KONSEP IMAN DAN KUFUR
BERBAGAI ALIRAN
A. PENDAHULUAN
Persoalan
iman dan kufur sangat penting dan mendasar serta menentukan dalam Islam. Iman dan
kufur menjadi dasar amal seseorang dapat diterima atau ditolak oleh Allah swt. Seseorang
yang beramal berdasarkan iman akan memperoleh balasan keselamatan atau
kebahagiaan di dunia terlebih lagi di akhirat. Sebaliknya seseorang yang beramal dalam kekafiran
akan menyebabkan ditolak oleh Allah dan akan menerima balasan berupa neraka di
akhirat kelak. Firman Allah berkenaan dengan hal ini adalah sebagai berikut :
أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ
وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَزْنًا . ذَلِكَ
جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا ءَايَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا .
Mereka itu orang-orang yang kufur
terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia.
Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian
bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. Demikianlah balasan mereka itu neraka
Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan
ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok. (Al Kahfi : 105-106)
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ
كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Barangsiapa yang murtad di antara
kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang
sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya. (Al Baqarah : 217)
Sumber hukum yang dipakai
dalam persoalan iman dan kufur Alquran dan As Sunnah. Walaupun dasarnya sama
bahkan jelas tapi difahami dan disafsirkan berbeda oleh kelompok-kelompok
tertentu atau karena perbedaan dalam penafsiran menimbulkan kelompok yang lain.
Sedikit agak aneh memang, persoalan pertama yang muncul dalam Islam sebagai
agama adalah bidang politik, bukan bidang teologi atau keagamaan. Tetapi persoalan politik
ini segera meningkat menjadi persoalan-persoalan teologi. Persoalan ”yang
beriman” dan ”yang kafir” pasca Arbitrase antara Ali dan Muawiyah dalam lingkup
pelaku dosa besar segera merubah wajah Islam kedalam pergulatan teologi yang
tidak pernah berhenti.
Kesimpulannya sebagian orang, bahwa munculnya persoalan-persoalan aqidah
dalam Islam -seperti pelaku dosa besar apakah dia masih mukmin atau sudah
menjadi kafir- hanyalah berasal dari persoalan ”memperebutkan kekuasaan”. Penilaian
ini sangat subjektif bersifat
tergesa-gesa walau tidak bisa dipungkiri bahwa politik memiliki andil. Sejak
saat itulah persoalan-persoalan teologi berkembang dari hanya
persoalan-persoalan pelaku dosa besar, menjadi bermacam-macam diskursus
teologi yang melahirkan banyak sekali aliran-aliran yang tetap berpengaruh
hingga sekarang ataupu yang sudah tidak ada bekasnya.
Teologi dalam Islam bukan
hanya membahaskan soal ketuhanan, tetapi juga membahaskan soal iman dan kufur;
siapa yang sebenarnya kafir dan telah keluar dari Islam. Perbedaan dalam mendefenisikan
iman dan kufur akan menimbulkan kelompok-kelompok dalam Islam. Perbedaan kelompok dapat
juga menimbulkan perbedaan konsep iman dan kufur, terutama konsep iman dan kufur dari lawan
politiknya, bahkan kemudian menimbulkan penghalal darah sesama muslim.
Lebih jauh sebagaimana
telah dikemukakan oleh mutakallimin secara garis besar terdapat lima aliran dalam ilmu kalam, yaitu:-
Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah. Pandangan ke lima
kelompok ini terhadap masalah iman dan kufur adakalanya terdapat persamaan dan bisa
juga terdapat perbedaan. Dalam makalah ini akan coba diketengah pandangan
masing-masing kelompok tentang iman dan
kufur kemudian melihat perbedaan dan persamaan dalam pendapat mereka.
B. SEJARAH RINGKAS TIMBULNYA KONSEP IMAN DAN KUFUR
Sejarah mencatat, bahwa kekhalifahan Usman bin Affan berakhir dengan
terbunuhnya sang khlifah dan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Mu’awiyah salah
seorang Gubernur di masa kekhalifahan Usman tidak menyetujui pengangkatan tersebut, apalagi kemudian orang yang
membunuh Usman tidak dihukum oleh pemerintahan Ali. Penolakan ini semakin kuat,
sehingga terjadi permusuhan antara Gubernur dengan Khalifah yang pada puncaknya
terjadi peperangan. Pada waktu terjadi pertempuran
antara pasukan khalifah Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Mu’awiyyah bin Abi
Sufyan, di suatu daerah bernama Siffin pada tahun 659 M. (sehingga pertempuran
ini terkenal dengan peperangan Siffin) Muawiayah dan pasukannya hampir kalah.
