Selasa, 02 September 2014

KONSEP IMAN DAN KUFUR



KONSEP IMAN DAN KUFUR
BERBAGAI ALIRAN

A.   PENDAHULUAN
Persoalan iman dan kufur sangat penting dan mendasar serta menentukan dalam Islam. Iman dan kufur menjadi dasar amal seseorang dapat diterima atau ditolak oleh Allah swt. Seseorang yang beramal berdasarkan iman akan memperoleh balasan keselamatan atau kebahagiaan di dunia terlebih lagi di akhirat.  Sebaliknya seseorang yang beramal dalam kekafiran akan menyebabkan ditolak oleh Allah dan akan menerima balasan berupa neraka di akhirat kelak. Firman Allah berkenaan dengan hal ini adalah sebagai berikut :
أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا . ذَلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا ءَايَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا .
Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok. (Al Kahfi : 105-106)
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Al Baqarah : 217)
Sumber hukum yang dipakai dalam persoalan   iman dan kufur  Alquran dan As Sunnah. Walaupun dasarnya sama bahkan jelas tapi difahami dan disafsirkan berbeda oleh kelompok-kelompok tertentu atau karena perbedaan dalam penafsiran menimbulkan kelompok yang lain.
Sedikit agak aneh memang, persoalan pertama yang muncul dalam Islam sebagai agama  adalah bidang politik, bukan bidang teologi atau keagamaan. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan-persoalan teologi. Persoalan ”yang beriman” dan ”yang kafir” pasca Arbitrase antara Ali dan Muawiyah dalam lingkup pelaku dosa besar segera merubah wajah Islam kedalam pergulatan teologi yang tidak pernah berhenti. 
Kesimpulannya sebagian orang, bahwa munculnya persoalan-persoalan aqidah dalam Islam -seperti pelaku dosa besar apakah dia masih mukmin atau sudah menjadi kafir- hanyalah berasal dari persoalan ”memperebutkan kekuasaan”. Penilaian ini sangat subjektif  bersifat tergesa-gesa walau tidak bisa dipungkiri bahwa politik memiliki andil. Sejak saat itulah persoalan-persoalan teologi berkembang dari hanya persoalan-persoalan pelaku dosa besar, menjadi  bermacam-macam diskursus teologi yang melahirkan banyak sekali aliran-aliran yang tetap berpengaruh hingga sekarang ataupu yang sudah tidak ada bekasnya.
Teologi dalam Islam bukan hanya membahaskan soal ketuhanan, tetapi juga membahaskan soal iman dan kufur; siapa yang sebenarnya kafir dan telah keluar dari Islam. Perbedaan dalam mendefenisikan iman dan kufur akan menimbulkan kelompok-kelompok dalam Islam. Perbedaan kelompok dapat juga menimbulkan perbedaan konsep iman dan kufur,  terutama konsep iman dan kufur dari lawan politiknya, bahkan kemudian menimbulkan penghalal darah sesama muslim.
Lebih jauh sebagaimana telah dikemukakan oleh mutakallimin secara garis besar  terdapat lima aliran dalam ilmu kalam, yaitu:- Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah. Pandangan ke lima kelompok ini terhadap masalah iman dan kufur adakalanya terdapat persamaan dan bisa juga terdapat perbedaan. Dalam makalah ini akan coba diketengah pandangan masing-masing kelompok  tentang iman dan kufur kemudian melihat perbedaan dan persamaan dalam pendapat mereka.

B.   SEJARAH RINGKAS TIMBULNYA KONSEP IMAN DAN KUFUR
Sejarah mencatat, bahwa kekhalifahan Usman bin Affan berakhir dengan terbunuhnya sang khlifah dan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Mu’awiyah salah seorang Gubernur di masa kekhalifahan Usman tidak menyetujui pengangkatan  tersebut, apalagi kemudian orang yang membunuh Usman tidak dihukum oleh pemerintahan Ali. Penolakan ini semakin kuat, sehingga terjadi permusuhan antara Gubernur dengan Khalifah yang pada puncaknya terjadi peperangan.  Pada waktu terjadi pertempuran antara pasukan khalifah Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, di suatu daerah bernama Siffin pada tahun 659 M. (sehingga pertempuran ini terkenal dengan peperangan Siffin) Muawiayah dan pasukannya hampir kalah.
Ketika pasukan Ali hampir memenangi pertempuran tersebut, tangan  kanan Mu’awiyyah, ‘Amr bin Al-‘As, meminta berdamai dengan mengangkat al-Quran ke atas. Pasukan yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu. Dengan demikian dicarilah perdamaian melalui  juru runding/ damai (arbitrasi).  Dari  pihak Mu’awiyyah  diutuslah seorang politikus ‘Amr bin Al-‘As, sedang dari pihak Ali diutuslah seorang alim bernama Abu Musa al-Asy’ari. ‘Amr bin Al-‘As dengan kepiawaiannya sebagai seorang politkus mampu memberi  keuntungan kepada pihak Mu’awiyyah yaitu dengan menurunkan Ali sebagai khalifah, lalu kemudian  mengangkat Mu’awiyyah menjadi khalifah (tidak resmi).
Sikap Ali yang menerima cara penyelesaian peperangan melalui perantara ini tidak disetujui oleh sebagian dari pengikutnya (anggota pasukannya). Oleh karena itu mereka meninggalkan barisan Ali dan memisahkan diri. Golongan mereka inilah dalam sejarah Islam terkenal dengan nama Khawarij.
Golongan Khawarij ini kemudian melakukan penilaian terhadap perbuatan Ali, Mu’awiyyah, ‘Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan orang-orang yang menerima arbitrase.  Dalam pandangan Khawarij, perbuatan mereka  itu tidak sesuai dengan hukum Allah.  Khawarij mendasarkan  pandangan kepada ayat al-Quran  surah al-Maidah, 5: 44:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (al-Maidah, 5: 44)
Khawarij mengambil ayat ini menjadi semboyan ”la hukma illa lillah”,  maka  penggagas, pelaku, penerima dan pengikut  arbitase”  di atas telah dipandang telah melakukan penyelewengan terhadap ajaran-ajaran agama,   maka yang dipandang telah melakukan melakukan dosa besar.
Pemaparan di atas dapat memberi gambaran bahwa persoalan-persoalan politik inilah akhirnya menimbul persoalan dalam teologi. Sesuai dengan perjalanan waktu, persoalan ini kemudian berkembang dengan diikuti munculnya aliran-aliran baru seperti Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, dimana kemunculan golongan-golongan lebih belakangan sangat mungkin sebagai reaksi terhadap pemahaman/konsep teologi dan/atau pelaksanaan ajaran aliran yang telah ada.
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar mengemukakan bahwa ”berbagai literatur yang memperbincangkan persoalan iman dan kufur menurut aliran-aliran teologi Islam sering kali lebih menitik beratkan pada satu aspek saja dari dua term tersebut, yaitu iman saja atau kufur saja. Sebab kesimpulan konsep iman bila dilihat kebalikkannya juga berarti konsep kufur.”
C.   KONSEP IMAN
Menurut bahasa iman berarti membenarkan dalam hati, sedangkan  menurut istilah adalah : membenarkan dalam hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Membenarkan dalam maksudnya menerima segala apa yang dibawa Rasulullah saw, mengikrarkan dengan lidah maksudnya mengucapkan dua kalimah syahadat dan mengamalkan dengan anggota badan maksudnya adalah hati mengamalkan dengan keyakinan sedang anggota badan mengamalkan dalam bentuk ibadah-ibadah.
Menurut Buya Hamka, iman itu terkait dengan amalan lahir dan bathin. Iman adalah perkataan dan perbuatan baik dengan hati maupun lidah.  Menurut Hasan Hanafi sebagai dikutib oleh Abdul Rozak dan Rosihan Anwar bahwa ”ada empat perkara yang dipergunakan sebagai dasar oleh para teolog dalam membicarakan iman, yaitu : marifah bi al aql (mengetahu dengan akal) ; amal, perbuatan baik atau patuh; iqrar, pangakuan secara lisan dan tashdiq, membenarkan dalam hati. Perbedaan atau persamaan pendapat para teolog dalam konsep iman nampaknya berkisar di sekitar unsur-unsur  tersebut.
Dalam Alquran, istilah 'iman' berarti 'untuk mempertimbangkan sesuatu yang dapat diandalkan dan pastikan' tanpa meragukan. Faith can only be given by God, and means above all, that a human being acknowledges Allah's greatness and superiority, his own position as God's servant, who owes Him gratitude for His mercy towards man. Iman hanya dapat diberikan oleh Allah, dan di atas semua berarti, bahwa manusia mengakui kebesaran Allah dan keunggulan, posisi sendiri sebagai hamba Allah, Dia yang selalu bersyukur atas rahmat-Nya kepada manusia.
1.        Aliran Khawarij
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa  Khawarij memandang perbuatan orang-orang yang menerima arbitrase adalah dosa besar, tetapi kemudian menimbulkan persoalan apakah mereka telah menjadi kafir atau masih tetap mukmin. Dalam menetapkan hal tersebut, kemudian menimbulkan perbedaan pendapat yang berakibat pula kepada munculnya kelompok-kelompok di dalam Khawarij.
Secara umum, iman menurut aliran Khawarij adalah percaya kepada Allah, mengerjakan segala perintah kewajiban agama, segala perbuatan yang berbau religius termasuk di dalamnya masalah kekuasaan atau dengan kata lain iman itu adalah beriktikad dalam hati dan berikrar dengan lidah serta menjauhkan diri dari segala dosa atau  mengamalkannya dengan anggota badan.
2.        Aliran Murjiah
Menurut al-Bazdawi sebagaimana dikutip Mohd. Isak pandangan mayoritas aliran Murjiah, bahwa iman itu hanyalah ma’rifah kepada Allah atau tasdiq secara kalbu semata, bukan terkait dengan aktifitas baik dalam ucapan maupun tindakan. Sedangkan kelompok lain dalam aliran ini bependapat bahwa iman tidak hanya ma’rifat dengan hati, tapi juga iqrar yang merupakan tasdiq secara lisan. Oleh karena itu bila seseorang telah menyatakan keimanannya, maka dia tetap akan menjadi mukmin walaupun perbuatannya tidak islami. Perbuatan yang dilakukan tidak dapat menggugurkan keimanan seseorang.
3.        Aliran Mu’tazilah
Konsep iman menurut aliran ini tidak hanya berkaitan dengan pengakuan dalam hati, tetapi amal perbuatan merupakan salah satu unsur terpenting dari iman, bahkan amal itu hampir sama dengan iman. Hal ini terkait dengan konsep mereka tentang janji dan ancaman yang merupakan salah satu ideologinya Mu’tazilah.
Konsep iman menurut Mu’tazilah juga berkaitan dengan ma’rifah (pengetahuan dan akal). Mereka sangat menekankan pentingya berpikir rasional atau penggunaan akal bagi keimanan. Cara pandang tersebut  akan berimplikasi kepada penilaian bahwa orang yang beriman kerena mengikuti orang lain (secara taklid buta) tidaklah dipandang beriman.
Lebih tegasnya lagi, seperti diungkapkan Toshihiko Izutsu yang dikutip oleh Abdul Rozak, bahwa bagi kelompok ini ”hanya ahli kalam saja yang benar-benar dapat menjadi orang beriman, sedangkan masyarakat awam dipandang tidak benar-benar beriman. Pernyataan ini sebenarnya menyisakan persoalan, yaitu bagaimana dengan ahli kalam yang tidak mementing akal untuk memperoleh keimanan. Tidak semua ahli kalam berpandangan yang mengedepankan akal dalam soal keimanan.
4.        Aliran Asy ’Ariyah   
Menurut  Asy’ariyyah, iman ialah membenarkan dengan hati, dan itulah yang disebut dengan iktikad. Di sini terdapat persaman antara konsep Murjiah dan Asy’ariyyah yang menekankan perbuatan hati atas pengakuan keimanan. Cuma Murjiah menggunakan istilah ma’rifah, sementara Asy’ariyyah menggunakan al-tasdiq bi al-qolb (membenarkan dengan hati).
Dalam hal ini Asy-Syahrastani menulis sebagaimana dikutib oleh Abdul Rozak :
”Asy Asy’ari berkata :..... Iman (secara esensial) adalah tashdiq bi al-janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan ”mengatakan’ (qawl) dengan lisan dan melakukan dengan berbagai kewajiban utama (amal bi al arkan) hanyalah merupakan furu (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman seperti itu iman yang sahih... Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali jika dia mengingkari salah satu dari hal tersebut.
Melihat defenisi yang di atas dapat dikatakan bahwa iman bagi Asy Asy’ari tidak mempunyai kaitan dengan ucapan dan amal.
5.      Aliran Maturidiyah
Sedangkan konsep iman menurut Maturidiyyah secara umumnya sama dengan konsep Asy’ariyyah dari ahli al-sunnah wa al-jama’ah, cuma terdapat sedikit perbedaan, yaitu menurut Maturidiyyah tasdiq dengan hati mesti merupakan satu kesatuan dengan mengikrarkannya dengan lidah. Sedangkan menurut Asy’ariyyah cukup memadai hanya dengan pengakuan hati untuk membuktikan keimanan seseorang, sedangkan pengucapan dengan lisan tidaklah  diperlukan, karena ikrar dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam adalah merupakan cabang dari iman.
Pendapat Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah golongan Asy’ariyyah yang agak lebih lengkap tentang iman dikemukan oleh al-Baghdadi yang dikutip oleh Harun Nasution, menerangkan bahwa:
a.   Iman yang dapat menghindari dari  kafir dan tidak kekal dalam neraka, adalah meyakini Tuhan, kitab-kitab-Nya, para Rasul, takdir  baik dan buruk, sifat-sifat Tuhan dan segala keyakinan lain yang diakui dalam syari’at.
b.   Iman yang menimbulkan adanya keadilan dan melenyapkan fasik  dari seseorang serta yang melepaskan dari neraka, adalah  mengerjakan segala kewajiban dan menjauhi semua perbuatan dosa besar.
c.   Iman yang dapat menjadikan seseorang memperoleh  prioritas untuk langsung masuk ke syurga tanpa hisab, adalah mengerjakan semua yang wajib dan sunat serta menjauhi segala perbuatan dosa.

Dari pandangan beberapa golongan mengenai keimanan di atas, dapat dibuat gambaran bahwa konsep iman dari aliran-aliran  teologi tersebut, secara umum dapat dibagi kepada dua:
Pertama, konsep iman yang menerima secara mantap ketiga unsur iman, yaitu : pengakuan dengan hati ; ikrar (pernyataan) dengan melalui lisan dan pengamal dengan anggota. Aliran yang masuk dalam kelompok ini adalah Kawarij dan Mu’tazilah.
Kedua, konsep iman yang menekankan kepada unsur pertama saja, yaitu pengakuan dalam hati. Unsur kedua dan ketiga bagi golongan ini, kalaupun masuk  ke dalam bagian iman hanya merupakan cabang saja. Pendapat bahwa iman merupakan ma’rifah dan tasdiq dengan hati adalah pemahaman dari golongan  Murjiah, Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.

D.   BERTAMBAH DAN BERKURANGNYA IMAN
Di dalam al-Quran terdapat keterangan tentang bertambahnya iman, di antaranya:
1. Surah al-Anfal, (8): 2
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gementarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (kerananya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
2. Surah al-Taubah, 9: 124:
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
Dan apabila diturunkan satu surah, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surah ini? “Adanya orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.
Melihat pengetian teks ayat-ayat di atas ternyata iman seseorang dapat bertambah dan berkurang, namun dalam hal ini para teolog mempunyai pendapat yang berbeda. Perbedaan tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan pemahaman mereka tentang persoalan keimanan. Berikut ini akan dipapar pandangan kelompok-kelompok teolog tentang bertambah dan berkurangnya iman.
Kelompok Kawarij yang berpegang kuat kepada al-Quran, mengakui bahwa iman dapat bertambah dan boleh berkurang. Sejalan dengan konsep iman yang diusung kelompok ini, yaitu membenarkan dalam hati, ikrar dengan lisan dan amal dengan anggota  sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah, mengurangi  salah satu unsur dari ketiga unsur iman  tersebut akan menurunkan kadar iman, bahkan apabila pengurangan itu dilakukan secara kontinu dapat menimbulkan dosa besar, maka konsekwensinya dapat menghilangkan keimanan.  Dalam pandangan mereka amal merupakan realisasi iman. Dengan demikian tinggi rendahnya intensitas amal seseorang dapat menjadi ukuran tinggi rendahnya kualitas iman orang tersebut.
Hampir sama dengan pandangan Khawarij,  Mu’tazilah juga memandang iman dapat berkurang dan bertambah, hanya saja mereka berbeda dalam memandang akibat dari jenis dosa yang dilakukan, yang nanti akan dikemukakan dalam pembicaraan tentang kufur. Aliran ini berpendapat bahwa meningkatkan pelaksanaan amal kebaikannya, maka imannya akan bertambah. Begitu pula sebaliknya setiap kejahatan yang diperbuatnya, imannya akan berkurang.
Selanjutnya bagi Murjiah, karena konsep iman dikembangkan oleh kelompok ini hanya dalam bentuk ma’rifah, arinya pengakuan yang mendalam tentang Tuhan, maka konsekwensi iman tidak dapat bertambah dan tidak pula berkurang. Sekelompok tertentu dari aliran ini berpendapat bahwa segala ucapan dan perbuatan yang menyimpang dari syariat tidak akan merubah posisi keimanan, bahkan iman tersebut masih sempurna dalam pandang Tuhan.
Dilihat dari segi pemahaman keimanan pada bagian sebelumnya, mestinya aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyyah sependapat tentang konsep bertambah dan berkurangnya iman, karena bagi Asy’ariyyah dan Maturidiyyah iman hanya tasdiq, tetapi ternyata bahwa Asy’ariyyah dan Maturidiyyah mempunyai pendapat yang berbeda dalam hal ini.
Menurut Abd. Hamid Musa, mengutip pendapat Ahmad Amin bahwa bagi Asy’ariyyah, iman dapat berkurang dan dapat pula bertambah. Asy’ariyyah mendasarkan pendapatnya kepada al-Quran surah al-Anfal, 8: 12:
إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ ءَامَنُوا
 (Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.
Sementara bagi Maturidiyyah, iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Logika Maturidiyyah adalah tidak menunjukkan bertambahnya iman kecuali berkurangnya kufur, sebaliknya tidaklah menunjukkan berkurangnya iman kecuali dengan bertambahnya kufur. Menurut Abdul Rozak dan  Rosihan Anwar berdasarkan penelaah hasil karya Al-Maturidi, bahwa mereka tidak menemui pendapat Al-Maturidi yang berkenaan dengan fluktuasi iman. Di sisi lain, Maturidiyah Bukhara berpendapat iman memang tidak dapat bekurang, namun dapat bertambah dengan ibadah-ibadah yang dilakukan.
Walaupun Asy’ariyyah dan Maturidiyyah tergabung ke dalam golongan ahl al-Sunnah wa al-jama’ah, tetapi kelihatannya dalam persoalan bertambah dan berkurangnya iman, secara umum ahli sunnah mengambil pendapat umum aliran Maturidiyyah, yaitu iman tidak bertambah dan berkurang. Hanya Imam al-Syafi’i yang juga golongan ahli sunnah wa al-jama’ah yang sependapat dengan Asy’ariyyah, mengatakan bahwa iman dapat bertambah  dan dapat pula berkurang.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa  persoalan bertambah dan berkurangnya iman terbagi dua kelompok pandangan ekstrim:
Pertama, mereka berpendapat bahwa iman dapat bertambah atau berkurang tergantung kepada amal perbuatan seorang mukmin. Termasuk kepada  kelompok ini Kawarij, Mu’tazilah dan Asy’ariyyah dengan alasan yang berbeda.
Kedua, kelompok yang berpendapat iman tidak dapat bertambah atau berkurang karena amal bukan ukuran iman seseorang. Temasuk kelompok ini adalah aliran Murjiah dan Maturidiyyah.

F.    KONSEP KUFUR
Kufur adalah kebalikan dari iman. Dari segi lughat “kufur” artinya menutupi. Orang yang bersikap ‘kufur’ disebut kafir, yaitu orang yang menutupi hatinya dari hidayah Allah. Dengan demikian orang kafir dia menutupi kebenaran atau dia menutupi apa yang seharusnya diimani. Malam juga disebut ‘kafir’ karena malam menutupi orang dan benda-benda lain dengan kegelapannya. Dari segi syara’ kufur ada : kufur Akidah, ialah mengingkari akan apa yang wajib diimani, seperti iman kepada Allah, iman kepada Rasul, iman kepada Hari Akhirat, iman kepada Qodo dan Qodar, dan lain-lain. Firman Allah dalam surat an-Nisa (4) : 136
وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا .
 “Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam sejarah pemikiran Islam persoalan kufur timbul berawal dari tuduhan kufurnya perbuatan sahabat-sahabat yang menerima arbitrasi sebagai penyelesaian perang Siffin.
Selanjutnya persoalan hukum kafir ini bukan hanya menyangkut orang-orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Quran, tetapi juga orang-orang yang melakukan dosa besar, sehingga hal juga melahirkan perbedaan pendapat dikalangan mutakallimin, apakah mereka masih tetap mukmin atau sudah kafirb dan terkeluar dari Islam? Bagaimanakah kedudukan mereka di dunia dan di akhirat? Apakah orang-orang yang melakukan dosa besar tersebut akan kekal dalam neraka atau adakah kemungkinan keluar dari neraka dan masuk syurga?
Sebelum menjawab persoalan-persoalan tersebut, perlu dikemukakan terlebih dahulu perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam dosa besar. Terdapat banyak hadis Nabi saw.  diantaranya   sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :
1.      ”Diriwayatkan daripada Abdullah bin Masud r.a katanya: Aku bertanya Rasulullah s.a.w: Apakah dosa yang paling besar di sisi Allah? Rasulullah s.a.w bersabda: Engkau menjadikan iaitu menganggap ada yang sebanding dengan Allah sedangkan Dialah yang menciptakanmu. Aku berkata: Sesungguhnya dosa demikian memang besar. Kemudian apa lagi? Baginda bersabda: Kemudian engkau membunuh anakmu kerana bimbang dia makan bersamamu iaitu makananmu. Aku bertanya lagi: Kemudian apa lagi? Rasulullah s.a.w bersabda: Jika engkau berzina dengan isteri jiranmu”
2.      ”Diriwayatkan daripada Anas bin Malik r.a katanya: Nabi s.a.w pernah menceritakan tentang dosa-dosa besar. Baginda bersabda: Menyekutukan Allah, menghardik kedua ibu bapak, membunuh dan berkata dengan kata-kata palsu.”
Sehingga kalau dikumpulkan maka dosa besar selain syirik ialah:
a. Zina
b. Sihir
c. Membunuh manusia tanpa sebab yang dibolehkan Allah
d. Memakan harta anak yatim piatu
e. Riba
f.   Meninggalkan medan perang
g. Memfitnah perempuan yang baik-baik.
1.  Aliran Kawarij
Dalam pandangan sebagian besar pemuka aliran Kawarij, bahwa semua dosa besar adalah kufur dan orang yang melakukannya dihukum kafir dan kekal di dalam neraka. Pendapat ini diutarakan oleh al-Muhakkimah, golongan yang paling awal dalam Kawarij, sedangkan Azariqah salah satu kelompok dari Kawarij berpendapat lebih ekstrim dari al-Muhakkimah, yaitu menghukum syirik bagi orang yang melakukan dosa besar. Di dalam Islam syirik adalah lebih besar dosanya dari kufur. Lebih jauh lagi golongan Azariqah berpendapat bahwa semua orang Islam yang tidak sepaham  dengan mereka termasuk musyrik.
Bagi Azariqah, orang yang tidak masuk kelompok dan berada wilayah tinggal atau kekuasaan mereka boleh diperangi, karena bukan daerah Islam tetapi adalah dar al-harb atau dar al-kufr, darah mereka adalah halal ditumpahkan. Dengan demikian bagi Azariqah, orang-orang yang tidak kafir hanyalah orang-orang yang masuk golongan mereka dan berada di wilayah mereka dan selebihnya di luar itu adalah musyrik.
Al-Sufriah adalah kelompok lain dari Karawarij yang ekstrim, hampir sama dengan Azriqah, tapi sedikit lebih lunak dari Azriqah. Pendapat mereka yang berkaitan dengan kufur adalah sebagai berikut :
a.      Orang Sufriah yang tidak hijrah tidaklah dipandang kafir.
b.      Orang-orang melakukan dosa yang tidak ada sangsinya di dunia mereka dianggap kafir dan orang-orang melakukan dosa tapi mempunyai sangsi di dunia seperti zina maka mereka tidaklah dianggap kapir.
c.      Kafir dibagi dua yaitu kufr bi inkar al-ni’mah, yaitu mengingkari rahmat Tuhan dan kufr  bi inkar al rububiah, yaitu mengingkari Tuhan.
Kelompok lain dalam Khawarij, yaitu  Ibadiah. Kelompok ini berpendapat lebih moderat, bagi mereka orang yang tidak masuk golongan mereka bukanlah musyrik dan bukanlah pula mukmin, paling berat ia boleh dikatakan kafir. Mereka mengelompokkan kafir ini kepada dua golongan:
a.   Kafir al-ni’mah, yaitu orang yang tidak bersyukur terhadap nikmat-nikmat yang diberikan Tuhan.
b.   Kafir al-Millah, yaitu orang yang keluar dari agama.
Bagi golongan Ibadiah, orang yang melakukan dosa besar termasuk masih tetap muwahhidun (yang mengesakan Tuhan), tetapi bukan mukmin. Sah syahadatnya,  boleh nikah dan waris mewarisi, bahkan yang terpenting adalah haram darah mereka, artinya tidak diperangi.
2.  Aliran Murjiah
Aliran Murjiah muncul sebagai reaksi terhadap keadaan yang timbul akibat saling mengkafir diantara sesama muslim. Mereka tidak ingin memihak kesalah satu golongan yang terlibat saling mengkafirkan tersebut. Artinya mereka bersikap netral. Secara umum kaum Murjiah berpendapat bahwa soal kufur dan tidak kufur adalah lebih baik ditunda saja sampai hari pembalasan di depan Tuhan. Kaum Murjiah tetap menganggap sahabat-sahabat yang terlibat dengan arbitrase adalah orang-orang yang mukmin dan tidak keluar dari jalan yang benar.
Argumentasi Murjiah, ialah bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar masih mengucap dua kalimah syahadah dan Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya, orang seperti ini masih mukmin bukan kafir atau musyrik. Dalam dunia ini ia tetap dianggap mukmin bukan kafir. Soal di akhirat diserahkan kepada keputusan Tuhan, kalau dosa besar diampunkan, ia akan masuk syurga, kalau tidak dia akan masuk neraka untuk waktu yang sesuai dengan dosa yang dilakukan dan kemudian masuk syurga.
Murjiah juga terdiri dari beberapa kelompok. Secara umum, bagi mereka perbuatan dosa tidak menyebabkan seseorang menjadi kafir, bahkan ada kelompok yang berpendapat pengakuan kekufuran dengan lisan atau perbuatan musyrik atau menjalankan praktek agama-agama lain tidak penyebab terjadinya kekufuran. Menurut mereka seseorang baru menjadi kafir bila tidak mengenal Tuhan.
3.   Aliran Mutazilah
Aliran Mu’tazilah berpendapat, bahwa orang yang melakukan dosa besar  bukan sebagai orang kafir dan bukan pula mukmin. Konsep ini disebut manzilah bain manzilataian atau posisi antara dua posisi. Di akhirat kelak orang yang melakukan dosa besar itu tidak akan dimasukkan ke dalam syurga dan tidak pula dimasukkan ke dalam neraka yang dahsyat, seperti orang kafir, tetapi dimasukkan ke dalam neraka yang paling ringan.
Orang yang melakukan dosa besar, maka di dunia ini dia bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi fasiq.  Tidak disebut mukmin (walaupun dalam dirinya ada iman)  karena dosa besarnya, dan tidak pula disebut kafir,   karena pengakuan dan ucapan dua kalimah syahadatnya, kerana ia tidak mempengaruhi imannya.
Sementara itu, menurut mayoritas Mu’tazilah, orang yang tidak patuh terhadap yang wajib dan yang sunat disebut ma’asi. Ma’asi terbagi kepada dua, yaitu pertama, ma’asi kecil dan kedua ma’asi yang besar. Ma’asi yang besar dinamakan kufur, terbagi ke dalam tiga perkara, yakni:
a.   Seseorang yang menyamakan Allah dengan makhluk.
b.   Seseorang yang menganggap Allah tidak adil atau zalim.
c.   Seseorang yang menolak eksistensi Nabi Muhammad yang menurut nas telah disepakati kaum muslimin.

4.   Aliran al-Asy’ariyah
Berdasarkan konsep keimanan aliran al-Asy’ariyah sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, maka kebalikannya adalah kufur. Dengan demikian,  yang disebut kafir bagi aliran ini adalah orang yang tidak membuat pengakuan atau membenarkan tentang ke-Esaan Tuhan dan kebenaran para Rasul serta segala apa yang dibawanya.
Berdasarkan paham ketuhanan yang dianut al-Asy’ariyah maka perbuatan kufur bukanlah semata-mata si kafir, tapi ada campur tangan Yang Maha Berkehendak. Menurut al- Asy’ariyyah, seorang muslim yang berdosa besar jika meninggal dunia tanpa bertobat, nasibnya terserah kepada ketentuan Tuhan, mungkin orang itu diampuni Allah karena rahmat dan kasih sayang-Nya. Ada juga kemungkinan tidak diampuni Allah dosa-dosanya dan akan diazab di neraka sesuai dengan dosa-dosa yang telah diperbuatnya itu. Kemudian setelah cukup/bersih baru dimasukkan ke dalam syurga, mereka tidak mungkin akan kekal tinggal dalam neraka, karena keimanan yang mereka miliki.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bagi Asy’ariyyah orang-orang yang berdosa besar tidaklah menjadi kafir, dan tidak akan kekal dalam neraka, namun masih seorang mukmin dan akhirnya akan masuk syurga juga.
6.      Aliran Maturidiyah
Selanjutnya bagi Maturidiyyah, pahala salat dan kewajiban-kewajiban lain yang dijalankan akan mampu menghapus dosa-dosa kecil yang telah  dilakukan.  Pendapat ini didasarkan kepada firman Allah surah Hud, 11: 114
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan yang baik itu mengahapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang jahat. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.
Dosa-dosa besar, apa lagi dosa-dosa kecil tidak membuat seseorang menjadi kafir dan keluar dari iman. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendapat Maturidiyyah mengenai hukum atau status orang yang berdosa besar sama dengan aliran Asy’ariyyah, yakni tidaklah menyebabkan seseorang menjadi kafir.  Pendapat ini tentulah bertentangan dengan konsep aliran Mu’tazilah dan Khawarij. Aliran Mu’tazilah berpendapat bukan kafir dan bukan pula mukmin tetapi al-manzilah bain al-manzilataian dengan status fasiq, sedangkan bagi Khawarij, orang yang berdosa besar adalah kafir.
Dari perbedaan pendapat dalam persoalan kufur dikalangan orang Islam, kadang-kadang menimbul masalah kafir mengkafirkan. Walaupun secara jelas hal ini terjadi akibat pemahaman Kawarij, tapi tidak menutup kemungkinan kafir mengkafir terjadi pada aliran yang pemahamannya tidak ekstrim. Hal ini terjadi karena kebodohan dan kepicikan serta fanatis buta terhadap mazhab atau aliran tertentu.
Mestinya seseorang tidak tergesa-gesa dalam kafir mengkafir di antara sesama muslim, karena implikasi hukumnya sangat banyak dan mendatangkan berbagai ancaman seperti laknat Allah, gugurnya amal perbuatan, halal darahnya ditumpahkan,  hilangnya hak waris, tidak disholati, dll sebagainya.
Dalam hal ini banyak dijumpai hadis-hadis sahih untuk melarang mengkafirkan orang lain.

C.  KESIMPULAN
Berdasarkan pendapat para teolog dari berbagai aliran teologi sebagai mana yang telah dikemukakan  sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Beberapa aliran mempunyai perbedaan pendapat yang tajam dalam konsep iman dan kufur;
2.      Beberapa aliran mempunyai perbedaan pendapat yang tidak terlalu tajam dalam konsep iman dan kufur;
3.      Beberapa aliran mempunyai pendapat hampir bersamaan dalam konsep iman dan kufur;
Perbedaan pemahaman dari berbagai aliran teologi tersebut, beberapa diantaranya terjadi karena adanya perbedaan mereka di bidang politik, sedangkan lain timbul sebagai reaksi atas pemahaman yang ada.
Konsep ilmu kalam di kalangan Khawarij dan Murjiah dalam pembahasan iman dan kufur agak sederhana sesuai dengan kesederhanaan cara berpikir mereka. Kemudian muncul Mu’tazilah dengan mengandalkan akal menjadi lebih mendalam. Mu’tazilah mengembangkan konsep-konsep dan faham yang lebih logik dan sistematik dibandingkan dengan faham sebelumnya.
Dari metode berfikir kaum Mu’tazilah yang mempergunakan rasio itulah sebenarnya yang menjadi dasar pembahasan tentang iman dan kufur pada aliran-aliran berikutnya seperti Asy’ariyyah dan Maturidiyyah di kalangan ahli al-Sunnah wa al-jama’ah.
Dalam berbagai perbedaan itu, paling tidak ada satu unsur kesamaan dalam mendfenisikan iman yaitu : membenarkan dalam hati.





DAFTAR PUSTAKA

Al Bayan Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim (dalam CD Holly Quran dan Hadis), Malaysia, Syakr
Bazdawi, Al-, Kitab Usuluddin. Kahirah: Dr. Hans Piter Lins (Et. Al), Dar Haya’.
Gardet. "Imân", Encyclopedia of Islam , Vol, III, EJ Brill, (Leiden, l986),  
Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Panjimas, 1987
Harun Nsution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 1978
Ishak, Mohd. Said,  Konsep Iman Dan Kufur: Perbandingan Perspektif Antara Aliran Teologi,  (dalam Jurnal Teknologi, Universiti Teknologi Malaysia), Jun. 2002
Nasution, Harun. 1983. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press.
…………….. 1978. Islam Ditinjau dari Berbagai aspeknya. Jilid 11, Jakarta: UI-Press.
…………….. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press.
Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung, Pustaka Setia, 2001
Tim Ahli Tauhid, Agus Hasan Bashori (penterjemah), Kitab Tauhid II, Edisi Indoesia, Jakarta : Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia, 2002, hlm. 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar