, Allah memerintahkan kepada kaum Samud lewat lisan Nabi Shalih agar mau berbagi air dengan unta betina dan masing-masing mempunyai giliran untuk mempergunakan sumber airnya.  Dalam Sunnah Nabi Muhammad saw.-pun terdapat banyak contoh yang menunjukkan bahwa beliau seorang penganjur kebaikan kepada hewan. Salah satu sunnah beliau menjelaskan, bahwa Allah menghukum seorang wanita karena mengurung kucing sampai kucing itu mati kelaparan. Sebaliknya, dalam hadis yang lain beliau menyampaikan Allah mengampuni dosa-dosa seorang pelacur karena dia memberi  minum seekor anjing yang kehausan.  Ini menunjukkan betapa berbuat baik terhadap sesama makhluk memiliki nilai sangat tinggi dihadapan Allah. Demikian pula dalam kegiatan  ibadah haji terdapat bagian dari pendidikan lingkungan dengan adanya larangan membunuh hewan dan menebang pohon.
Betapapun perbedaan pendapat tersebut, baik setuju atau tidak yang jelas sekarang ini kerusakan lingkungan sudah menjadi kenyataan. Walaupun penanggulangan sudah dilakukan mengiringi akibat yang ditimbulkannya namun tetap belum memadai.
2.         Pengaruh Ilmu Pengetahuan danTeknologi 
Manusia membutuhkan lingkungan hidup untuk kebutuhannya. Aktivitas manusia telah merubah lingkungan hidup. Luas dan cepatnya perubahan itu menjadi kunci bagi revolusi lingkungan hidup. Jika melihat sejarah manusia beribu-ribu tahun yang lalu telah terjadi suatu akselerasi perubahan lingkungan hidup, baik dalam keaneka ragaman maupun dalam kecepatan intervensi yang saling susul menyusul.
Beberapa penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap keberhasilan besar karena keuntungannya bagi manusia mendahului kerugiannya. Penemuan baru yang sekaligus bentuk intervensi dimulai yaitu penggunaan tenaga bukan manusia untuk mempertinggi kegiatan manusia. Pada mulanya manusia mempergunakan tenaga binatang untuk melaksanakan tugasnya. Kemudian api memainkan peranan dalam inovasi teknis paling awal cara pertanian menetap. Teknik pertanian yang paling pokok adalah tebang dan bakar. Api kemudian juga dipergunakan  menciptakan alat-alat baru dari logam baik untuk keperluan berburu dan bertani ataupun alat-alat peperangan.  Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seakan-akan berpacu antara satu dengan yang lain, tetapi dalam bentuk saling mendukung yang makin mengokohkan intervensi manusia terhadap lingkungan.
Pada era Industrial Revolution tahun 1810-1890  ilmu pengetahuan dan teknologi makin berkembang dengan cepat yang menimbulkan terjadinya  pemakaian sumber daya alam meningkat secara tajam dari era sebelumnya. Sekaligus terjadi pula peningkatan kerusakan lingkungan hidup.  Penemuan-penemuan besar, seperti mesin uap oleh James Watt (insinyur berkebangsaan Skotlandia) pada tahun 1763, telah berimplikasi kepada meningkatnya kebutuhan bahan bakar dan bahan baku alam berarti menambah rusak lingkungan.
Disamping itu, penderitaan dan kerugian juga dirasakan secara langsung sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, baik yang memang sengaja diciptakan atau tidak. Kecelakaan dalam dunia industri bisa menyebabkan masalah serius bagi lingkungan hidupnya, seperti terjadi di Bhopal yakni meledaknya Union Carbide Co (pabrik pupuk kimia) yang mengkibatkan 2000 orang mengalami kematian, dan kerugian lainnya. Meledaknya Reaktor nuklir Chernobyl menyebabkan sekitar 4.200 orang meninggal dunia baik yang seketika maupun dalam jangka menegah.  Kecelakaan ini jauh lebih ganas dari senjata pemusnah masal, karena efeknya tidak termasuk dalam hitungan produksi dan di luar perkiraan perancangnya.
Hasil ilmu dan teknologi (industri) berbentuk peralatan perang juga telah menjadi pembunuh manusia dan penghancur lingkungan yang sangat ampuh. Dalam perang zaman modern sangat mengutamakan kecanggihan peralatan (senjata  dengan daya bunuh yang berlipat ganda).  Perang Dunia II telah menjadi saksi keganasan senjata pembunuh masal tersebut, jauh lebih menggerikan dari yang diperkirakan. Bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat pada 6 dan 9 Agustus 1945  di atas dua kota di Jepang yaitu Hiroshima dan Nagasaki telah meluluh-lantak kota-kota tersebut. Akibat radiasi zat radio aktif  tidak hanya berakibat jangka pendek, tetapi juga mempunyai efek berjangka panjang baik dalam bentuk kematian yang tertunda, cacat permanen dan kanker. Demikian pula dengan perang-perang di zaman sekarang juga berdampak luas bagi lingkungan hidup.
Belakangan, hal yang sangat mengkhawatir para ahli lingkungan adalah Global Warming atau pemanasan global. Global Warming adalah peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi. Konstributor terbesar dari efek rumah adalah Karbon Dioksida (CO2) karena konsentrasinya di atmosfir sangat tinggi dan selalu jumlah meningkat. Semakin tingginya kadar CO2 di atmosfir karena adanya peningkatan pemakaian BMM setiap hari, kebakaran/pembakaran hutan di satu sisi, dan berkurangnya jumlah pepohonan yang akan menyimpannya pada sisi lain.
Selanjutnya, berbagai dampak negatif muncul akibat adanya pemanasan global tersebut, yakni : pertama terjadinya ketidakseimbangan alam dan perubahan iklim secara ekstrim. Kedua, mencairnya es di kutub Utara dan Selatan berjalan jauh lebih cepat dari yang telah diprediksi para ahli sebelumnya. Mencairnya es di kutub pasti diikuti meningkatnya level permukaan air laut. Ketiga, semakin seringnya gelombang panas terjadi yang menyebab kematian manusia dan ikan air tawar di daerah yang dilaluinya, serta merusak hasil pertanian dan memicu terjadinya kebakaran hutan. Keempat, mencairnya gletser abadi di berbagai pegunungan dunia. Pada saat ini hal tersebut tidak dapat dicegah lagi karena semuanya telah terlanjur dilakukan oleh manusia.
Cara pandang terhadap lingkungan hidup yang disertai dengan kemampuan berpikir dan didukung ilmu pengetahuan dan teknologi membuat manusia mampu membuka dan mendobrak lahan baru serta melakukan sesuatu tindakan melebihi makhluk lain sehingga merusak dan merubah lingkungan hidup dengan ekosistem. Sehubungan dengan hal itu, manusia dikenal dengan berbagai istilah, yaitu :
a.    Manusia makhluk dominan secara ekologik, manusia memiliki kemampuan berkompetisi paling tinggi dan memberikan pengaruh yang besar terhadap lingkungan tempat hidupnya atau terhadap organisme lain.
b.    Manusia pembuat alat. Untuk mempemudah, memperingan dan mempercepat pekerjaannya manusia menciptakan berbagai alat mulai dari yang sederhana sampai yang rumit.
c.    Manusia sebagai pembudidaya. Untuk memperbanyak yang diinginkan manusia melakukan budidayakan terhadap hewan dan tumbuhan serta menciptakan habitat baru. 
d.    Manusia makhluk perampok. Eksploitasi manusia terhadap ekosistem sering tanpa mempertimbangkan hak-hak makhluk-makhluk lainnya termasuk hak hidupnya, sehingga manusia dikenal dengan makhluk perampok.
f.     Manusia sebagai pengotor. Manusia dalam aktivitas hampir selalu meninggalkan berbagai bahan pengotor/ zat limbah baik berbentuk padat, cair maupun gas yang tidak mampu atau tidak bisa diterima oleh lingkung, sehingga makin menumpuk jumlahnya.
3.         Perkembangan Kepedulian terhadap Lingkungan Hidup
Sesungguhnya sepanjang manusia berinteraksi dengan lingkungan hidup yang kemudian menimbulkan masalah-masalah atau dampak yang tidak menguntung, telah memberi pengalaman dan pengajaran kepada manusia bahwa banyak dari perbuatan mereka berakibat buruk kepada lingkungan hidup. Secara bertahap kemudian muncul orang-orang, kelompok orang, negara-negara dan persatuan negara-negara yang peduli terhadap lingkungan dan Environmental History Timeline telah mencatatnya dari zaman pra sejarah sampai zaman sekarang.
Bentuk-bentuk kepedulian tersebut bermacam-macam. Ada dalam peraturan-peraturan, aksi-aksi dan ada pula dalam bentuk pemikiran. Pada tahun 1150   Raja Nissanka Malla dari Sri Lanka dengan sebuah dekrit terukir di batu yang menyatakan bahwa tidak boleh ada hewan yang dibunuh dalam daerah tertentu. Dalam bentuk pemikiran  seperti yang dikemukakan oleh Prof. Agustinus Mouchot pada tahun 1860 dari Lycee de Tours  Perancis  mengusulkan dan mencontohkan tentang penggunaan energi surya sebagai sumber energi alternatif.  Mohandas K. Ghandi yang lahir 2 Oktober 1869 (India) berjuang tanpa kekerasan. Idenya tercermin dalam satu unggapannya yang terkenal "Hiduplah dengan sederhana sehingga orang lain juga dapat hidup”. Manusia juga harus mencintai alam, tempat dimana ia hidup. Alam dapat menjadi lestari berkat adanya rasa sayang timbal balik. Kemudian dalam bentuk gerakan, timbul protes masyarakat atas kehadiran industri yang menggangu lingkungan, seperti yang dilakukan Benjamin Franklin bersama tetangganya dan Ellen Swallow Richards pada tahun 1869, seorang wanita pelopor dari Massachusetts percaya bahwa lingkungan merupakan faktor utama dalam menentukan kualitas hidup manusia.
Dari persatuan negara-negara muncul pula kesepakatan. Sejalan dengan laju perkembangan pembangunan di berbagai bidang; meningkat ekonomi ; dunia industri, kesadaran terhadap lingkungan juga semakin meningkat. Kesadaran dan kepedulian ini telah mendorong negara-negara dunia untuk duduk bersama membicarakan masalah-masalah lingkungan hidup dan pemecahannya. Hal ini terjadi tentu tidak terlepas dari kehadiran PBB sebagai forum negara-negara di dunia serta semakin lancar dan mudahnya komunikasi.
Pada 5 Juni 1972 diselenggarakanlah Konferensi PBB pertama tentang Lingkungan Hidup Sedunia di Stockholm, Swedia. Konferensi dapat dianggap sebagai pengejawantahan kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya kerja sama dalam penanganan masalah lingkungan hidup dan sekaligus menjadi titik awal pertemuan-pertemuan berikutnya yang membicarakan masalah pembangunan dan lingkungan hidup. Konferensi Stockholm dengan motto “Hanya Satu Bumi” itu menghasilkan deklarasi dan rekomendasi yang dapat dikelompokkan menjadi lima bidang utama yaitu permukiman, pengelolaan sumber daya alam, pencemaran, pendidikan dan pembangunanSepanjang sejarah konferensi dunia tentang lingkung hidup tidak selama berjalan mulus. KTT Perubahan Iklim tahun 1997 di Kyoto, ditetapkannya Protokol Kyoto mengenai Perubahan Iklim setelah negosiasi yang intensif dan alot. Sebagian besar negara-negara industri dan sebagian Eropa ( negara transisi ekonomi) sepakat untuk mengikat secara hukum pengurangan emisi gas rumah kaca rata-rata 6% sampai 8% antara tahun 2008-2012, tetapi Amerika keberatan dan kemudian Presiden George W. Bush meminta kepada Senat Amerika untuk tidak meratifikasi Protokol Kyoto ini,  dengan alasan industrinya akan mengalami bencana. Kemudian pada bulan Agustus-September 2002 diadakan World Summit on Sustainable Development, di Johannesburg, Afrika Selatan juga menghasilkan ketidakpuasan bagi peserta. Timbul tudingan bahwa  para pemimpin dunia sudah terjual kepada organisasi perdagangan dunia dan bisnis besar. Tudingan tidak bisa dibaikan, Amerika misalnya sering kali tidak mau menanda tangani kesepakatan-kesepakatan internasional pengurangan emisi gas karbon untuk melindungi dunia industri mereka.
Demikian juga dengan KTT Perubahan Iklim ke-15 yang digelar di Kopenhagen Denmark pada Desember 2009, menghasilkan Kesepakatan Kopenhagen (”Copenhagen Accord”) yang dihasilkan lewat mediasi Presiden Amerika Serikat Barack Obama dengan China dan beberapa negara besar lainnya tidak memuaskan banyak peserta. Kesepakatan tersebut dicela oleh negara-negara berkembang karena kesepakatan itu tidak mengikat dan tidak menetapkan batas waktu tertentu untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Fenomena lain yang terlihat dalam alotnya KTT di Kopenhagen ini. Dalam dua tahun terakhir, laporan mengenai top 10 risiko bisnis global yang dibuat Ernest Young menyebutkan bahwa risiko besar bisnis tahun 2009 adalah yang disebut radical greening. Ini merujuk kepada tekanan internasional untuk menjalankan bisnis secara hijau. Meski gagasan hijau tersebut patut didukung, namun terlihat bahwa sikap bisnis internasional terhadap gerakan lingkungan hidup global semakin mengeras. Ini muncul karena bisnis raksasa mulai melihat gerakan hijau tersebut bukan lagi sebagai kesempatan, tetapi lebih banyak sebagai risiko atau ancaman. Tampak perhatian negara besar tidak lagi kepada lingkungan hidup, namun kepada daya saing industri mereka.

Bagaimanapun, berbagai pertemuan tingkat tersebut telah menghasil berbagai kesepakatan dan rekomendasi. Hanya saja tidak mudah untuk mengimplementasikan hasil tersebut, dengan berbagai alasan seperti masalah ekonomi, kesadaran itu hanya sebatas lembaga pemerintah sedangkan rakyatnya belum serta demi kesejahteraan rakyat. Akibatnya kerusakan lingkungan hidup tetap lebih di depan dari pada penanggulangannya


C.      Lingkungan Hidup Dalam Wacana Nasional
1.         Sejarah Lingkungan Hidup Indonesia
Gerakan lingkungan hidup di Indonesia telah dimulai semenjak tahun 1960-an. Kegiatan lingkungan yang dipakai sebagai tonggak sejarahnya di Indonesia adalah ketika Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara (PAN) mengadakan rapat mengenai pengelolaan lingkungan hidup dan pencegahan pencemaran pada tahun 1972. Berikut, adalah  berdirinya Lembaga Ekologi pada tanggal 23 September 1972 oleh Universitas Padjadjaran Bandung dan dilaksanakannya seminar tentang “Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional” pada tanggal 15-18 Mei 1972 di Bandung. Seminar itu membahas “Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Manusia : Beberapa Pikiran dan Saran”, sebagai persiapan Indonesia dalam konferensi lingkungan hidup di Stockholm. Berikut yang patut dicatat juga adalah diangkatnya seorang Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) pada kabinet pembangunan III (1978-1983).  Semenjak itu, ada departemen khusus yang mengawasi pembangunan dan lingkungan hidup di Indonesia.
Apabila melihat sejarah lingkungan hidup Indonesia, maka semenjak pemerintahan Belanda telah punya perhatian yang cukup besar terhadap lingkungan dengan telah diterbitkannya Visscheri Jordonnantie (Stbl 1920 No 396) yang merupakan Ketetapan Gubernur Jenderal No. 86 tertanggal 26 Mei 1920 tentang perikanan. Ketetapan ini untuk melindungi keadaan ikan dan adapun yang dimaksud dengan ikan meliputi pula telur ikan, benih ikan dan segala macam kerang-kerangan. Di masa ini sudah diterbitkan pula aturan untuk perlindungan satwa dan terakhir pada tahun 1940-an telah diterbitkan aturan tentang cagar alam suaka margsatwa.  
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Indonesia ikut mempersiapkan bahan konferensi lingkungan hidup di Stockholm pada tahun 1972. Indonesia hadir sebagai peserta konferensi tersebut dan turut menandatangani kesepakatan untuk memperhatikan segi-segi lingkungan dalam pembangunan, walaupun persoalan lingkungan hidup di Indonesia sendiri masih sekedar wacana.
Sebagai tindak lanjut hasil konferensi Stockholm, pemerintah membentuk panitia interdepartemental yang disebut dengan Panitia Perumus dan Rencana Kerja Bagi Pemerintah di Bidang Lingkungan Hidup guna merumuskan dan mengembangkan rencana kerja di bidang lingkungan hidup. Panitia yang diketuai oleh Prof. Dr. Emil Salim tersebut berhasil merumuskan program kebijaksanaan lingkungan hidup sebagaimana tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Bab III, huruf ayat 10 bahwa dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumber alam Indonesia harus digunakan secara rasional. Penggalian kekayaan alam tersebut harus diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijakan yang menyeluruh dan dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang.
Tiga tahun kemudian, Presiden mengeluarkan Keppres No. 27 Tahun 1975 yang menjadi dasar pembentukan Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam dengan tugas pokoknya menelaah secara nasional pola-pola permintaan dan persediaan serta perkembangan teknologi, baik di masa kini maupun di masa mendatang berikut implikasi sosial, ekonomi, ekologi dan politis dari pola-pola tersebut. Hal ini akan dijadikan dasar penentuan kebijakan pemanfaatan serta pengamanan sumber daya alam sebagai salah satu sumber daya pembangunan nasional, walau ternyata kemudian  sumber daya alamnya habis tujuan pembangunan tidak tercapai.
Salah satu produk negara di bidang hukum terkait lingkungan adalah ditetapkannya Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang merupakan pedoman pelaksanaan suatu proyek pembangunan. Setiap proyek yang diperkirakan memiliki dampak, diharuskan melakukan studi analsis mengenai dampak lingkungan. Apabila pemilik atau pemrakarsa proyek melanggar besar kemungkinan proyek tersebut tidak mendapat izin atau akan menghadapi pengadilan yang dapat memberikan sanksi.  Hal ini merupakan cara efektif memaksa para pemilik proyek yang tidak memperhatikan kualitas lingkungan dan hanya mementingkan keuntungan besar yang diperoleh tanpa memperhitungkan dampak perbuatannya.  
Berdasarkan Keppres No. 23 Tahun 1990 dibentuk Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) yang bertugas melaksanakan pemantauan dan pengendalian kegiatan-kegiatan pembangunan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Dengan adanya Amdal dan Bapedal ini diharapkan lingkungan hidup di Indonesia umurnya lebih panjang.
Dasar filosofi dilakukannya Amdal adalah si penyebab timbulnya pencemaran yang harus membayar. Dengan dasar itu pemilik proyek haruslah membiayai atau menyelenggarakan Amdal.  Ini terkait dengan pengendalian dampak yang harus sampai pada batas-batas yang dibolehkan, pemulihannya dan kompensasi terhadap masyarakat yang menderita akibat dampak yang ditimbulkan. 
Melihat kenyataan yang ada, menunjukkan seolah-olah Amdal dan Bapedal tidak dilaksanakan sebaik-baiknya. Hanya dalam jangka waktu 25 tahun kota-kota besar sebagai tempat proyek-proyek besar berada, keadaan lingkungan hidupnya sudah sangat memperihatinkan. Tidak ada lagi sungai yang airnya jernih dan bersih, air tanah sudah sangat berkurang atau hilang dan udaranya mengandung polutan yang sangat tinggi.
 Disisi lain, konsumenlah yang harus menanggung biaya terbesar. Bahkan dampak tidak langsung dari sebuah proyek khususnya industri jauh lebih mengerikan, tetapi industri modern tetap tidak memasukkan tersebut hal ke dalam sistem pembiayaan. Artinya segala disekonomi produksi dan distribusi yang dihasilkan seperti timbunan sampah padat, muntahan kotoran ke udara atau penarikan barang bekas tidak ditanggung oleh pihak industri, tetapi masyarakatlah atau konsumenlah yang kian bertambah bebannya.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) terdiri dari 17 Bab dan 127 pasal, betujuan untuk melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup ; menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;  menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan mengantisipasi isu lingkungan global.
Dengan telah dikeluarkannya UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka bangsa Indonesia telah mengakui  bahwa pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup merupakan bagian dari hak asasi manusia, kemudian juga mengakui keberadaan kearifan lokal sebagai nilai-nilai budaya bangsa yang mampu melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Undang-undang ini juga sebagai pernyataan bahwa  bangsa Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang ikut ambil bagian dalam rangka pelestarian lingkungan hidup demi masa depan dunia.
2.         Keterlibatan Masyarakat dengan Lingkungan
Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan diakomodasi Undang-Undang No 32 tahun 2009  melalui pasal 65 bahwa “Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan” dan pasal 67 menyatakan bahwa “Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”, serta pada Bab XI pasal 70 (1) manyatakan bahwa “masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.” Rupa sudah menjadi kebiasaan di Indonesia, setiap menteri baru muncul undang-undang atau peraturan yang baru, tetapi sayang dalam banyak kasus peraturan perundang-undangan tersebut hanya sebatas di atas kertas. Implementasinya masih jauh dari kenyataan, karena sosialisasinya tidak dilakukan dengan baik kepada masyarakat, termasuk Undang-Undang No 32 tahun 2009  tersebut.
Walaupun begitu, jauh sebelumnya yakni pada tanggal 15 Oktober 1980 telah didirikan forum yang dinamakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yaitu forum komunikasi lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang berminat dan bergerak di bidang lingkungan hidup yang tidak berafiliasi politik dan tidak mencari keuntungan (nirlaba). Lembaga ini dapat membantu menyelesaikan pelbagai persoalan lingkungan melalui pertukaran informasi dengan menyampaikan program-programnya kepada masyarakat dan menerima masukan dari masyarakat yang tidak bisa menyampaikan   kepada pemerintah, karena kedua kelompok ini dianggap mempunyai kedekatan dengan masyarakat.
Organisasi lain yang berkiprah di bidang lingkungan adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pemerhati Lingkungan Kita (PELITA). PELITA merupakan suatu wadah bagi masyarakat yang lahir dari kesamaan konsep, visi, misi dan tujuan sama serta memiliki keperdulian sosial tinggi terhadap lingkungan dan berjiwa sosial untuk selalu menanamkan rasa keperdulian terhadap lingkungan sebagai suatu persediaan alamiah yang harus di jaga, dirawat dan disayangi agar dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia di muka bumi ini.
Dari perguruan tinggi juga terdapat lembaga-lembaga pemerhati lingkungan, baik dari kalangan mahasiswa biasa disebut dengan Mahasiswa Pencinta Alam (MAPALA) maupun dari kalangan dosen dan peneliti disebut Pusat Studi Lingkungan.
Secara perseorang juga sudah banyak orang peduli lingkungan dan diapresiasi oleh pemerintah dengan pemeberian penghargaan Kalpataru. Sejak tahun 1980 hingga 2006, jumlah penerima penghargaan Kalpataru sebanyak 228 orang/kelompok, yang terdiri dari kategori Perintis Lingkungan sebanyak 64 orang, Pengabdi Lingkungan sebanyak 58 orang, Penyelamat Lingkungan sebanyak 73 kelompok masyarakat, dan Pembina Lingkungan sebanyak 33 orang. Dari data ini dapat dilihat bahwa keterlibatan person dalam lingkungan jauh lebih tinggi dari bentuk kelompok, namun bila dibandingkan dengan luas wialyah tanah air maka jumlah masih amat sedikit.
3.         Undang-Undang yang Relevan dengan Lingkungan Hidup
Peraturan perundang-undangan Indonesia yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan sangat banyak bersifat terperinci dan luas. Yang berkaitan dengan Amdal misalnya terdapat banyak sekali aturannya mulai dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah, terus ke bawah sampai kepada Keputusan Kepala Bapedal, sehingga jangankan masyarakat umum, mungkin orang-orang yang terkait langsung dengan lingkungan belum tentu mengetahui semua isi dari aturan yang mereka buat. Apalagi sosialisasi dari aturan-aturan yang ada sangat kurang dan tidak memadai sama sekali.
Peraturan perndang-undangan yang membicarakan lingkungan hidup antara lain adalah (1) Undang-Undang Dasar 1945 - pada 2002 UUD 1945 ;  (2) Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan; (3) Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan; (4)Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ; (5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan; (6) Undang-Undang No 30 Tahun 2007 tentang Energi. (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. (8) Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan masih banyak peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Melihat banyaknya peraturan perundang-undangan tersebut mestinya lingkungan hidup Indonesia sudah cukup terpelihara, namun kenyataannya tidak. Hal tersebut juga membuktikan bahwa peraturan perundang-undangan masih berbunyi di atas kertas, belum dalam implementasi.
Disamping itu sejumlah kesepakatan Internasional juga telah diratifikasi Indonesia  sebagai salah satu negara berkembang didunia memiliki kepentingan langsung dengan masalah-masalah lingkungan hidup secara global.  Indonesia berusaha untuk ikut berpartisipasi dalam pemecahan-pemecahan masalah lingkungan hidup di dunia internasional.  Sejauh ini sudah cukup banyak hasil-hasil konvensi internasional yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia seperti Convention on Biological Biodiversity (CBD), Climate Change Convention and the Kyoto Protocol (Greenhouse gas emission reductions), Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer, dan sebagainya. Artinya dengan meratifikasi hasil-hasil kovensi tersebut Pemerintah Indonesia menyetujuinya dan bertanggung jawab untuk melaksanakannya. Ratifikasi juga dapat dianggap sebagai penyampaian pernyataan formal dari Negara Indonesia untuk terikat terhadap hasil-hasil konvesi tersebut. Kalau melihat begitu banyaknya peraturan perundang-undangan yang diterbitkan mestinya terjadi perbaikan yang signifikan terhadap lingkungan, namun semuanya masih minim aksi.
4.         Persoalan Lingkungan Hidup di Indonesia
Indonesia adalah adalah salah satu negara tropis yang kaya akan sumber daya alam. Melimpah ruahnya sumber daya alam Indonesia sudah sangat terkenal sejak zaman dulu. Penjajahan yang terjadi di tanah air tercinta ini pun awalnya adalah karena ingin menguasai potensi sumber daya alam tersebut.
Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara subur dengan kondisi alam yang sangat mendukung ditambah dengan potensi sumber daya mineral yang juga sangat melimpah ruah, baru bisa digolongkan sebagai negara berkembang dengan sebagian besar masyarakat belum sejahtera dan makmur. Sementara itu potensi sumber daya alamnya sudah mulai menipis, dan bahkan habis serta meninggalkan lingkungan hidup yang rusak. Melihat kenyataan ini, terdapat sesuatu yang tidak tepat dalam pengelolaan, khususnya dalam memanfaatkan sumber daya alam. Aturuan-aturan yang ada belum mampu menjadi pengendali baik dalam prosesnya mencapai tujuan sehingga tujuannya belum tercapai tetapi telah menimbulkan berbagai masalah dalam lingkungan.
a.    Kerusakan Hutan
Hutan merupakan salah satu sumber daya yang penting, tidak hanya dalam menunjang perekonomian nasional tetapi juga dalam menjaga daya dukung lingkungan terhadap keseimbangan ekosistem dunia. Pembukaan lahan terjadi melalui penebangan, pembakaran dan pertambangan. Bekas lahan pertambangan batu bara, timah, minyak bumi dan emas, hampir semuanya  menjadi areal yang rusak dan tercemar yang sulit ditanggulangi.  
Menurut WALHI kerusakan hutan Indonesia mencapai 2,7 juta hektar pertahun dan jumlah itu menurut World Reserach Institut  72 persen hutan telah hilang dari jumlah 130 juta hektar hutan Indonesia. Hal ini tidak hanya mendatang banjir di mana-mana, tetapi juga ikut mempercepat pemanasan global yang berakhir dengan kehancuran alam. Indonesia menjadi negara dengan laju deforestasi tercepat di seluruh dunia. Laju deforestasi yang pada periode 1985-1997 adalah 1,6 juta hektar per tahun meningkat menjadi 2,1 juta hektar per tahun pada periode 1997-2001. Setiap menit area hutan setara dengan luas lima lapangan sepak bola dihancurkan, sebagian besar untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dan pulp and paper. Kehancuran hutan tersebut tidak hanya merugikan Indonesia dalam jangka panjang akan tetapi juga memberikan sumbangan yang signifikan atas ketidakstabilan iklim dunia.
Sudah menjadi hukum alam, bila salah satu komponen dari suatu komunitas atau suatu ekosistim dirusak, maka secara berantai komponen-komponen yang lainnya ikut rusak. Padahal keberadaan hutan sangat berguna bagi keseimbangan hidrologik dan klimatologik, termasuk sebagai tempat hidup dan berlindungannya binatang serta tempat terjadinya siklus kehidupan berbagai makhluk. Tanpa hutan, semuanya yang ada disana menjadi terhenti.
Selain hutan, juga terjadi penurunan tingkat kesuburan tanahnya yang disebabkan pemakaian teknologi kimiawi yang over dosis. Awalnya manusia ingin memperoleh hasil yang banyak dengan pemakaian pupuk buatan tersebut, tetapi dalam jangka waktu tertentu bahan tersebut merubah tekstur tanah. Bahkan pemakaian pupuk kimiawi secara terus menerus ikut merusak ekosistem pertanian, diantaranya semakin resistensi dan resurjensinya hama dan penyakit tanaman. Hal tersebut semakin menegaskan bahwa kembali alam menjadi semakin urgen, khususnya pemakaian bahan-bahan organik dalam pertanian.
b.   Sampah
Salah satu alasan diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah karena sampah telah menjadi permasalahan Nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat.  Artinya pemerintah menyadari bahwa pengelolaan sampah selama ini belum secara komprehensif dan terpadu serta perilaku masyarakat yang kurang terpuji sehingga menyebabkan terganggunya kesehatan, dan ketidakamanan bagi lingkungan. Menurut UU ini, pengertian sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
Melihat persoalan sampah  yang ada di kota-kota besar memberikan tanda bahwa Undang-undang ini belum memberi pengaruh yang berarti. Volume sampah di Jakarta terus meningkat yang setiap tahun jumlah sampah yang dihasilkan  naik sebesar 5 persen atau 337 ton per tahun. Kini produksi sampah warga Ibu Kota, Jakarta mencapai 6.663 ton per hari atau 27.996 meter kubik. "Setiap dua hari sampah Jakarta setara dengan candi Borobudur," kata ahli teknik lingkungan Universitas Indonesia, Firdaus Ali  dalam sebuah diskusi. Sayang pertambahan jumlah sampah ini tidak diimbangi dengan kemampuan pengelolaan sampah yang baik, sehingga tempat pembuangan akhir yang menjadi andalan Jakarta di Bantargebang seluas 108 hektare akan penuh dalam jangka waktu delapan tahun lagi. "Harus ada solusi. Tidak ada kota yang bangkrut gara-gara berinvestasi mengelola sampah," katanya. Senada dengan itu, aktivis lingkungan Maryanto, mengatakan sampah yang dihasilkan di Jakarta menimbun bencana yang dahsyat. "Bagai bom waktu, kejadian meledaknya tempat pembuangan sampah seperti di Leuwigajah (Bandung) bisa saja terjadi," katanya. Kondisi makin diperparah oleh sikap konsumtif dan kurangnya kesadaran masyarakat, misalnya pemakaian kantong plastik dan tissu yang suka berlebihan.
c.    Polusi Udara
Pencemaran udara adalah kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan, serta mengganggu estetika dan kenyamanan, atau merusak properti. Pencemaran udara dapat ditimbulkan oleh sumber-sumber alami maupun kegiatan manusia. Jenis zat pencemar menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999, meliputi Sulfur Dioksida (SO2), Karbon Monoksida (CO), Nitrogen Dioksida (NO2), Ozon (O3), Hidro Karbon (HC), PM 10, partikel debu ( PM 2,5 ), TSP (debu), dan Pb (Timah Hitam), ditambah dengan mikro organisme seperti virus dan bakhteri. Kehadiran partikel-partikel ini memang tidak bisa dihindari karena akibat aktivitas manusia sehari-hari, apalagi ruang hutan sudah semakin hilang.
Polusi udara di Jakarta adalah yang terparah di seluruh Indonesia. Dalam skala global, Jakarta adalah kota dengan tingkat polusi terburuk nomor 3 di dunia (setelah kota di Meksiko dan Bangkok, Thailand)  dengan kadar partikel debu (particulate matter) yang terkandung dalam udara Jakarta adalah yang tertinggi nomor 9  dari 111 kota dunia yang disurvei oleh Bank Dunia pada tahun 2004.
Penyebab utama dari polusi udara di Jakarta adalah emisi kendaraan bermotor yang menyumbang  polutan ± 70 persen. Kenyataan ini tidak mengherankan karena berdasarkan data Komisi Kepolisian Indonesia, jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di DKI Jakarta (tidak termasuk kendaraan milik TNI dan Polri) pada bulan Juni 2009 adalah 9.993.867 kendaraan dengan peningkatan jumlah mencapai 10,9 persen per tahun. Jumlah ini melebihi penduduk DKI Jakarta yang pada bulan Maret 2009 tercatat 8.513.385 jiwa.
Peningkatan laju polusi udara di Jakarta disebabkan juga oleh kurangnya ruang terbuka hijau kota. Ruang hijau kota di samping kenyamanan, perlindungan, peneduh, keindahan dan penyerap air hujan juga sebagai tempat sirkulasi udara yaitu dengan menyerap karbon dioksida (CO2) dan menghasil oksigen.
d.   Masalah Air
Pencemaran air dapat diartikan sebagai suatu perubahan keadaan di suatu tempat penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas manusia.  Perubahan ini mengakibatkan menurunnya kualitas air sampai ke tingkat yang membahayakan sehingga air tidak bisa digunakan sesuai peruntukannya. Pencemaran air di Indonesia saat ini semakin memprihatinkan, terutama di kota-kota baik besar maupun kecil.
Pencemaran air di Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh aktifitas manusia, berasal dari limbah pemukiman seperti berupa sampah organik dan sampah ;  limbah pertanian; dan limbah industri termasuk pertambangan adalah bahan berbahaya dan beracun (B3). Sungai-sungai dan kali-kali menjadi sasaran pembuangan dari limbah-limbah tersebut sehingga airnya bukan saja tidak jernih karena ditimbuni oleh berbagai sampah dan kotoran tetapi sumber timbulnya berbagai bibit penyakit. Kalau kondisi ini terus berlanjut, maka air tanah sebagai sumber air bagi masyarakat juga akan ikut tercemar dan tidak layak pakai.

Persoalan air tidak hanya datang dari pencemaran, tetapi juga kesulitan dalam memperoleh air bersih. Mendapatkan air bersih yang tidak tercemar bukan hal yang mudah lagi, bahkan pada sungai-sungai di desa sekalipun. Di Jakarta permukaan air tanah rata-rata turun antara 0,5-3 m pertahun disebabkan penyedotan yang dilakukan rumah tangga-rumah tangga dan industri-industri. Di sisi lain sebenar curah hujan cukup tinggi 1700 mm/tahun ditambah aliran dari daerah Puncak (3000 mm/tahun), mestinya membuat Jakarta berlimpah air tanah karena dari dua sumber tersebut akan masuk ke dalam tanah,  tetapi ternyata tidak. Berarti ada yang urus dan salah kelola khususnya pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan hilangnya tandon-tandon air. 



D.      Kearifan Lokal Tentang Lingkungan Hidup
1.         Kearifan Lokal (Local Wisdom) Beberapa Daerah di Indonesia
Pada bagian sebelum telah dikemukankan bahwa kehancuran lingkungan hidup berawal dari cara pandang yang memisahkan manusia dengan lingkungan. Sebenarnya ada cara pandang lain, yaitu manusia sebagai bagian integral dari alam, serta berperilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan  hidup semua makhluk yang kemudian dikenal dengan kearifan lokal, kearifan adat atau kearifan tradisional.
Sebelum melihat lebih jauh tentang kearifan lokal di Indonesia ada baiknya diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud kearifan lokal dalam lingkungan hidup. Kearifan lokal terdiri dari dua kata yakni kearifan dan lokal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata kearifan adalah kebijaksanaan, kecendekiaan sedangkan lokal berarti terjadi (berlaku dan ada) disatu tempat saja. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) pasal 1, kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Menurut I Ketut Gobyah, bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg yang berlaku dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dengan berbagai nilai yang hidup di tengah masyarakat. Sedangkan S. Swarsi Geriya mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Istilah lain dari kearif lokal adalah kearifan tradisional yaitu semua bentuk pengetahuan dan keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.
Senada dengan kearifan lokal dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama diperkenalkan oleh Quaritch Wales.  Menurut Haryati Soebadio sebagaimana dikutip Ayatrohaedi mengatakan bahwa local genius adalah cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri. Sementara itu Moendardjito mengatakan, bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:
1) mampu bertahan terhadap budaya luar;
2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar;
3)  mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli;
4)  mempunyai kemampuan mengendalikan;
5)  mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Istilah lain, adalah kearifan adat yang dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama.  Adat kebiasaan pada dasarnya telah teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan.
Hanya saja kearifan lokal yang ada di Indonesia sangat dekat animisme atau sinkretisme yang sangat bertentangan ketauhidan Islam. Dengan demikian secara umum maka kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai nilai-nilai setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik dan tidak bertentangan dengan nilai ketauhidan (bagi masyarakat Islam) yang disepakati bersama, tertanam, dan diikuti oleh anggota masyarakatnya yang mengelola dan melindungi lingkungan hidup secara lestari.
Di berbagai daerah di Indonesia, masih terdapat banyak masyarakat tradisional. Alam dipahami oleh semua masyarakat tradional sebagai sakral, sebagai kudus. Spritualitas merupakan kesadaran yang paling tinggi, sekaligus menjiwai dan mewarnai seluruh relasi dari semua di alam semesta, termasuk relasi manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.  Dengan pemahaman demikian, ternyata menunjukkan kemampuannya untuk menyeimbangkan antara aktivitas manusia dengan pelestarian lingkungan secara berkelanjutan. Hubungan manusia dengan alam adalah hubungan yang didasarkan pada kekerabatan, sikap hormat dan cinta.
Masyarakat tradisonal dengan segala keterbatasan ternyata telah membuktikan kemampuan untuk hidup berdamping dengan alam/lingkungan secara serasi dan seimbang.  Kemampuan yang mereka miliki tidak diperoleh melalui pendidikan formal (sehingga memperoleh gelar pakar di bidang lingkungan) tetapi mereka dididik dan diajar oleh alam melalui pengalaman secara turun temurun. Apapun bentuk ilmu dan bagaimanapun cara memperolehnya tidaklah menjadi penting, tetapi yang pasti mereka memegang teguh apa yang mereka yakini dan mengmalkannya.
Indonesia kaya akan budaya kearifan lokal terhadap lingkungan hidup. Pada dasarnya, budaya asli Indonesia terbukti memiliki falsafah yang pro lingkungan hidup, seperti di Jawa terkenal dengan falsafah Hamemayu Hayunig Bawana, Tri Hita Karana di Bali dan Alam Terkembang Jadi Guru di Tanah Minang. Kemudian ada juga berbagai kearifan tradisi, seperti Sasi di Maluku, Awig-Awig di Nusa Tenggara, Bersih Desa di Jawa, Nyabuk Gunung di Sunda yang menambah kekayaan budaya Indonesia yang pro lingkungan hidup, demikian ungkap Rahmat Witoelar mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Indonesia. Masing-masing kearifan lokal tersebut telah terbukti mampu mempertahankan lingkungan hidup di daerahnya masing-masing.
Kearifan lokal-kearifan lokal yang telah menjadi pegangan masyarakat Indonesia tersebut terancam tereliminasi. Norma dan etika terhadap lingkungan hidup yang diwariskan dari nenek moyang itu terancam oleh gaya hidup materialis-hedonis yang konsumtif dan mengejar kesenangan semata. Fenomena ini sangat terlihat di perkotaan, dengan adanya para profesional yang berorientasi bisnis dan kurang peduli lingkungan. Ditambah lagi pada zaman tanpa batas ini, kebudayaan asing akan semakin gencar memporakporandakan budaya lokal Indonesia, termasuk dalam mempertahan keasrian lingkungan.
1)    Kearifan lokal mengenai lingkungan dari  Bali
Masyarakat Bali memiliki cara atau pengetahuan  yang khas dalam memperlakukan lingkungan, baik yang asli (hutan, gunung, dan sungai) maupun alam binaan (pemulinan/desa, area pertanian/subak). Misalnya hutan Sangeh dengan ratusan keranya (berada di tengah-tengah pemukiman, namun tetap lestari), Goa Lawah dengan ribuan kelelawarnya dan subak (sistem irigasi untuk pertanian). Semuanya adalah warisan lama yang masih eksis sampai saat ini.  
Di masyarakat Bali ada suatu kepercayaan yang disebut tenget,  suatu fenomena lingkungan berlatar budaya. Pada segala sesuatu, area, benda, kegiatan, kelembagaan, norma dan nilai, dimana diyakini oleh masyarakatnya sebagai wujud suci, keramat atau sakral maka lingkungan atau komponen lingkungannya dapat berfungsi dengan lebih lestari. Tenget muncul dari cara orang Bali memahami lingkungan. Tenget mengisyarakat tentang boleh atau tidaknya untuk memanfaatkan lingkungan. Tenget adalah `simbol' dari 'etika lingkungan' yang tumbuh dari sistem religi masyarakat; berkembang dalam sistem nilai budaya setempat dan diekspresikan sebagai sikap mental; dan akhimya berfungsi sebagai kendali individu dan kontrol sosial dalam memperlakukan lingkungan.
Karena fungsinya sebagai sistem kontrol dalam menjaga harmoni kesetaraan hubungan yang fungsionil-holistik antara manusia dengan lingkungan binaan, lingkungan sosial maupun lingkungan alamnya, sehingga  tenget dapat juga sebagai sistem kontrol  dalam sosial-budaya dan religi bahkan ekonomi.  Keadaan tersebut dapat menjadi benteng terhadap pengaruh budaya luar yang keberadaannya semakin mendesak lokal.
Bagi masyarakat adat Bali, sumber-sumber mata air dianggap salah satu tempat yang sakral. Misalnya, tempat pertemuan dua sungai atau anak sungai yang disebut campuhan dan tempat bertemunya sungai dengan laut yang dikenal dengan sebutan loloan. Sumber-sumber air itu dipercaya memunyai kekuatan menyucikan. Oleh sebab itu, pada saat-saat tertentu, misalnya Hari Raya Nyepi, masyarakat adat Bali melakukan upacara Melasti ke sumber-sumber air, seperti danau, campuhan, atau loloan. Kepercayaan tersebut membuat mereka mau tidak mau harus memelihara sumber-sumber air yang secara langsung atau tidak telah melestarikan air sebagai sumber kehidupan manusia.
Tempat lain di Bali, masyarakat Tenganan Pegringsingan juga memiliki aturan yang disepakati bersama untuk tidak menebang pohon sembarangan, termasuk pohon milik pribadi yang tumbuh di pelataran rumah. Jika pakem itu dilanggar, warga akan mendapat sanksi berupa teguran bahkan dikeluarkan dari desa. Hal dapat berjalan dalam masa yang panjang karena ketaatan masyarakat terhadap hukum. Artinya yang menjadi pengawas berjalannya hukum adalah masyarakat.
Kepercayaan yang mampu mendidik penganut berprilaku sesuai dengan keyakinannya. Mereka mengakui adanya kawasan suci yang harus dihormati. Mereka menjaga lingkungan dengan cara memberikan penghormatan pada hari-hari tertentu sebagai ungkapan rasa syukur yang secara tidak langung kegiatan dan kepercayaan tersebut telah melestarikan lingkungan mereka. Bagi pelanggar akan dikenai sanksi yang diwujudkan oleh masyarakat dalam berbagai bentuk.  
2)    Kearifan Lokal Dayak dapat Selamatkan Hutan
Menjaga kelestarian alam merupakan hal penting bagi warga Dayak Bahau, Kutai Barat, Kalimantan Timur demi kelansungan hidup. Sama dengan Bali, hubungan keserasian timbal balik manusia dengan lingkungan berkaitan dengan keyakinan mereka. Penghormatan mereka kepada alam melalui upacara adat Dangai mampu memberi pemahaman pentingnya keselarasan kehidupan antara manusia, alam dan pencipta. Walaupun kearifan lokal Dayak ini tidak mengenal istilah konservasi, namun sejak turun-temurun ternyata sudah mempraktekkan aksi pelestarian terhadap tumbuhan dan hewan secara mengagumkan. Misalnya masyarakat menentukan suatu kawasan atau situs yang dikeramatkan secara bersama-sama. Bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut akan dikenai denda yang besarnya ditetapkan oleh Kepala Adat setempat. Kearifan lokal seperti ini terbukti telah mampu menghambat lajunya kerusakan alam akibat pembalakan liar.
Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman telah terjadi pergeseran nilai yang berakibat menipisnya hutan di Kalimantan. Pemerintahan Daerah Sanggau misalnya, merasa gerah melihat kegiatan illegal logging yang merusak dan mengancam keutuhan hutan. Setiap tahun jumlah hutan yang gundul meningkat akibat pembalakan liar yang terus berlangsung.
Kearifan lokal suku Dayak yang telah dapat menangkal berbagai persoalah kehutanan membuat Pemerintah setempat sempat mewacanakan diusulkan menjadi Peraturan Daerah (Perda), bahkan kalau perlu dibuatkan Rancangan Undang-Undang (RUU)-nya, namun tidak mudah karena terdapat ketidakseragaman bentuk di setiap sub suku yang ada.
Tempat lain di pulau Kalimantan, terdapat pada komunitas lokal yang tinggal di Hulu Sungai Kapuas. Mereka mempunyai aturan-aturan tradisional yang mengatur tingkah laku mereka terhadap lingkungan. Aturan-aturan tersebut dikendalikan oleh lembaga yang disebut Rukun Nelayan. Fungsi Rukun Nelayan bertanggung atas berlangsungnya seluruh aktivitas penangkapan ikan. Ada larangan untuk menangkap ikan dengan menggunakan pukat untuk segara ukuran mata jaring. Dalam pengelolaan Hutan Nung juga ada aturan-atruan diantaranya ada larangan menebang pohon, kecuali untuk keperluan terbatas seperti bahan bangunan dan alat-alat kebutuhan nelayan.
3)    Kearifan Lokal dari Suku Baduy
Suku Baduy menempati 59 kampung di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.   Komunitas Baduy terdiri atas 3 kampung Baduy Dalam dan 56 kampung di Baduy Luar. Suku Baduy bukanlah suku terasing, tetapi suku yang mengasingkan dirinya dari kehidupan luar, menetap dan menutup dirinya dari pengaruh kultur luar yang dianggap negatif.
Baduy Dalam betul-betul menutup diri dari pengaruh luar, sedangkan Baduy Luar seolah-olah benteng untuk Baduy Dalam sekaligus sebagai tempat adaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan kebaduyannya. Secara garis besar, adat yang dipegang Baduy Dalam dan Baduy Luar sama. Pimpinan tradisional tertinggi pemerintahan masyarakat Baduy disebut Puun. Salah satu fungsi dan tugas dari Puun adalah mengurus segala urusan amanat secara batiniah untuk mendoakan keselamatan alam, lingkungan dan kehidupan seluruh umat manusia. Amanat sebagai diberikan masyarakat kepada Puun  dijalankan dengan baik sehingga keselamatan alam, dan lingkungan masyarakat Baduy masih terpelihara ditengah arus zaman globalisasi ini.
Sekilas, suku Baduy memang tampak sebagai suku yang primitif, miskin dan konservatif.  Baju tak pernah ganti, kemana-mana selalu jalan kaki. Tetapi inti dari kearifan lokal masyarakat Baduy adalah energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif untuk hidup di atas nilai-nilai yang membawa kelangsungan hidup yang berkeadaban. Hidup damai, rukun dan bermoral. Hidup saling asih, asah, dan asuh.  Hidup toleran dan jembar hati. Hidup harmoni dengan lingkungan. Hidup dengan orientasi nilai-nilai yang membawa pada pencerahan. Hidup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan berdasarkan nalar kolektif sendiri. Kearifan seperti itu tumbuh dari dalam lubuk hati masyarakat Baduy. Ikatan atas dasar kasih sayang dan ketulusan membuat masyarakat Baduy menjadi kuat. Mereka saling menjaga antara satu dengan yang lainnya.
Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang hidupnya sangat tergantung pada keberadaan hutan dan lingkungannya. Lingkungan hidup mereka adalah hutan yang pengelolaannya diatur secara bijaksana untuk melindungi lingkungan sekaligus penyedia kebutuhan pangan dan ekonomi mereka.  Kelangsungan hidup mereka sangat tergantung kepada bagaimana mereka memanfaatkan hutannya. Sepertinya masyarakat Baduy sangat faham, bahwa merusak alam berarti merusak hidup mereka sendiri.
Kesadaran masyarakat Baduy terhadap lingkungan hidup, khususnya dalam menjaga kelestarian hutan dan air sungguh luar biasa. Ada pikukuh masyarakat adat Baduy yang sampai kini masih di pegang teguh: “Gunung ulah dilebur, lebak ulah dirusak” (Gunung jangan dihancurkan, sawah jangan di rusak).
Tanah di Baduy dibagi menjadi tiga peruntukan, yaitu sebagai lahan perladangan, permukiman, serta hutan lindung. Suku Baduy mempunyai areal yang dijadikan hutan lindung. Hutan lindung berfungsi sebagai areal resapan air. Pepohonan di areal ini tidak boleh ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk untuk ladang. Hutan ini juga membantu menjaga keseimbangan air dan kejernihan air di Baduy, terlebih di Baduy Dalam, sebab kawasan hutan di wilayah Baduy memang tergolong hutan larangan yang tetap dijaga kemurniannya.
Lewat sistem kepercayaan, adat, serta niat untuk menjaga keseimbangan alam, suku Baduy terbukti mampu menghidupi diri mereka sekaligus melestarikan alam. Bagi orang-orang Baduy, secuilpun tak akan berani mengganggu keutuhan dan kelestarian hutan-hutan titipan. Karena derajat kedosaannya bila mengganggu hutan jauh lebih tinggi dari dosa membunuh sesama manusia. Apalagi bagi orang Baduy yang beragama Sunda Wiwitan, menjaga alam merupakan kewajiban dan tiang dasar agamanya, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan dengan penuh kepasrahan. Kewajiban tersebut tersirat dalam pegangannya: Lonjor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Kedudukan masyarakat adatnya amatlah kuat, dipatuhi oleh masyarakatnya dan ditambah lagi hak-hak masyarakat adat Baduy dilindungi oleh regulasi khusus yang dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Banten. Aturan hidup bersama yang dipadukan dengan kebudayaan (adat) dan dipayungi oleh agama membuat aturan tersebut hidup bersama masyarakatnya.
4)    Kearifan Lokal Pangkalan Indarung Riau
 Masyarakat di sekitar aliran sungai Pangkalan Indarung Kabupaten Kuantan Singingi sejak tahun 1982 melalui keputusan adat Ninik Mamak dan pada tahun 2007 telah dikukuhkan dalam Surat Keputusan Ninik Mamak menetapkan sebagian wilayah aliran sungai Pangkalan Indarung sebagai wilayah yang terlarang untuk diambil ikannya selama jangka waktu tertentu atau dikenal dengan istilah Lubuk Larangan. Akan tetapi masyarakat masih dapat mengambil ikan di wilayah yang tidak ditetapkan sebagai Lubuk Larangan. Kawasan lubuk larangan Indarung berada di sekitar aliran sungai Pangkalan Indarung dengan panjang 1.500 meter dan lebar 35 meter dengan kedalaman sungai sekitar 3 sampai 5 meter.  Batas wilayah lubuk larangan dan bukan lubuk larangan ditandai oleh perbedaan kecepatan aliran sungai. Wilayah sungai yang relatif tenang alirannya ditetapkan sebagai wilayah lubuk larangan, sementara yang lebih cepat alirannya tidak ditetapkan sebagai wilayah lubuk larangan.  Pengetahuan modern yang dipadukan kearif lama dapat menghasil suatu yang produktif.
Dalam penentuan batas wilayah tersebut  menunjukan bahwa masyarakat setempat mengetahui bahwa sebagian besar ikan menyukai wilayah perairan yang relatif tenang karena sumber makanan di daerah tersebut lebih banyak dari yang tidak tenang. Untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi berkembang biaknya aneka ragam ikan di wilayah lubuk larangan, masyarakat dilarang menebang pohon di sekitar dan sepanjang lubuk larangan tersebut.
Sebagai dasar pertimbangan dalam Keputusan Adat tersebut adalah untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan di sungai Singingi dalam wilayah Desa Pangkalan Indarung. Pelanggar aturan adat yang telah ditetapkan tersebut akan dikenakan sanksi berupa denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sanksi ini mempunyai efek psikologis yang tinggi karena yang menghukum mereka adalah adat atau masyarakat.  Pengelolaan lubuk larangan sungai Indarung selama ini dilakukan oleh Lembaga Adat Ninik Mamak Pangkalan Indarung. Lembaga adat tersebut dipimpin oleh dua orang Datuk, yaitu Datuk Bandaro dan Datuk Sutan Penghulu, serta dibantu oleh lima orang penghulu. Artinya mereka yang membuat hukum dan mereka yang memiliki, sehingga dengan senang hati menjalankannya.
Secara ekologi lubuk larangan telah berdampak positif yaitu dapat mencegah kerusakan lingkungan sungai, menanggulangi kerusakan sungai dan memulihkan kerusakan lingkungan. Secara sosial dan ekonomi  penerapan lubuk larangan Indarung memberikan dampak yang positif terhadap masyarakatnya antara lain adalah meningkatkan rasa cinta dan kepedulian terhadap pelestarian sumber daya hayati perikanan; terbinanya kerukunan dan rasa kesetiakawanan sosial di lingkungan masyarakat setempat ;  terpeliharanya sumber protein bagi masyarakat desa Indarung, dan  sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari bagi masyarakat sekitar.
Berbeda dengan daerah-daerah yang lain, kearifan lokal yang satu ini dibentuk pada zaman modern, walau masih mempergunakan perangkat budaya lama (adat) sebagai pengikat dan pelaksananya tetapi tidak berhubungan kepercayaan masyarakat setempat.
2.         Pelajaran yang Dapat Diambil dari Kearifan Lokal
Kearifan lokal terbentuk dari keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.  Kearifan lokal yang selama ini dianggap merupakan aturan-aturan produk budaya masa lalu yang secara terus-menerus dijaga dan dijadikan pegangan hidup oleh masyarakat tertentu hingga kini ternyata bisa hidup survive (tentu dengan ukuran mereka) berdampingan lingkungan hidup tanpa merusak.
Setiap aturan yang ditetapkan masyarakat tradisional tentang apa yang disebut oleh masyarakat modern dengan kearifan lokal selalu diketahui dan dipahami seluruh warganya secara baik, kemudian dipatuhi dengan baik pula. Setiap warga menjadi pengawas terhadap pelaksanaan aturan dan kalau ada pelanggaran maka masyarakat di bawah pimpinan Ketua Adatnya memberi hukuman sesuai dengan aturan. Tidak ada penipuan, sogokan karena biasanya dilakukan di depan orang banyak dan sanksi sangat berat karena memberikan rasa malu.
Di beberapa daerah karifan lokal berkaitan erat dengan sistem kepercayaan yang dianut. Mereka mempraktekkan hidup bersama lingkungan sesuai dengan keyakinan yang mereka miliki.  Sanksi atas pelanggaran-pelanggaran (“dosa”) yang dijatuhkan oleh Ketua Adat yang membidangi hal tersebut, sebagaimana telah disepakati bersama. 
 Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama sesuai falsafah hidup bangsa yaitu sila pertama dari Pancasila- Ketuhan Yang Maha Esa. Agama-agama yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia seperti Islam, Hindu, Kristen, dan Budha, sebenarnya mengajarkan para pemeluknya untuk senantiasa menjaga dan memelihara alam sekitarnya. Namun ajarannya belum menampak aksi yang signifikan dari para penganut sebagai pengamalan nilai-nilai agama tersebut.
Kearifan lokal masyarakat tradisional dapat dijadikan contoh. Masyarakat umum dapat belajar dari keteguhan masyarakat tradisional dalam mengamal apa yang mereka yakini dan masyarakat pula yang menjadi pengawas dalam pelaksanaannya. Demikian pula bagi para pengambil kebijakan di negeri ini khususnya yang menyusun peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup. Perlu diingat, dalam penyusunannya perlu ditunjang oleh kearifan-kearifan institusi dan konstitusi yang membumi selaras dengan sosial budaya masyarakat. Artinya institusi yang dibentuk seyogyanya dapat mewakili idealisme dan praktik kearifan di masyarakat dan konstitusinya dapat mengakomodir falsafah, norma dan etika yang berlaku di masyarakat.
Dalam rangka mensinergikan kebudayaan dan lingkungan hidup, perlu juga kiranya diselenggarakan program-progam yang bertujuan membangun budaya lingkungan dengan pendekatan agama, adat istiadat, maupun kearifan-kearifan yang ada di masyarakat. Usaha ini diyakininya dapat merubah cara berpikir dan perilaku masyarakat sehingga lingkungan hidup. Alam harus dipandang sebagai subyek yang berdampingan dengan manusia.” Alam adalah tetangga kita, perilaku yang tidak bijak kepada tetangga, akhirnya akan berdampak balik dan merugikan diri sendiri juga. 
Bercermin dari kearifan lokal masyarakat tradisional sebenarnya bisa saja diciptakan kearifan lokal-kearifan lokal baru zaman modern sebagaimana masyarakat Pangkalan Indarung Kabupaten Kuantan Singingi dengan Lubuk Larangan dan beberapa daerah lain dengan berbagai pendekatan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan daerahnya. Sebagai kekuatan sosial, kearifan lingkungan tersebut dapat menjadi kekuatan utama dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Mujiyono. Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Quran  (Jakarta : Paramadina, 2001).
Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa : Local Genius (Jakarta, Pustaka Jaya, 1986)
Darmojo, Hendro dan Kaligis,Yeni. Ilmu Alamiah Dasar : Modul 4-6, (Jakarta : Universitas Terbuka, 1985).
Gusti S. Anshari, et al., Aturan-Aturan Tradisional : Basis Pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum  (Banten : Wana Aksara, 2005.
Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan (Yogyakarta : Gajah Mada University Prees, 1986).
Hendro Marjono dan Yeni Kaligis, Ilmu Alamiah Dasar (Jakarta : Karunika, 2008)
Hudyana,I  Dewa Gede Raka. Tenget Dalam Pembangunan Berkelanjutan Studi Kasus: Revitalisasi Kearifan Lokal Mengenai Lingkungan Di Desa Adat Penglipuran, Bangli, Bali (Semarang,  Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2002).
Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan  (Jakarta : Kompas, 2010)
Kurnia,  Asep dan Sihabudin, Ahmad. Saatnya Baduy Bicara, (Jakarta, Bumi Aksara, 2010).
Mugasejati, Nanang Pamuji.  Negara Maju: Lain di Mulut, Lain di Tingkah Laku, (Jogjakarta : Fisipol-UGM, 2010 ), hlm. 2
Pinem, Winda Wati. Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap Isu Global Penipisan Lapisan Ozon (Medan : USU 2009).
R, Agus dan S, Rudy. Global Waming : Mengancam Keselamatan Bumi,  Edisi Pertama April 2008.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 3 (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2008).
Soemarwoto, Otto. Atur Diri Sendiri : Paradigma Baru Pengelolaan lingkungan Hidup  (Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2004), hlm. 6.
Sumarwoto, Otto. Kata Pengantar dalam buku Hanya Satu Bumi karangan Barbara Ward dan Rene Dubos (Bandung, Yayasan Obor, 1974).
Suratmo,  F. Gunarwan.  Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Yogyakarta, Gadjah Mada University, 2007).
Suratmo, F. Gunarwan. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan  (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2007).
Suratno.  Manusia Bijak dari Timur : Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Konsepnya
Susilo, Rachmad K. Dwi. Sosiologi Lingkungan Hidup  (Jakarta ; RajaGrafindo Persada, 2008).
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1998).
Tucker, Mary Evelyn dan John A. Grim. Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup (Yogyakarta, Kanisius, 2007).
Ward, Barbara dan Dubos, Rene. Hanya Satu Bumi (Bandung : Yayasan Obor, 1974).
Zaini, Ismail. et al.. Panas Bumi : Energi Kini dan Masa Depan  (Jakarta : Asosiasi Panas Bumi Indonesia, 2004)
Perundangan tentang Lingkungan Hidup (Jakarta : Pustaka Yustisia, 2010)
Undang-Undang No 30 Tahun 2007 tentang Energi
Undang-Undang No 32 tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan
Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah
Media Indonesia, Sabtu 20 November 2010, hlm. 15
Sartini, Menggali Kearifan Lokal Sartini, Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, No. 2
Tabloid Republika, Aksi Umat Islam Alam Indonesia, Jumat, 5 Februari 2010.
Tentang Manusia Ideal, Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 5, No. 2, Juli 2007  (Jakarta: Universitas Paramadina, 2007).
Abdul Rahman Putra, Pupuk Organik Sebagai Jawaban Kesuburan Tanah Indonesia Untuk Menjamin Kualitas dan Kesehatan Pangan, IPB, http://www.ipb.ac.id., 25 Apr 2010
Belajar dari Kearifan Lokal : Air Minum dan Penyehatan Lingkungan, Jejaring Perpustakaan online/ http://digilib-ampl.net/05 Juni 2009
Berpijak pada Kearifan Lokal,  http://www. balipos.co.id, 17-9-2003.
Environmental History Timeline, http://Global Environmental Concerns/environmental concern history-1.htm. tanggal 5-Oktober 2010.
Environmental History Timeline, http://Global Environmental Concerns/environmental concern history-8.htm, tanggal 5-Oktober 2010
I Ketut Gobyah, Berpijak pada Kearifan Lokal, http://www. balipos.co.id, 17-9-2010,
Jaringan Advokasi Tambang, http://www.jatam.org/20 Agustus 2009
Joseph Mayton, Isu Lingkungan Hidup Jembatani Dunia, Kantor Berita Common Ground, http://www.commongroundnews.org/ tanggal, 21 Mei 2010
Kearifan Lokal Dayak Dapat Selamatkan Hutan, Pontianak Post, http://www. Wacana-nusantara.org/27 February 2009

KTT Perubahan Iklim PBB 2009, Kopenhagen, Denmark: Indonesia Perlu Lebih Serius, http://kebun93.blogspot.com/, Senin, 21 Desember 2009

Masyarakat Baduy, Hutan, dan Lingkungan, http://top.hokya.com/single/ Masyarakat Baduy, Hutan, dan Lingkungan/30 Agustus 2010
Masyarakat Baduy, Hutan, dan Lingkungan, http://top.hokya.com/single/
Pemerhati Lingkungan Kita (Pelita), Website: www.lsm-pelita.blogspot.com, Kamis, 15 Juli 2010
Pencemaran Air di Indonesia, http://alamendah.wordpress.com, /23-09-2009
Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup/ www.bappenas.go.id./22-Juni-2010
Realita Kualitas Lingkungan Hidup di Indonesia, Kompasiana : http://sosbud. kompasiana. com/,  04-Juni-2010
Revolusi Industri, http://hasheem.wordpress.com//revolusi-industri, tanggal, 21-02- 2010
S. Swarsi Geriya,  Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali, http://www.balipos.co.id, 17-9-2010
Sampah Jakarta Setara Borobudur, Koran Tempo - 30 September 2009, http://digilib-ampl.net/detail/detail.
Sejarah dan Latar Belakang Lingkungan Hidup, Kementrian Lingkungan Republik Indonesia, http://www. menlh.go.id/, tanggal 5 November 2010
Suhana, Pengakuan Keberadaan Kearifan Lokal Lubuk Larangan Indarung, Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau Dalam Pengelolaan Dan Perlindungan Lingkungan Hidup, http://www.wa/2-7-2009
Troeno Marayoga, Polusi Udara di Jakarta,  http://www.kabarindonesia.com, 04-Mar-2010
WALHI: Arus Utama Gerakan Lingkungan, http://www.walhi.or.id/tentang-kami/sejarah, 27 Oktober 2010
Witoelar,  Kearifan Lokal Terhadap Lingkungan Terancam Tereliminasi, http://www. beritabumi.or.id, 11 Jun 2008

2 komentar:

  1. http://kreasimasadepan441.blogspot.com/2017/11/inilah-dua-gunung-yang-dapat.html
    http://kreasimasadepan441.blogspot.com/2017/11/santai-sambil-selfie-di-guest-house.html
    http://kreasimasadepan441.blogspot.com/2017/11/inilah-rumus-matematika-untuk-mesin.html

    Tunggu Apa Lagi Guyss..
    Let's Join With Us At Dominovip.com ^^
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami :
    - BBM : D8809B07 / 2B8EC0D2
    - Skype : Vip_Domino
    - WHATSAPP : +62813-2938-6562
    - LINE : DOMINO1945.COM
    - No Hp : +855-8173-4523

    BalasHapus
  2. MGA, USGC and MGM Resorts announce plans for casino
    MGA, USGC and 세종특별자치 출장샵 MGM Resorts announce plans 고양 출장안마 for 전주 출장마사지 casino expansion 강릉 출장마사지 in Las Vegas, Nevada 청주 출장샵 on Thursday, March 16.

    BalasHapus