Ketika pasukan Ali hampir
memenangi pertempuran tersebut, tangan kanan Mu’awiyyah, ‘Amr bin Al-‘As, meminta
berdamai dengan mengangkat al-Quran ke atas. Pasukan yang ada di pihak
Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu. Dengan demikian dicarilah
perdamaian melalui juru runding/ damai (arbitrasi).
Dari pihak Mu’awiyyah diutuslah seorang politikus ‘Amr bin Al-‘As, sedang
dari pihak Ali diutuslah seorang alim bernama Abu Musa al-Asy’ari. ‘Amr bin Al-‘As
dengan kepiawaiannya sebagai seorang politkus mampu memberi keuntungan kepada pihak Mu’awiyyah yaitu dengan
menurunkan Ali sebagai khalifah, lalu kemudian mengangkat Mu’awiyyah menjadi khalifah (tidak
resmi).
Sikap Ali yang menerima
cara penyelesaian peperangan melalui perantara ini tidak disetujui oleh sebagian
dari pengikutnya (anggota pasukannya). Oleh karena itu mereka meninggalkan
barisan Ali dan memisahkan diri. Golongan mereka inilah dalam sejarah Islam
terkenal dengan nama Khawarij.
Golongan Khawarij ini
kemudian melakukan penilaian terhadap perbuatan Ali, Mu’awiyyah, ‘Amr Ibn
al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan orang-orang yang menerima arbitrase. Dalam pandangan Khawarij, perbuatan mereka
itu tidak sesuai dengan hukum Allah. Khawarij mendasarkan pandangan kepada ayat al-Quran surah al-Maidah, 5: 44:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir.
(al-Maidah, 5: 44)
Khawarij mengambil ayat
ini menjadi semboyan ”la hukma illa lillah”, maka penggagas, pelaku, penerima dan pengikut ”arbitase” di atas telah dipandang telah melakukan
penyelewengan terhadap ajaran-ajaran agama, maka
yang dipandang telah melakukan melakukan dosa besar.
Pemaparan di atas dapat
memberi gambaran bahwa persoalan-persoalan politik inilah akhirnya menimbul persoalan
dalam teologi. Sesuai dengan perjalanan waktu, persoalan ini kemudian berkembang
dengan diikuti munculnya aliran-aliran baru seperti Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah
dan Maturidiyyah, dimana kemunculan golongan-golongan lebih belakangan sangat
mungkin sebagai reaksi terhadap pemahaman/konsep teologi dan/atau pelaksanaan
ajaran aliran yang telah ada.
Abdul Rozak dan Rosihan
Anwar mengemukakan bahwa ”berbagai literatur yang memperbincangkan persoalan iman
dan kufur menurut aliran-aliran teologi Islam sering kali lebih menitik beratkan
pada satu aspek saja dari dua term tersebut, yaitu iman saja atau kufur saja.
Sebab kesimpulan konsep iman bila dilihat kebalikkannya juga berarti konsep
kufur.”
C. KONSEP IMAN
Menurut bahasa iman
berarti membenarkan dalam hati, sedangkan
menurut istilah adalah : membenarkan dalam hati, mengikrarkan dengan
lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Membenarkan dalam maksudnya
menerima segala apa yang dibawa Rasulullah saw, mengikrarkan dengan lidah
maksudnya mengucapkan dua kalimah syahadat dan mengamalkan dengan anggota badan
maksudnya adalah hati mengamalkan dengan keyakinan sedang anggota badan
mengamalkan dalam bentuk ibadah-ibadah.
Menurut Buya Hamka, iman
itu terkait dengan amalan lahir dan bathin. Iman adalah perkataan dan perbuatan
baik dengan hati maupun lidah. Menurut
Hasan Hanafi sebagai dikutib oleh Abdul Rozak dan Rosihan Anwar bahwa ”ada
empat perkara yang dipergunakan sebagai dasar oleh para teolog dalam membicarakan
iman, yaitu : marifah bi al aql (mengetahu dengan akal) ; amal,
perbuatan baik atau patuh; iqrar, pangakuan secara lisan dan tashdiq,
membenarkan dalam hati. Perbedaan atau persamaan pendapat para teolog dalam
konsep iman nampaknya berkisar di sekitar unsur-unsur tersebut.
Dalam Alquran, istilah 'iman' berarti 'untuk mempertimbangkan
sesuatu yang dapat diandalkan dan pastikan' tanpa meragukan. Faith can only be given by God, and means above all,
that a human being acknowledges Allah's greatness and superiority, his own
position as God's servant, who owes Him gratitude for His mercy towards man.
Iman hanya dapat diberikan oleh Allah, dan di atas semua berarti, bahwa manusia
mengakui kebesaran Allah dan keunggulan, posisi sendiri sebagai hamba Allah,
Dia yang selalu bersyukur atas rahmat-Nya kepada manusia.
1.
Aliran Khawarij
Sebagaimana telah
dikemukakan di atas, bahwa Khawarij memandang
perbuatan orang-orang yang menerima arbitrase adalah dosa besar, tetapi kemudian
menimbulkan persoalan apakah mereka telah menjadi kafir atau masih tetap
mukmin. Dalam menetapkan hal tersebut, kemudian menimbulkan perbedaan pendapat
yang berakibat pula kepada munculnya kelompok-kelompok di dalam Khawarij.
Secara umum, iman menurut
aliran Khawarij adalah percaya kepada Allah, mengerjakan segala perintah kewajiban
agama, segala perbuatan yang berbau religius termasuk di dalamnya masalah kekuasaan
atau dengan kata lain iman itu adalah beriktikad
dalam hati dan berikrar dengan lidah serta menjauhkan diri dari segala dosa atau mengamalkannya dengan anggota badan.
2.
Aliran Murjiah
Menurut al-Bazdawi sebagaimana
dikutip Mohd. Isak pandangan mayoritas aliran Murjiah, bahwa iman itu hanyalah ma’rifah
kepada Allah atau tasdiq secara kalbu semata, bukan terkait dengan aktifitas
baik dalam ucapan maupun tindakan. Sedangkan kelompok lain dalam aliran ini bependapat
bahwa iman tidak hanya ma’rifat dengan hati, tapi juga iqrar yang merupakan
tasdiq secara lisan. Oleh karena itu bila seseorang telah menyatakan
keimanannya, maka dia tetap akan menjadi mukmin walaupun perbuatannya tidak
islami. Perbuatan yang dilakukan tidak dapat menggugurkan keimanan seseorang.
3.
Aliran Mu’tazilah
Konsep iman menurut aliran
ini tidak hanya berkaitan dengan pengakuan dalam hati, tetapi amal perbuatan
merupakan salah satu unsur terpenting dari iman, bahkan amal itu hampir sama
dengan iman. Hal ini terkait dengan konsep mereka tentang janji dan ancaman
yang merupakan salah satu ideologinya Mu’tazilah.
Konsep iman menurut Mu’tazilah
juga berkaitan dengan ma’rifah (pengetahuan dan akal). Mereka sangat
menekankan pentingya berpikir rasional atau penggunaan akal bagi keimanan. Cara
pandang tersebut akan berimplikasi
kepada penilaian bahwa orang yang beriman kerena mengikuti orang lain (secara
taklid buta) tidaklah dipandang beriman.
Lebih tegasnya lagi, seperti
diungkapkan Toshihiko Izutsu yang dikutip oleh Abdul Rozak, bahwa bagi kelompok
ini ”hanya ahli kalam saja yang benar-benar dapat menjadi orang beriman,
sedangkan masyarakat awam dipandang tidak benar-benar beriman. Pernyataan ini
sebenarnya menyisakan persoalan, yaitu bagaimana dengan ahli kalam yang tidak
mementing akal untuk memperoleh keimanan. Tidak semua ahli kalam berpandangan
yang mengedepankan akal dalam soal keimanan.
4.
Aliran Asy ’Ariyah
Menurut Asy’ariyyah, iman ialah membenarkan dengan
hati, dan itulah yang disebut dengan iktikad. Di sini terdapat persaman antara konsep
Murjiah dan Asy’ariyyah yang menekankan perbuatan hati atas pengakuan keimanan.
Cuma Murjiah menggunakan istilah ma’rifah, sementara Asy’ariyyah menggunakan
al-tasdiq bi al-qolb (membenarkan dengan hati).
Dalam hal ini
Asy-Syahrastani menulis sebagaimana dikutib oleh Abdul Rozak :
”Asy Asy’ari berkata :..... Iman
(secara esensial) adalah tashdiq bi al-janan (membenarkan dengan kalbu).
Sedangkan ”mengatakan’ (qawl) dengan lisan dan melakukan dengan berbagai
kewajiban utama (amal bi al arkan) hanyalah merupakan furu (cabang-cabang)
iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya
dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya,
iman seperti itu iman yang sahih... Dan keimanan seseorang tidak akan hilang
kecuali jika dia mengingkari salah satu dari hal tersebut.
Melihat defenisi yang di atas
dapat dikatakan bahwa iman bagi Asy Asy’ari tidak mempunyai kaitan
dengan ucapan dan amal.
5.
Aliran Maturidiyah
Sedangkan konsep iman
menurut Maturidiyyah secara umumnya sama dengan konsep Asy’ariyyah dari ahli
al-sunnah wa al-jama’ah, cuma terdapat sedikit perbedaan, yaitu menurut
Maturidiyyah tasdiq dengan hati mesti merupakan satu kesatuan dengan mengikrarkannya
dengan lidah. Sedangkan menurut Asy’ariyyah cukup memadai hanya dengan
pengakuan hati untuk membuktikan keimanan seseorang, sedangkan pengucapan dengan
lisan tidaklah diperlukan, karena ikrar
dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam adalah merupakan cabang dari
iman.
Pendapat Ahli
al-Sunnah wa al-Jama’ah golongan Asy’ariyyah yang agak lebih lengkap
tentang iman dikemukan oleh al-Baghdadi yang dikutip oleh Harun Nasution,
menerangkan bahwa:
a. Iman yang dapat menghindari dari kafir dan tidak kekal dalam neraka, adalah meyakini
Tuhan, kitab-kitab-Nya, para Rasul, takdir baik dan buruk, sifat-sifat Tuhan dan
segala keyakinan lain yang diakui dalam syari’at.
b. Iman yang menimbulkan adanya keadilan dan
melenyapkan fasik dari seseorang
serta yang melepaskan dari neraka, adalah mengerjakan segala kewajiban dan menjauhi semua
perbuatan dosa besar.
c. Iman yang dapat menjadikan seseorang
memperoleh prioritas untuk langsung masuk
ke syurga tanpa hisab, adalah mengerjakan semua yang wajib dan sunat serta menjauhi
segala perbuatan dosa.
Dari pandangan beberapa
golongan mengenai keimanan di atas, dapat dibuat gambaran bahwa konsep iman
dari aliran-aliran teologi tersebut,
secara umum dapat dibagi kepada dua:
Pertama, konsep iman yang
menerima secara mantap ketiga unsur iman, yaitu : pengakuan dengan hati ; ikrar
(pernyataan) dengan melalui
lisan dan pengamal dengan anggota. Aliran yang masuk dalam kelompok ini adalah
Kawarij dan Mu’tazilah.
Kedua, konsep iman yang
menekankan kepada unsur pertama saja, yaitu pengakuan dalam hati. Unsur kedua
dan ketiga bagi golongan ini, kalaupun masuk ke dalam bagian iman hanya merupakan cabang saja.
Pendapat bahwa iman merupakan ma’rifah dan tasdiq dengan hati
adalah pemahaman dari golongan Murjiah,
Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.
D. BERTAMBAH DAN BERKURANGNYA IMAN
Di dalam al-Quran terdapat
keterangan tentang bertambahnya iman, di antaranya:
1. Surah al-Anfal, (8): 2
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ
Sesungguhnya orang-orang
yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gementarlah hati
mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman
mereka (kerananya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
2. Surah al-Taubah, 9: 124:
وَإِذَا مَا
أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا
فَأَمَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
Dan apabila diturunkan satu
surah, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: “Siapakah
di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surah ini? “Adanya
orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya, sedang mereka merasa
gembira.
Melihat
pengetian teks ayat-ayat di atas ternyata iman seseorang dapat bertambah dan
berkurang, namun dalam hal ini para teolog mempunyai pendapat yang berbeda. Perbedaan
tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan pemahaman mereka tentang persoalan
keimanan. Berikut ini akan dipapar pandangan kelompok-kelompok teolog tentang
bertambah dan berkurangnya iman.
Kelompok Kawarij yang berpegang
kuat kepada al-Quran, mengakui bahwa iman dapat bertambah dan boleh berkurang.
Sejalan dengan konsep iman yang diusung kelompok ini, yaitu membenarkan dalam
hati, ikrar dengan lisan dan amal dengan anggota sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah,
mengurangi salah satu unsur dari ketiga
unsur iman tersebut akan menurunkan kadar
iman, bahkan apabila pengurangan itu dilakukan secara kontinu dapat menimbulkan
dosa besar, maka konsekwensinya dapat menghilangkan keimanan. Dalam pandangan mereka amal merupakan
realisasi iman. Dengan demikian tinggi rendahnya intensitas amal seseorang dapat
menjadi ukuran tinggi rendahnya kualitas iman orang tersebut.
Hampir sama dengan
pandangan Khawarij, Mu’tazilah juga
memandang iman dapat berkurang dan bertambah, hanya saja mereka berbeda dalam
memandang akibat dari jenis dosa yang dilakukan, yang nanti akan dikemukakan
dalam pembicaraan tentang kufur. Aliran ini berpendapat bahwa meningkatkan
pelaksanaan amal kebaikannya, maka imannya akan bertambah. Begitu pula
sebaliknya setiap kejahatan yang diperbuatnya, imannya akan berkurang.
Selanjutnya bagi Murjiah,
karena konsep iman dikembangkan oleh kelompok ini hanya dalam bentuk ma’rifah,
arinya pengakuan yang mendalam tentang Tuhan, maka konsekwensi iman tidak dapat
bertambah dan tidak pula berkurang. Sekelompok tertentu dari aliran ini
berpendapat bahwa segala ucapan dan perbuatan yang menyimpang dari syariat
tidak akan merubah posisi keimanan, bahkan iman tersebut masih sempurna dalam
pandang Tuhan.
Dilihat dari segi pemahaman
keimanan pada bagian sebelumnya, mestinya aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyyah sependapat
tentang konsep bertambah dan berkurangnya iman, karena bagi Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah iman hanya tasdiq, tetapi ternyata bahwa Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah mempunyai pendapat yang berbeda dalam hal ini.
Menurut Abd. Hamid Musa,
mengutip pendapat Ahmad Amin bahwa bagi Asy’ariyyah, iman dapat berkurang dan dapat
pula bertambah. Asy’ariyyah mendasarkan pendapatnya kepada al-Quran surah
al-Anfal, 8: 12:
إِذْ يُوحِي
رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ ءَامَنُوا
(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada
para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian)
orang-orang yang telah beriman.
Sementara bagi
Maturidiyyah, iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Logika Maturidiyyah
adalah tidak menunjukkan bertambahnya iman kecuali berkurangnya kufur, sebaliknya
tidaklah menunjukkan berkurangnya iman kecuali dengan bertambahnya kufur.
Menurut Abdul Rozak dan Rosihan Anwar
berdasarkan penelaah hasil karya Al-Maturidi, bahwa mereka tidak menemui
pendapat Al-Maturidi yang berkenaan dengan fluktuasi iman. Di sisi lain,
Maturidiyah Bukhara berpendapat iman memang tidak dapat bekurang, namun dapat
bertambah dengan ibadah-ibadah yang dilakukan.
Walaupun Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah tergabung ke dalam golongan ahl al-Sunnah wa al-jama’ah,
tetapi kelihatannya dalam persoalan bertambah dan berkurangnya iman, secara umum
ahli sunnah mengambil pendapat umum aliran Maturidiyyah, yaitu iman tidak
bertambah dan berkurang. Hanya Imam al-Syafi’i yang juga golongan ahli
sunnah wa al-jama’ah yang sependapat dengan Asy’ariyyah, mengatakan
bahwa iman dapat bertambah dan dapat
pula berkurang.
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa persoalan bertambah
dan berkurangnya iman terbagi dua kelompok pandangan ekstrim:
Pertama, mereka berpendapat
bahwa iman dapat bertambah atau berkurang tergantung kepada amal perbuatan seorang
mukmin. Termasuk kepada kelompok ini Kawarij,
Mu’tazilah dan Asy’ariyyah dengan alasan yang berbeda.
Kedua, kelompok yang
berpendapat iman tidak dapat bertambah atau berkurang karena amal bukan ukuran
iman seseorang. Temasuk kelompok ini adalah aliran Murjiah dan Maturidiyyah.
F. KONSEP KUFUR
Kufur adalah kebalikan dari iman. Dari
segi lughat “kufur” artinya menutupi. Orang yang bersikap ‘kufur’ disebut
kafir, yaitu orang yang menutupi hatinya dari hidayah Allah. Dengan demikian
orang kafir dia menutupi kebenaran atau dia menutupi apa yang seharusnya
diimani. Malam juga disebut ‘kafir’ karena malam menutupi orang dan benda-benda
lain dengan kegelapannya. Dari segi syara’ kufur ada : kufur Akidah, ialah
mengingkari akan apa yang wajib diimani, seperti iman kepada Allah, iman kepada
Rasul, iman kepada Hari Akhirat, iman kepada Qodo dan Qodar, dan lain-lain. Firman Allah dalam surat an-Nisa (4) : 136
وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ
وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا .
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka
sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”
Sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam sejarah pemikiran Islam persoalan kufur
timbul berawal dari tuduhan kufurnya perbuatan sahabat-sahabat yang menerima arbitrasi
sebagai penyelesaian perang Siffin.
Selanjutnya persoalan
hukum kafir ini bukan hanya menyangkut orang-orang yang tidak menentukan hukum
dengan al-Quran, tetapi juga orang-orang yang melakukan dosa besar, sehingga hal
juga melahirkan perbedaan pendapat dikalangan mutakallimin, apakah mereka
masih tetap mukmin atau sudah kafirb dan terkeluar dari Islam? Bagaimanakah
kedudukan mereka di dunia dan di akhirat? Apakah orang-orang yang melakukan
dosa besar tersebut akan kekal dalam neraka atau adakah kemungkinan keluar dari
neraka dan masuk syurga?
Sebelum menjawab
persoalan-persoalan tersebut, perlu dikemukakan terlebih dahulu
perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam dosa besar. Terdapat banyak hadis Nabi
saw. diantaranya sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim :
1.
”Diriwayatkan daripada Abdullah
bin Masud r.a katanya: Aku bertanya Rasulullah s.a.w: Apakah dosa yang paling
besar di sisi Allah? Rasulullah s.a.w bersabda: Engkau menjadikan iaitu
menganggap ada yang sebanding dengan Allah sedangkan Dialah yang menciptakanmu.
Aku berkata: Sesungguhnya dosa demikian memang besar. Kemudian apa lagi?
Baginda bersabda: Kemudian engkau membunuh anakmu kerana bimbang dia makan
bersamamu iaitu makananmu. Aku bertanya lagi: Kemudian apa lagi? Rasulullah
s.a.w bersabda: Jika engkau berzina dengan isteri jiranmu”
2.
”Diriwayatkan daripada Anas bin
Malik r.a katanya: Nabi s.a.w pernah menceritakan tentang dosa-dosa besar.
Baginda bersabda: Menyekutukan Allah, menghardik kedua ibu bapak, membunuh dan
berkata dengan kata-kata palsu.”
Sehingga kalau
dikumpulkan maka dosa besar selain syirik ialah:
a. Zina
b. Sihir
c. Membunuh manusia tanpa sebab yang
dibolehkan Allah
d. Memakan harta anak yatim piatu
e. Riba
f. Meninggalkan medan perang
g. Memfitnah perempuan yang
baik-baik.
1. Aliran Kawarij
Dalam pandangan sebagian
besar pemuka aliran Kawarij, bahwa semua dosa besar adalah kufur dan orang yang
melakukannya dihukum kafir dan kekal di dalam neraka. Pendapat ini diutarakan
oleh al-Muhakkimah, golongan yang paling awal dalam Kawarij, sedangkan Azariqah
salah satu kelompok dari Kawarij berpendapat lebih ekstrim dari al-Muhakkimah,
yaitu menghukum syirik bagi orang yang melakukan dosa besar. Di dalam Islam
syirik adalah lebih besar dosanya dari kufur. Lebih jauh lagi golongan Azariqah
berpendapat bahwa semua orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka termasuk musyrik.
Bagi Azariqah, orang yang
tidak masuk kelompok dan berada wilayah tinggal atau kekuasaan mereka boleh
diperangi, karena bukan daerah Islam tetapi adalah dar al-harb atau dar
al-kufr, darah mereka adalah halal ditumpahkan. Dengan demikian bagi Azariqah,
orang-orang yang tidak kafir hanyalah orang-orang yang masuk golongan mereka
dan berada di wilayah mereka dan selebihnya di luar itu adalah musyrik.
Al-Sufriah adalah
kelompok lain dari Karawarij yang ekstrim, hampir sama dengan Azriqah, tapi
sedikit lebih lunak dari Azriqah. Pendapat mereka yang berkaitan dengan kufur
adalah sebagai berikut :
a. Orang
Sufriah yang tidak hijrah tidaklah dipandang kafir.
b. Orang-orang
melakukan dosa yang tidak ada sangsinya di dunia mereka dianggap kafir dan
orang-orang melakukan dosa tapi mempunyai sangsi di dunia seperti zina maka
mereka tidaklah dianggap kapir.
c. Kafir
dibagi dua yaitu kufr bi inkar al-ni’mah, yaitu mengingkari rahmat Tuhan
dan kufr bi inkar al rububiah, yaitu
mengingkari Tuhan.
Kelompok lain dalam Khawarij,
yaitu Ibadiah. Kelompok ini berpendapat lebih
moderat, bagi mereka orang yang tidak masuk golongan mereka bukanlah musyrik
dan bukanlah pula mukmin, paling berat ia boleh dikatakan kafir. Mereka mengelompokkan
kafir ini kepada dua golongan:
a. Kafir al-ni’mah, yaitu orang yang tidak
bersyukur terhadap nikmat-nikmat yang diberikan Tuhan.
b. Kafir al-Millah, yaitu orang yang
keluar dari agama.
Bagi golongan Ibadiah,
orang yang melakukan dosa besar termasuk masih tetap muwahhidun (yang
mengesakan Tuhan), tetapi bukan
mukmin. Sah syahadatnya, boleh nikah dan
waris mewarisi, bahkan yang terpenting adalah haram darah mereka, artinya tidak
diperangi.
2. Aliran Murjiah
Aliran Murjiah muncul
sebagai reaksi terhadap keadaan yang timbul akibat saling mengkafir diantara
sesama muslim. Mereka tidak ingin memihak kesalah satu golongan yang terlibat saling
mengkafirkan tersebut. Artinya mereka bersikap netral. Secara umum kaum Murjiah
berpendapat bahwa soal kufur dan tidak kufur adalah lebih baik ditunda saja
sampai hari pembalasan di depan Tuhan. Kaum Murjiah tetap menganggap
sahabat-sahabat yang terlibat dengan arbitrase adalah orang-orang yang mukmin
dan tidak keluar dari jalan yang benar.
Argumentasi Murjiah,
ialah bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar masih mengucap dua kalimah
syahadah dan Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya, orang seperti ini masih mukmin
bukan kafir atau musyrik. Dalam dunia ini ia tetap dianggap mukmin bukan kafir.
Soal di akhirat diserahkan kepada keputusan Tuhan, kalau dosa besar diampunkan,
ia akan masuk syurga, kalau tidak dia akan masuk neraka untuk waktu yang sesuai
dengan dosa yang dilakukan dan kemudian masuk syurga.
Murjiah juga terdiri dari
beberapa kelompok. Secara umum, bagi mereka perbuatan dosa tidak menyebabkan
seseorang menjadi kafir, bahkan ada kelompok yang berpendapat pengakuan
kekufuran dengan lisan atau perbuatan musyrik atau menjalankan praktek agama-agama
lain tidak penyebab terjadinya kekufuran. Menurut mereka seseorang baru menjadi
kafir bila tidak mengenal Tuhan.
3. Aliran Mutazilah
Aliran Mu’tazilah berpendapat,
bahwa orang yang melakukan dosa besar bukan sebagai orang kafir dan bukan pula
mukmin. Konsep ini disebut manzilah bain manzilataian atau posisi antara
dua posisi. Di akhirat kelak orang yang melakukan dosa besar itu tidak akan
dimasukkan ke dalam syurga dan tidak pula dimasukkan ke dalam neraka yang
dahsyat, seperti orang kafir, tetapi dimasukkan ke dalam neraka yang paling
ringan.
Orang yang melakukan dosa
besar, maka di dunia ini dia bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi fasiq.
Tidak disebut mukmin (walaupun dalam
dirinya ada iman) karena dosa besarnya,
dan tidak pula disebut kafir, karena
pengakuan dan ucapan dua kalimah syahadatnya, kerana ia tidak mempengaruhi imannya.
Sementara itu, menurut mayoritas
Mu’tazilah, orang yang tidak patuh terhadap yang wajib dan yang sunat disebut ma’asi.
Ma’asi terbagi kepada dua, yaitu pertama, ma’asi kecil dan kedua ma’asi
yang besar. Ma’asi yang besar dinamakan kufur, terbagi ke dalam tiga
perkara, yakni:
a. Seseorang yang menyamakan Allah dengan
makhluk.
b. Seseorang yang menganggap Allah tidak adil
atau zalim.
c. Seseorang yang menolak eksistensi Nabi
Muhammad yang menurut nas telah
disepakati kaum muslimin.
4. Aliran al-Asy’ariyah
Berdasarkan konsep
keimanan aliran al-Asy’ariyah sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, maka
kebalikannya adalah kufur. Dengan demikian, yang disebut kafir bagi aliran ini adalah
orang yang tidak membuat pengakuan atau membenarkan tentang ke-Esaan Tuhan dan
kebenaran para Rasul serta segala apa yang dibawanya.
Berdasarkan paham
ketuhanan yang dianut al-Asy’ariyah maka perbuatan kufur bukanlah semata-mata
si kafir, tapi ada campur tangan Yang Maha Berkehendak. Menurut al- Asy’ariyyah,
seorang muslim yang berdosa besar jika meninggal dunia tanpa bertobat, nasibnya
terserah kepada ketentuan Tuhan, mungkin orang itu diampuni Allah karena rahmat
dan kasih sayang-Nya. Ada juga kemungkinan tidak diampuni Allah dosa-dosanya
dan akan diazab di neraka sesuai dengan dosa-dosa yang telah diperbuatnya itu. Kemudian
setelah cukup/bersih baru dimasukkan ke dalam syurga, mereka tidak mungkin akan
kekal tinggal dalam neraka, karena keimanan yang mereka miliki.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa bagi Asy’ariyyah orang-orang yang berdosa besar tidaklah menjadi
kafir, dan tidak akan kekal dalam neraka, namun masih seorang mukmin dan
akhirnya akan masuk syurga juga.
6. Aliran
Maturidiyah
Selanjutnya bagi
Maturidiyyah, pahala salat dan kewajiban-kewajiban lain yang dijalankan akan
mampu menghapus dosa-dosa kecil yang telah dilakukan. Pendapat ini didasarkan kepada firman Allah surah Hud,
11: 114
وَأَقِمِ
الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ
يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
Dan dirikanlah salat itu pada
kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam.
Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan yang baik itu mengahapuskan (dosa)
perbuatan-perbuatan yang jahat. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.
Dosa-dosa besar, apa lagi
dosa-dosa kecil tidak membuat seseorang menjadi kafir dan keluar dari iman. Dari
sini dapat disimpulkan bahwa pendapat Maturidiyyah mengenai hukum atau status
orang yang berdosa besar sama dengan aliran Asy’ariyyah, yakni tidaklah
menyebabkan seseorang menjadi kafir. Pendapat
ini tentulah bertentangan dengan konsep aliran Mu’tazilah dan Khawarij. Aliran Mu’tazilah
berpendapat bukan kafir dan bukan pula mukmin tetapi al-manzilah bain
al-manzilataian dengan status fasiq, sedangkan bagi Khawarij, orang yang berdosa
besar adalah kafir.
Dari perbedaan pendapat
dalam persoalan kufur dikalangan orang Islam, kadang-kadang menimbul masalah
kafir mengkafirkan. Walaupun secara jelas hal ini terjadi akibat pemahaman
Kawarij, tapi tidak menutup kemungkinan kafir mengkafir terjadi pada aliran
yang pemahamannya tidak ekstrim. Hal ini terjadi karena kebodohan dan kepicikan
serta fanatis buta terhadap mazhab atau aliran tertentu.
Mestinya seseorang tidak
tergesa-gesa dalam kafir mengkafir di antara sesama muslim, karena implikasi
hukumnya sangat banyak dan mendatangkan berbagai ancaman seperti laknat Allah,
gugurnya amal perbuatan, halal darahnya ditumpahkan, hilangnya hak waris, tidak disholati, dll
sebagainya.
Dalam hal ini banyak
dijumpai hadis-hadis sahih untuk melarang mengkafirkan orang lain.
C. KESIMPULAN
Berdasarkan pendapat
para teolog dari berbagai aliran teologi sebagai mana yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1.
Beberapa aliran mempunyai perbedaan
pendapat yang tajam dalam konsep iman dan kufur;
2.
Beberapa aliran mempunyai
perbedaan pendapat yang tidak terlalu tajam dalam konsep iman dan kufur;
3.
Beberapa aliran mempunyai
pendapat hampir bersamaan dalam konsep iman dan kufur;
Perbedaan pemahaman dari
berbagai aliran teologi tersebut, beberapa diantaranya terjadi karena adanya
perbedaan mereka di bidang politik, sedangkan lain timbul sebagai reaksi atas
pemahaman yang ada.
Konsep ilmu kalam di
kalangan Khawarij dan Murjiah dalam pembahasan iman dan kufur agak sederhana
sesuai dengan kesederhanaan cara berpikir mereka. Kemudian muncul Mu’tazilah
dengan mengandalkan akal menjadi lebih mendalam. Mu’tazilah mengembangkan
konsep-konsep dan faham yang lebih logik dan sistematik dibandingkan dengan
faham sebelumnya.
Dari metode berfikir kaum
Mu’tazilah yang mempergunakan rasio itulah sebenarnya yang menjadi dasar pembahasan
tentang iman dan kufur pada aliran-aliran berikutnya seperti Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah di kalangan ahli al-Sunnah wa al-jama’ah.
Dalam berbagai perbedaan
itu, paling tidak ada satu unsur kesamaan dalam mendfenisikan iman yaitu :
membenarkan dalam hati.
DAFTAR PUSTAKA
Al Bayan Hadis Riwayat
Bukhari dan Muslim (dalam
CD Holly Quran dan Hadis), Malaysia, Syakr
Bazdawi, Al-, Kitab
Usuluddin. Kahirah: Dr. Hans Piter Lins (Et. Al), Dar Haya’.
Gardet. "Imân", Encyclopedia of Islam , Vol,
III, EJ Brill, (Leiden, l986),
Hamka, Tasawuf Modern,
Jakarta: Panjimas, 1987
Harun Nsution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 1978
Ishak, Mohd. Said, Konsep Iman Dan Kufur: Perbandingan Perspektif
Antara Aliran Teologi, (dalam
Jurnal Teknologi, Universiti Teknologi Malaysia), Jun. 2002
Nasution, Harun. 1983. Akal
dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press.
…………….. 1978. Islam
Ditinjau dari Berbagai aspeknya. Jilid 11, Jakarta: UI-Press.
…………….. 1986. Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press.
Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam untuk UIN,
STAIN, PTAIS, Bandung, Pustaka Setia, 2001
Tim
Ahli Tauhid, Agus Hasan Bashori (penterjemah), Kitab Tauhid II,
Edisi Indoesia, Jakarta : Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia, 2002,
hlm. 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar